Surah Maryam merupakan surah ke-19 menurut urutan surah-surah yang terdapat dalam mushaf al-Qur’an. Menurut al-Qurtubi, semua ulama bersepakat bahwa surah Maryam [19] merupakan golongan surah periode Makkiyah (pra-hijrah) yang terdiri atas 98 ayat. (Tafsir al-Qurtubi, 1384: 11/72). Al-Zamakhsyari dan al-Qasimi sedikit berbeda dengan pendapat tersebut, ia menyebutkan kecuali ayat ke-58 dan 71, merupakan ayat Madaniyah (pasca-hijrah) (Tafsir al-Kasyaf, 1407: 3/3; Tafsir Mahasin al-Ta’wil, 1418: 7/83).
Sementara Ibn Katsir menguatkan pendapat pertama, bahwa surah ini tergolong periode Makkiyah. Ia mengutip Sirah Muhammad bin Ishaq yang menyebutkan riwayat dari Ummi Salamah, kemudian riwayat Ahmad bin Hanbal dari Ibn Mas’ud dalam pembahasan tentang “Hijrah Nabi dari Mekkah ke Habsyah (Ethiopia)”, bahwa Ja’far bin Abi Thalib membacakan surah Maryam kepada raja Najasyi dan para pembesar kerajaannya (Tafsir al-Qur’an al Azhim, 1420: 5/211).
Bila membaca perdebatan penentuan Makkiyah dan Madaniyah di atas menggunakan teori falsifikasi, maka surah Maryam tidak dapat dikatakan sebagai surah Makkiyah murni, sebab ada dua ayat yang diturunkan pasca hijrah atau ayat Madaniyah. Jadi, kita dapat berkata bahwa surah maryam mayoritas ayat-ayatnya masuk dalam priode Makkiyah, namun sebagian kecil ada yang Madaniyah. Begitulah jalan tengah untuk persoalan ini.
Nawawi al-Bantani menyebutkan jumlah kalimat dalam surah Maryam adalah 962 kalimat dan 3302 huruf (Marah Labid, 1417: 2/3), berbeda dengan hitungan al-Tsa’labi, menurutnya terdapat 762 kalimat, dan hurufnya berjumlah 3802 huruf (Tafsir al-Tsa’labi, 1422: 5/205), sementara al-Khazin menyebutkan angka 780 kalimat dan 3700 huruf (Tafsir al-Khazin, 1415: 3/182). Perbedaan jumlah ini tidak menjadi problem yang prinsipil, bahkan sebagian besar dalam terdiri penulisan tafsir-tafsir sebagian besar tidak mementingkan perhitungan itu, melainkan mengungkap makna ayat-ayat al-Qur’an.
Lebih jauh al-Tsa’labi menukilkan tentang kelebihan membaca surah Maryam, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab, bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang membaca surah Maryam maka akan dibalas dengan pahala kebaikan sesuai jumlah orang yang beriman dan jumlah orang yang mendustakan Zakaria, Yahya, Maryam, Isa, Musa, Harun, Ibrahim, Ishak, Ya’qub, Ismail, dengan ganjaran sepuluh kebaikan, dan sejumlah orang yang menyatkan bahwa Allah memiliki anak, dan sejumlah orang yang menyatakan bahwa Allah tidak memiliki anak” (Tafsir al-Tsa’labi, 1422: 6/205).
Hadits ini selain dinukilkan al-Tsa’labi, juga ditulis oleh al-Wahidi dalam al-Wasith 3/174, al-Zamakhsyari dalam al-Kasyf 3/48, Tafsir al-Baidhawi 4/31, dan Tafsir Abu Su’ud 5/ 284. Para penulis tafsir tersebut tidak menyebutkan derajat hadits ini secara khusus. Sedangkan al-Manawi di dalam al-Fath al-Samawi menilai hadits di atas sebagai hadits Maudhu (palsu). (al-Fath al-Samawi, 2/80). Jadi hadits tentang keutamaan membaca surah Maryan itu tidak memiliki landasan yang kokoh, kendati demikian, teks hadits tersebut sudah ada sejak abad ke-5 H/ 11 M.
Mengapa dinamai sebagai surah Maryam? Karena di dalam surah ini terdapat kisah yang luar biasa serta di luar kebiasaan manusia normal yang terjadi pada Maryam binti Imran. Al-Qasimi mengutip dari al-Muhayami, dikisahkan bahwa Maryam memisahkan diri dari kerabatnya untuk beribadah dan memohon petunjuk kepada Allah. Allah menyingkapkan kepadanya kebenaran, alam malaikat, dan diperlihatkan kepadanya kemuliaan yang membuat takjub. Ini merupakan Maqasid al-Qur’an yang paling agung (Tafsir Mahasin al-Ta’wil, 7: 83).
Al-Qasimi selalu mengatakan bahwa penamaan surah dan kaitannya dengan isi kandungan surah tersebut sebagai penerangan Maqasid al-Qur’an (tujuan al-Qur’an). Artinya pemberian nama tersebut sudah sangat tepat dan sudah mewakili tujuan uraian dan pesan-pesan dari surah yang bersangkutan. Tampaknya al-Qasimi banyak terpengaruh oleh pemikiran al-Muhayami.
Bagaimana munasabah (korelasi) antara surah sebelumnya (al-Kahfi) dengan surah ini? hubungannya surah ini masih menceritakan kembali tentang kelahiran Yahya bin Zakaria dan Isa bin Maryam yang telah diulas pada surah al-Kahfi [18] yang telah lalu. Sedangkan kaitannya dengan surah berikutnya adalah, akhir surah Maryam menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa Arab, sebagai berita gembira bagi orang bertakwa dan peringatan bagi orang yang melapaui batas, maka dalam surah Thaha [20], Allah lebih mempertegas pemaknaan tersebut secara rinci (Tafsir al-Maraghi, 16: 32 dan 93).
Kajian tentang munasabah ini amat penting untuk melihat kesinambungan surah-surah al-Qur’an, terutama dengan surah sebelumnya dan surah yang sesudahnya. Sehingga al-Qur’an dapat dilihat menjadi satu kesatuan unit yang utuh, bukan parsial dan terpotong-potong. Penafsiran terhadap surah Maryam ini akan terus diusahakan secara bertahap di website neswa.id dengan merujuk tafsir-tafsir muktabar, baik tafsir bi-riwayah maupun tafsir bi-ra’yi. Selamat menikmati pengembaraan penafsiran surah Maryam ini secara konsisten.
Leave a Reply