,

Penjelasan Haid dalam Kitab Uyunul Masail Linnisa

/
/


Dalam bab fikih wanita banyak sekali permasalahan yang dibahas, terutama persoalan haid, nifas, dan istihadloh. Setiap wanita wajib mengerti hukum dan perhitungan masa haid, nifas, dan istihadloh karena akan bersinggungan dengan amaliyah lainnya, misal shalat dan puasa (terutama puasa Ramadhan). Bahkan saking wajibnya memahami bab-bab fikih yang krusial tersebut, seorang suami harus mencarikan guru untuk istrinya jika istrinya tersebut kurang memahami bab haid, nifas, dan istihadloh.

Dalam tulisan ini, penulis tidak akan menjelaskan semua hal yang terkait dengan tiga hal tersebut. Penulis akan memulainya dengan bahasan paling mendasar terkait haid. Insyaallah, nifas dan istihadloh akan dibahas di tulisan selanjutnya. Namun sebelum membahas lebih detail, penulis menyarankan para muslimah untuk membaca sebuah kitab yang disusun oleh Lajnah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Lirboyo yang berjudul Uyunul Masail Linnisa: Sumber Rujukan Permasalahan Wanita: Jalan Menuju Wanita Sholehah.

Untuk mendapatkan kitab Uyunul Masail Linnisa, kita tidak harus jauh-jauh pergi ke Kediri, karena kitab tersebut sudah banyak dijual di toko-toko online. Bahkan sudah banyak grup di Telegram, WhatsApp yang juga membahas permasalahan wanita dalam perkara haid. Kita bisa tanya jawab langsung terkait pengalaman biologis kita yang berhubungan dengan masa haid, dan sebagainya.

Penjelasan dan Hadits tentang Haid

Darah yang keluar dari farji wanita, adakalanya dihukumi haid, nifas, atau istihadloh dan tidak ada darah yang ke empat. Darah haid secara syara’ yaitu darah tabiat (kodrat) yang keluar dari ujung rahim seorang perempuan dengan kondisi yang sehat dan tanpa sebab pada beberapa waktu yang sudah diketahui.

Pengertian haid  secara syara’ mencakup empat perkara. Pertama, darah haid itu darah tabiat, maksudnya adalah darah yang keluar karena tabiat perempuan normal atau sudah menjadi kodrat setiap perempuan. Kedua, darah haid keluar dari ujung rahim perempuan. Ketiga, darah haid keluar dari wanita dalam kondisi sehat dengan tanpa sebab, berbeda dengan nifas dan istihadloh.

Keempat, haid mempunyai beberapa waktu yang sudah ditentukan (waktu minimal, maksimal, dan kebiasaan umum). Batas minimal haid adalah 24 jam atau sehari semalam, maksimal 15 hari 15 malam, dan umumnya 6 atau 7 hari (seminggu).

Hukum asal haid terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 222.

Dalam ayat tersebut, Allah SWT menerangkan tentang hukum haid, dan dijelaskan bahwa darah haid itu najis yaitu dalam kalimat qul huwa adza. Kemudian Allah memerintah kepada suami agar tidak menggauli istrinya ketika haid.

Maksudnya adalah suami harus menjauhkan diri dari perkara yang ada di antara pusar dan lutut ketika bersenang-senang dengan istrinya. Ayat tersebut bukan berarti suami haarus menjauhi istri ketika makan, minum, dan bertempat tinggal. Karena sifat di atas termasuk kebiasaan orang Yahudi seperti bunyi hadits berikut:

Dari Anas r.a., “Sesungguhnya orang Yahudi ketika istrinya haid, maka ia tidak mau makan bersama istrinya dan tidak berkumpul dengan istrinya di dalam satu rumah.”

Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai hal tersebut, maka turunlah surat Al-Baqarah ayat 222. Adapun perkataan nabi “illannikah”, maksudnya yaitu, “boleh melakukan semua perkara kecuali berhubungan badan”. Namun ketika darah haid sudah berhenti dan istri sudah mandi suci, maka boleh bagi sang suami mendekati istrinya pada tempat yang sudah diperintahkan Allah SWT.

Dari Sayyidah ‘Aisyah ra., “Saya minum, sedangkan saya adalah wanita yang sedang haid, kemudian Nabi Muhammad meminum sisa minumanku. Kemudian aku makan daging ketika aku dalam kondisi haid. Kemudian Nabi memakan sisa daging tepat di bekas gigitan yang aku makan tadi.”

Dan Sayyidah ‘Aisyah ra. berkata, “Nabi bersandar di pangkuanku, padahal aku dalam keadaan haid dan Nabi membaca Al Qur’an.”

Haid merupakan perkara yang sudah digariskan oleh Allah dan bukti keagungan Allah pada anak dan cucu perempuan Adam sebagai bentuk pembelajaran dan cobaan. Ada sebuah hadits dari ‘Aisyah ra.,  ‘Aisyah ra. mengatakan Nabi saw. bersabda, “Inna hadza amrun katabahullahu ‘ala banaati Adam”. Artinya, (darah) ini adalah sesuatu yang sudah digariskan oleh Allah pada anak cucu perempuan Adam.

Hal penting yang harus diperhatikan oleh setiap wanita adalah hendaknya mencatat tanggal, bulan, tahun keluar dan sucinya darah haid. Bahkan kalau bias, disertai dengan jam (jika tidak mengetahui jam pastinya, ya kira-kira keluar darah dan suci pada waktu sholat apa). Hal tersebut menjadi penting karena sangat berpengaruh dalam penghukuman mustahadloh (orang yang mengalami istihadloh).

 



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *