Sebagai negara multikultur, Indonesia menjadi semacam etalase keberagaman yang menyimpan segala jenis ekspresi kebudayaan dan keyakinan. Dalam konteks kepercayaan, selain lima agama resmi yang kita pahami, Indonesia juga menjadi rumah bagi ribuan agama dan kepercayaan lokal yang lain. Salah satu agama lokal, bisa dipertukarkan dengan istilah masyarakat adat atau penghayat kepercayaan, yang masih eksis sampai hari ini adalah Masyarakat Tana Towa Kajang. Masyarakat Tana Towa merupakan salah satu dari sekitar 2.300 masyarakat adat yang hidup dan berkembang di Indonesia.
Salah satu kepercayaan yang dimiliki oleh Masyarakat Tana Towa adalah menjaga harmoni dan keseimbangan alam yang telah diciptakan oleh Turie’A’ra’na (Tuhan), terutama hutan. Relasi antara manusia dan alam ini menjadi basis keyakinan masyarakat Tana Towa, sehingga hutan di mana mereka hidup menjadi sangat lestari.
Masyarakat Tana Towa memegang prinsip hidup “kamasekamasea” atau prinsip hidup sederhana. Mereka menjalani hidup dengan cara tradisional, yang tidak terpengaruh oleh perkembangan zaman. Hal ini berbeda dengan banyak penganut agama lokal lain, terutama di Jawa, yang sudah mapan karena diperhatikan oleh pemerintah daerah, misalnya Paguyuban Eklasing Budi Murko di Yogyakarta dan Sunda Wiwitan di Jawa Barat. Keduanya bahkan sudah melebur dengan salah satu agama resmi negara.
Tak bisa disangkal, watak budaya suku-suku di Indonesia adalah patriarki. Sama halnya dengan adat istiadat dalam Masyarakat Tana Towa yang umumnya menjadi wilayah laki-laki. Hal ini tercermin dari berbagai ritual dalam adat istiadat Masyarakat Tana Towa yang dipimpin oleh laki-laki. Meski demikian, terdapat beberapa aspek yang justru menjadi tanggung jawab seorang perempuan. Hal itu kemudian menjadi menarik karena perempuan rupanya tetap dilibatkan urusan Masyarakat Tanah Towa.
Jika laki-laki menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam urusan ritual publik, maka dalam Masyarakat Tana Towa, perempuan mempunyai tanggung jawab dua kali lebih besar. Mereka bekerja di dua domain sekaligus, yaitu tugas domestik dan tugas publik. Tugas domestik itu berkaitan dengan tanggung jawabnya sebagai istri yang mengurus suami dan anak, sedangkan tugas publiknya berkaitan dengan perannya membantu suami dalam mencari nafkah.
Namun, tugas publik perempuan bukan semata menjadi support bagi suaminya. Dalam hal ini, perempuan Tanah Towa juga memiliki kontrol dalam ekonomi keluarga. Terdapat tiga kemampuan yang paling tidak harus dikuasai oleh perempuan Tanah Towa, yaitu menenun, berjualan di pasar, dan bertani. Selain membantu suami bekerja, perempuan Tanah Towa juga memiliki independensi untuk berusaha sendiri dengan kemampuan dasar tersebut.
Ammatoa (pemimpin adat tertinggi), seperti yang ditulis oleh Angsi Nurfatiha AK dalam Kepemimpinan Perempuan Suku Kajang Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Perspektif Hukum Islam, menuturkan bahwa perempuan itu harus pintar menjahit, menenun, dan juga memasak. Kalau sudah dapat melakukan salah satunya, barulah perempuan itu bisa dinikahkan (nikka). Ammatoa juga menegaskan beban tugas perempuan karena pekerjaannya lebih banyak dibandingkan dengan pekerjaan laki-laki
Namun ada yang menarik ketika melihat peran perempuan dalam struktur Masyarakat Adat Tana Towa. Terdapat satu peran penting yang diperankan oleh seorang perempuan, ia disebut anronta. Secara bahasa, anronta berarti “ibu manusia”. Jabatan anronta ini dibagi menjadi dua, Anronta Baku Atowayya dan Anronta Baku Alolowa.
Secara garis besar, tanggung jawab seorang angronta adalah menyiapkan semua kebutuhan upacara dan ritual adat, memfasilitasi pemilihan pemimpin adat (ammatowa). Anronta juga diberi kewenangan untuk melantik ammatowa. Dia juga menjadi penjabat sementara pada saat ammatowa meninggal hingga terpilihnya seorang ammatowa yang baru.
Dalam lingkup sosial, anronta bertugas memimpin dan membina perempuan di Tanah Towa, mengajarkan etika pada anak, mempelajari seluk beluk acara adat, dan dapat memperkirakan berapa kebutuhan acara tersebut hingga selesai. Masa jabatan anronta sama dengan ammatoa, yaitu seumur hidup. Peran seorang anronta tidak bisa dipisahkan dari ammatoa selalu pimpinan adat tertinggi. Oleh karena itu, syarat untuk menjadi anronta juga tidak sederhana.
Secara garis besar, terdapat syarat-syarat untuk menjadi seorang anronta, antara lain: 1) nu kullea anjari anrong ta karaeng pi (keturunan raja atau keturunanna anronta); 2) tala suang bura-bura (tidak suka bohong atau jujur); 3) tala dongo’dongo’ (tidak bodoh atau cerdas); 4) tala a’kehekehe (tidak lelet atau lincah dan gesit); 5) nasaba ia pauang ngase’i kabajikanga ri ana’-ana’ka (memiliki komitmen untuk mengajar kebaikan kepada anak-anak); 6) sudah menikah; 7) taat dan patuh pada pasang ri kajang (pedoman hidup masyarakat Tanah Towa); 8) mengetahui dan memahami acara adat di Tana Towa seperti pangandro, andangingi dan acara adat lainnya.
Anronta, dengan demikian, bukanlah seorang perempuan biasa, dia adalah seorang perempuan istimewa. Selain menjalankan kewajiban sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya, dia juga memiliki tanggung jawab untuk mengurus segala keperluan upacara adat. Dalam bahasa lain, seorang anronta bisa menentukan sukses tidaknya agenda-agenda adat.
Di satu sisi, domestifikasi peran perempuan nampak masih melekat dalam tradisi kebudayaan di Indonesia, termasuk dalam Masyarakat Tanah Towa. Namun setidaknya dalam Masyarakat Tanah Towa, perempuan sudah dilibatkan dalam urusan publik bahkan dalam hal ritual adat yang sakral sekalipun. Perempuan Tanah Towa dituntut untuk menguasai berbagai soft skills sebagai bekal independensi mereka dalam hal ekonomi. Tak hanya itu, pendidikan juga menjadi salah satu hal yang harus dimiliki oleh perempuan Tanah Towa karena mereka, terutama anronta, akan bertanggungjawab untuk mengedukasi generasi-generasi penerus sekaligus menanamkan pengetahuan-pengetahuan lokal Tanah Towa.
**
Leave a Reply