,

Pengakuan Dr. Ahmad Asy-Syarbāṣī Tentang Subordinasi Perempuan

/
/

anemia pada anak perempuan

***

Dua tahun lalu saat saya mulai tertarik mengkaji gender dan kekerasan seksual saya membaca banyak sekali kekerasan yang dialami perempuan. Ada beberapa kejadian yang di luar dugaan bahkan hal yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya. Sampai pernah terbesit dalam benak saya “Benarkah perempuan terdzalimi?”. Belakangan baru saya sadari bahwa itu karena tingkat kepekaan saya yang kurang diasah.

Data KOMNAS Perempuan mengatakan kekerasan perempuan di 3 tahun terakhir semakin meningkat dan cukup mengerikan, 348.446 (2017), 406.178 (2018, kemudian 431.471 (2019). Meski demikian tak sedikit orang yang masih nyinyir pada gerakan pejuang kesetaraan, dianggapnya ini hanya bentuk keinginan mengalahkan laki-laki atau wacana omong kosong belaka.

Parahnya, berbagai kekerasan itu tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam, ada pula yang sudah memiliki privilej mapan, berpendidikan tinggi namun masih melakukan tindak kekerasan, misalnya mengekang istri dari berkomunikasi dengan orang tua dan kerabat, berpoligami dan semacamnya. Hal ini terjadi karena pemahaman mereka tidak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pertanyaan dalam benak saya di atas ternyata juga penah ditanyakan oleh seseorang (mungkin juga banyak orang) pada Dr Ahmad Asy-Syarbāṣī, seorang dosen Universitas Al-Azhar Mesir. Ia menulis jawabannya dalam karyanya Yas-alūnaka Fiddīni wal Hayāt. Pertanyaan “Benarkah laki-laki telah mendzalimi perempuan?”. Di bawah ini adalah jawaban beliau yang menurut saya lebih merupakan pengakuan jujur dari seorang lelaki.

**

Kita telah menyubordinasi perempuan ketika masih saja menerapkan waris seperti zaman dahulu yang masanya jauh sekali dengan kita. Kita melihat perempuan seperti makhluk yang buruk, entitas hina dan dia adalah sumber keburukan dunia hingga tak ada kebaikan yang bisa ia lakukan.

Kita telah dzalim pada perempuan saat mendahulukan para lelaki dalam hal kasih sayang, aktivitas transaksi, wasiat dan semacamnya. Sejak awal kita kadang menyia-nyiakannya dan masih saja menggunakan perspektif kaum jahiliyah yang tergambar dalam teks Alquran;

{وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (58) يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ } [النحل: 58، 59]

“Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padam) wajah mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu. (QS. An-Nahl: 58-59)

Kita dzalim pada mereka saat kita membiarkan mereka bodoh sebagaimana orang jahiliyah dulu, tidak mengajari mereka, pun tidak menyekolahkan hingga mereka tak banyak tahu bertransaksi, tidak tahu bagaimana menjaga diri, membentengi kehormatan diri dan keluarga. Andai sejak dahulu kita adil mengajari perempuan itu semua niscaya mereka akan kuat sebagaimana laki-laki.

Kita dzalim pada mereka saat kita tidak membiasakannya berperilaku baik, akhlak mulia, akidah yang benar sehingga hidupnya menjadi berharga dan manfaat. Faktanya, berapa banyak perempuan yang dididik demikian mampu menjadi cahaya bagi umatnya dan tentu ia lebih baik dari pada laki-laki?

Kita dzalim saat kita mengurungnya di rumah, tidak melatihnya dengan aneka keterampilan dan kecakapan, seperti menjahit, olahraga, sebaliknya justru kita menyamakan mereka dengan kambing dalam kandangnya.

Kita dzalim pada perempuan saat kita tidak memperhitungkan pendapat perempuan, abai akan keberadaannya. Pernahkan lelaki meminta suara dari ibu, istri, putri atau saudarinya di rumah? Meski sekedar untuk memindahkan rak buku di ruang tamu.

Kita dzalim saat kita menindas naluri keperempuanannya, menyamakan mereka dengan perempuan jahiliyah yang bodoh padahal kita mampu mendidik mereka menjadi bijaksana, mengubahnya menjadi perempuan yang bersikap anggun, cantik lahir batin, mengajari mereka dengan olahraga yang sesuai dengan fisik mereka.

Kita senantiasa melarang mereka “Awas lo, jangan keluar, jangan kemana-mana, jangan makan buah ini, gak cocok buat tubuhmu, nanti gemuk” dan semacamnya.

Bukankah itu serupa dengan kita menyamakan perempuan dengan kucing, kita letakkan ikan segar yang aromanya menggoda hidung kucing, lalu kita melarangnya “Hei kucing, jangan makan ikan itu, gak boleh”. Kita selalu saja membatasi ruang lingkupnya padahal dunia ini dihidangkan untuk semua makhluk-Nya tak terkecuali.

Ketika ada korban pelecehan seksual kita tidak mempertanyakan kronologi secara detil dari semua pihak, apa penyebab terjadinya, apa motifnya, di mana tempatnya, apa yang membuat mereka terjerumus dalam kejadian itu, kita tidak menanyakan itu dari kedua belah pihak.

Wahai kaum lelaki, sudahlah, berdamailah dengan perempuan jangan mengintimidasinya terus menerus. Beri mereka hak dan bagian yang mesti mereka dapat, ruang yang aman, kesempatan mencari ilmu setinggi-tingginya, pendidikan etika, agama, penghormatan, respons yang sama. Jika mereka keliru saling tegurlah bukan menghentikan geraknya. Ingatlah bahwa Nabi kita pernah berpesan النساء شقائق الرجال “Perempuan itu saudaranya laki-laki”

Maka adillah dalam bersikap.

Wallahu a‘lam



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *