,

Pendidikan Pesantren bagi Anak “Broken Home”

/
/

Pendidikan Pesantren bagi Anak Broken Home Neswa.id-Saya adalah seorang guru sekaligus pengurus di sebuah pondok pesantren. Mengembang amanah untuk mendidik anak-anak dalam rentang waktu 24/7 sangat tidak mudah. Sebab saya berperan sebagai orang tua. Apalagi dengan saya sendiri yang belum menikah dan belum berpengalaman dalam mendidik anak, semakin membuat saya bimbang. Namun ketika dipercaya untuk amanah ini, maka saya berpikir bahwa saya bisa melaluinya dengan baik. Semangat ini saya miliki dikarenakan pengalaman belajar di pondok pesantren lebih dari 10 tahun sehingga cukup membantu dalam berinteraksi dengan orang banyak dengan berbagai latar belakang dan menyelesaikan masalah sehari-hari. Dengan ragam latar belakang anak didik di pesantren, tidak jarang mereka datang dari keluarga yang mengalami broken home karena perceraian orang tua. Fenomena perpisahan atau perceraian dapat menimbulkan permasalahan yang serius bagi orang tua atau anak. Terutama dampak yang dirasakan oleh anak termasuk dalam perkembangan sosial dan emosional. Dalam usia yang masih dibawah 10 tahun biasanya mereka melampiaskan segala yang mereka rasakan pada amarah dan tangisan, namun usia 11 ke atas mereka perlahan mulai mengerti dan memilih tidak meceritakan segala permasalahan kepada orang tua. Karena mereka sendiri tau, secara psikis orang tua juga mengalami rasa sakit yang sama sehingga tidak mau menjadikan orang tua semakin terbebani. Melihat dari kondisi di lapangan, tidak sedikit orang tua yang memilih untuk memasukkan anak ke pesantren sebagai sebuah misi penyelamatan dari dampak perceraian yang lebih serius. Pesantren menjadi tempat pendidikan sekaligus diharapkan menjadi rumah yang ramah bagi mereka. Secara umum memang hal ini berdampak baik dari segi pendidikan agama. Ketika sedang menghadapi permasalahan mereka tidak akan sampai kepada tindakan suicide atau bunuh diri, dikarenakan pengetahuan tentang hari setelah kematian yang diperoleh dari pesantren, menjadikan mereka takut untuk melakukan hal tersebut. Selain itu pesantren memiliki jadwal kegiatan sehari-hari yang terstruktur. Hal ini sangat baik bagi mereka, karena anak akan memiliki kesibukan serta akan selalu berada di tempat yang ramai sehingga mereka tidak punya waktu untuk overthinking atau berpikir bermacam-macam. Keseharian mereka akan dipenuhi dengan kegiatan keagamaan seperti belajar ilmu agama, mengaji, berdzikir, ngaji bandongan, serta diskusi yang menjadi dasar kuat bagi mereka dalam menjalani kehidupan. Konsep ketuhanan, tawakkal, ikhlas, dan sabar sangat penting bagi mereka untuk terapkan mulai dari hal-hal sederhana, agar apabila mereka menghadapi suatu hal yang besar mereka tidak mudah untuk menyalahkan diri sendiri, orang tua dan lingkungan. Pada kegiatan muamalah sehari-hari juga sangat perlu untuk diperhatikan. Dalam diri mereka ibarat terdapat gunung es yang jika terungkap hanya terlihat bagian ujungnya saja, terdapat sesuatu yang benar-benar sulit untuk diri mereka selesaikan sendiri. Mereka akan merasa berbeda dari teman-temannya sekaligus perasaan yang sensitif akan berdampak pada interaksi sosial dengan orang lain. Komunikasi sangatlah diperlukan dalam menangani hal ini karena mereka membutuhkan pendengar atau lawan biacara yang baik dan tenang, berada di tengah dan tidak menghakimi siapapun. Diperlukan juga pembiasaan untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat dengan baik agar mereka terlatih untuk tidak gegabah dan dapat mengolah rasa dengan penuh kesabaran. Yang sangat penting juga adalah jangan sampai ada perasaan dibedakan dengan orang lain karena akan berdampak buruk bagi mereka. Tidak menutup kemungkinan juga kami untuk tetap harus berkomunikasi dengan ahli, misalnya psikolog maupun psikiater untuk kondisi tertentu. Karena kami bukan ahli dalam bidang tersebut dan tidak berhak untuk mendiagnosa apapun apabila anak memiliki kecenderungan yang mengarah pada hal yang mengkhawatirkan. Kami hanya membantu dalam pemulihan mental dan mendampingi dalam kehidupan sehari-hari. Kasus-kasus trauma anak terhadap perceraian orang tua memang beragam, tidak semua berdampak buruk walaupun kebanyakan memiliki dampak yang kurang baik. Akan tetapi ada beberapa yang memiliki dampak yang tidak parah dan bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik antara orang tua dan anak sehingga kami tidak perlu terlalu larut dalam permasalahan itu. Berdasarkan penjelasan tersebut, kiranya pengalaman ini menjadi salah satu cerita yang sangat penting bahwa, pesantren bisa menjadi ruang aman bagi anak broken home.

Neswa.id-Saya adalah seorang guru sekaligus pengurus di sebuah pondok pesantren. Mengembang amanah untuk mendidik anak-anak dalam rentang waktu 24/7 sangat tidak mudah. Sebab saya berperan sebagai orang tua. Apalagi dengan saya sendiri yang belum menikah dan belum berpengalaman dalam mendidik anak, semakin membuat saya bimbang. Namun ketika dipercaya untuk amanah ini, maka saya berpikir bahwa saya bisa melaluinya dengan baik. Semangat ini saya miliki dikarenakan pengalaman belajar di pondok pesantren lebih dari 10 tahun sehingga cukup membantu dalam berinteraksi dengan orang banyak dengan berbagai latar belakang dan menyelesaikan masalah sehari-hari.

Dengan ragam latar belakang anak didik di pesantren, tidak jarang mereka datang dari keluarga yang mengalami broken home karena perceraian orang tua. Fenomena perpisahan atau perceraian dapat menimbulkan permasalahan yang serius bagi orang tua atau anak. Terutama dampak yang dirasakan oleh anak termasuk dalam perkembangan sosial dan emosional. Dalam usia yang masih dibawah 10 tahun biasanya mereka melampiaskan segala yang mereka rasakan pada amarah dan tangisan, namun usia 11 ke atas mereka perlahan mulai mengerti dan memilih tidak meceritakan segala permasalahan kepada orang tua. Karena mereka sendiri tau, secara psikis orang tua juga mengalami rasa sakit yang sama sehingga tidak mau menjadikan orang tua semakin terbebani.

Melihat dari kondisi di lapangan, tidak sedikit orang tua yang memilih untuk memasukkan anak ke pesantren sebagai sebuah misi penyelamatan dari dampak perceraian yang lebih serius. Pesantren menjadi tempat pendidikan sekaligus diharapkan menjadi rumah yang ramah bagi mereka. Secara umum memang hal ini berdampak baik dari segi pendidikan agama. Ketika sedang menghadapi permasalahan mereka tidak akan sampai kepada tindakan suicide atau bunuh diri, dikarenakan pengetahuan tentang hari setelah kematian yang diperoleh dari pesantren, menjadikan mereka takut untuk melakukan hal tersebut.

Selain itu pesantren memiliki jadwal kegiatan sehari-hari yang terstruktur. Hal ini sangat baik bagi mereka, karena anak akan memiliki kesibukan serta akan selalu berada di tempat yang ramai sehingga mereka tidak punya waktu untuk overthinking atau berpikir bermacam-macam. Keseharian mereka akan dipenuhi dengan kegiatan keagamaan seperti belajar ilmu agama, mengaji, berdzikir, ngaji bandongan, serta diskusi yang menjadi dasar kuat bagi mereka dalam menjalani kehidupan. Konsep ketuhanan, tawakkal, ikhlas, dan sabar sangat penting bagi mereka untuk terapkan mulai dari hal-hal sederhana, agar apabila mereka menghadapi suatu hal yang besar mereka tidak mudah untuk menyalahkan diri sendiri, orang tua dan lingkungan.

Pada kegiatan muamalah sehari-hari juga sangat perlu untuk diperhatikan. Dalam diri mereka ibarat terdapat gunung es yang jika terungkap hanya terlihat bagian ujungnya saja, terdapat sesuatu yang benar-benar sulit untuk diri mereka selesaikan sendiri. Mereka akan merasa berbeda dari teman-temannya sekaligus perasaan yang sensitif akan berdampak pada interaksi sosial dengan orang lain. Komunikasi sangatlah diperlukan dalam menangani hal ini karena mereka membutuhkan pendengar atau lawan biacara yang baik dan tenang, berada di tengah dan tidak menghakimi siapapun. Diperlukan juga pembiasaan untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat dengan baik agar mereka terlatih untuk tidak gegabah dan dapat mengolah rasa dengan penuh kesabaran. Yang sangat penting juga adalah jangan sampai ada perasaan dibedakan dengan orang lain karena akan berdampak buruk bagi mereka.

Tidak menutup kemungkinan juga kami untuk tetap harus berkomunikasi dengan ahli, misalnya psikolog maupun psikiater untuk kondisi tertentu. Karena kami bukan ahli dalam bidang tersebut dan tidak berhak untuk mendiagnosa apapun apabila anak memiliki kecenderungan yang mengarah pada hal yang mengkhawatirkan. Kami hanya membantu dalam pemulihan mental dan mendampingi dalam kehidupan sehari-hari. Kasus-kasus trauma anak terhadap perceraian orang tua memang beragam, tidak semua berdampak buruk walaupun kebanyakan memiliki dampak yang kurang baik. Akan tetapi ada beberapa yang memiliki dampak yang tidak parah dan bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik antara orang tua dan anak sehingga kami tidak perlu terlalu larut dalam permasalahan itu. Berdasarkan penjelasan tersebut, kiranya pengalaman ini menjadi salah satu cerita yang sangat penting bahwa, pesantren bisa menjadi ruang aman bagi anak broken home. (IM)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *