Neswa.id- Ada semacam keprihatinan Kiai Masdar Farid Mas’udi ketika menyaksikan ketimpangan sosial di tengah masyarakat. Seorang tokoh yang gigih menyuarakan keadilan bagi rakyat miskin itu pernah menulis dalam karya maqnun opusnya, Pajak Itu Zakat: Uang Allah untuk Kemaslahatan Rakyat yang bernada kegelisahan ketika dominasi kekayaan tidak merata di tengah masyarakat setempat. Kegelisahan itu bernada demikian dalam bukunya:
“Mereka adalah orang-orang miskin bukan lantaran mereka malas bekerja, melainkan karena mereka lahir dalam kelas sosial yang sudah kalah aset–dengan demikian mereka pun kalah bersaing dan akhirnya terjatuh dalam perangkap dominasi–dari orang lain yang lebih kuat. Mereka adalah anak-anak manusia yang lahir di lingkungan keluarga yang miskin sumber daya, tak kuasa membeli fasilitas bagi pengembangan diri yang paling sederhana. Padahal, beberapa segelintir anak manusia lain, karena lahir di lingkungan keluarga kaya raya, mampu meraih segala rupa fasilitas untuk keinginan apa saja.”
Kutipan itu mengingatkan pengalaman saya akan suatu hal tentang masa lalu berkenaan dengan pertanyaan bernada gelisah seorang bocah yang berhasrat membaca buku bagus dan persoalan akhir-akhir ini yang jadi perbincangan publik. Saya akan mengurai perbincangan ini secara sistematis mulai dari pengalaman saya pribadi dan berlanjut atas sorotan saya akhir-akhir ini tentang wacana program makan siang gratis.
Pengalaman Masa Lalu
Cerita masa lalunya kira-kira begini. Sejak sekolah dasar (TK-SD-SMP) sampai menengah atas (SMA) pernah terlintas dalam pikiran saya sebuah pertanyaan agak menyedihkan: mengapa sekolah saya tidak punya perpustakaan yang menyediakan buku-buku bagus (bukan hanya buku-buku pelajaran) dan guru akan menyuruh murid-muridnya membaca buku-buku bagus itu sebebas-sepuasnya?
Kesediaan buku-buku bagus itu akan menuntun saya kelak bisa melihat dan memahami dunia dengan seluruh problematikanya dan bagaimana kemudian saya bisa menyiapkan diri menghadapi tantangan yang ada dan yang akan terjadi. Kata pikiran saya ketika masih bocah itu.
Pertanyaan itu mencuat ketika saya masih bocah dan berlangsung terus menerus bergelayut dalam pikiran di masa-masa sekolah dulu waktu berada di pesantren; waktu dimana saya belum mampu berpikir secara merdeka atas pilihan hidup hendak bagaimana kehidupan kenak akan saya tempuh-jalani berkenaan carut marut tantangan dunia yang kini makin hari makin menantang bagai ombak di tengah lautan.
Dan jawaban atas pertanyaan itu, tidak mendapatkan jawaban dari saya sendiri. Saya baru paham jawabannya setelah banyak dan tekun membaca-menelaah buku-buku, setelah proses panjang penuh berliku-liku mencari beasiswa di sana sini.
Padahal dahulu, kalau diperkenankan jujur, saya tidak tekun membaca buku-buku; karena memang sekolah tidak menyediakan buku-buku bagus menurut ukuran saya; meskipun pernah terlintas dalam pikiran bahwa saya ingin membaca buku-buku bagus namun akses terhadap buku-buku bagus belum bisa saya nikmati-temui, dan baru bisa saya nikmati setelah masuk ke perguruan tinggi dan bertemu orang-orang pintar yang mengajarkan bagaimana cara belajar dan tekun membaca isi dunia.
Pengalaman tersebut begitu berpengaruh terhadap cara berpikir saya hari-hari ini; bahwa betapa buku-buku bagus dan pendidikan gratis bagi anak yang membutuhkan adalah jaminan masa depan kehidupannya. Dan memang jaminan masa depan yang cerah bergantung pada kualitas cara berpikir manusia dalam memandang kehidupannya. Itulah bagi saya keberhasilan menempuh kehidupan ini dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada. Yaitu kualitas cara berpikir sebagai acuan dan ukurannya sehingga ia mampu berperilaku baik dan menebar kebermanfatan bagi masyarakat sekitar.
Sorotan Masa Kini dan Sekolah Berkeadilan
Ketika pemerintah kini sibuk mengurus program makan siang gratis dan sibuk bagi-bagi jabatan ini dan itu saya kok makin cemas menaruh harapan pada anak muda sekarang. Lebih-lebih anak muda yang lahir dan besar dari keluarga serba terbatas (untuk tidak mengatakan miskin).
Anak-anak muda yang lahir dan besar dari keluarga serba terbatas sekarang hanya kekurangan kesempatan mengakses buku-buku bagus yang bisa mengimbangi kemampuan anak-anak muda yang lahir dari keluarga kaya raya; yang besar mendapat kesempatan mewah mengakses segala fasilitas apa saja. Termasuk buku-buku bagus dan pendidikan berkualitas.
Saya tidak menolak sepenuhnya program makan siang gratis asalkan pendidikan gratis dan program akses buku-buku bagus bagi anak-anak tidak mampu disediakan oleh pemerintah melalui program sekolah berkeadilan.
Selama pemerintah menutup pikiran atas persoalan “akses kesempatan” itu rasanya kecemasan dan kegelisahan ini tidak mungkin terobati hanya dengan makan siang gratis, hanya dengan janji-janji manis.
Saya berpikir mestinya pemerintah lebih memprioritaskan pendidikan gratis dan program akses buku-buku bagus ketimbang makan siang gratis bagi setiap anak. Kecuali anak yang betul-betul tidak mampu berikanlah makan siang gratis dari pemerintah tersebut. Akan jauh lebih bagus kiranya program semacam itu digaungkan dimana-mana dan, saya pikir, itu jauh lebih adil oleh sebab satu hal.
Anak-anak desa seperti saya hanya kekurangan akses buku-buku bagus dan pendidikan gratis. Buktinya ketika saya diberi kesempatan mengakses pendidikan ke perguruan tinggi dengan mendapat beasiswa saya mampu mengimbangi kemampuan rata-rata anak yang lahir dan besar dari keluarga kaya raya; yang pada dasarnya mereka sudah mendapat fasilitas apa saja dalam mengembangkan potensi dirinya. Setidaknya kini saya bisa mengimbangi mereka. (Ini tidak berarti saya sedang membusungkan dada; saya ingin mengatakan berikan hak setiap anak menempuh pendidikan sejak dini “dengan fasilitas buku-buku bagus” hingga ke perguruan tinggi).
Ketika saya berada di kampus dan mendapat fasilitas layak sebagai penunjang belajar–seperti buku-buku dan pelbagai macam rupa fasilitas lain–tak henti-hentinya saya memanfaatkan fasilitas tersebut guna mengembangkan potensi diri saya sebagai manusia merdeka; yang punya hak yang sama dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis-analitis dalam memecahkan masalah-masalah yang saya hadapi.
Ini berbanding terbalik ketika saya masih di bangku sekolah dasar sampai sekolah menengah atas dimana saya kesulitan mengembangkan potensi saya karena keterbatasan fasilitas penunjang belajar seperti buku-buku bagus dan pelbagai penunjang belajar lainnya.
Apa yang bisa dikembangkan anak muda serba terbatas seperti saya bila sekolah saya pada waktu itu tidak punya perpustakaan yang memadai; yang menyediakan buku-buku bagus (yang tidak hanya buku-buku pelajaran diktat bikin ngantuk) untuk dibaca murid-muridnya dengan perasaan gembira? Coba pemerintah sekarang terjun langsung dan melihat fasilitas sekolah di desa-desa terpencil khususnya: apakah sudah memadai bagi penunjang belajar mereka?
Bukankah anak yang lahir dan besar dari keluarga serba terbatas juga punya hak yang sama sebagai calon penerus bangsa, dengan anak yang lahir dan besar dari keluarga kaya raya; yang mendapat fasilitas akses pendidikan bagus dan layak? Apakah sudah tepat dan adil bagi anak yang lahir dan besar dari keluarga serba terbatas dicampakkan begitu saja nasibnya, dan dilupakan potensi kemampuannya hanya dengan program makan siang gratis? Tidak bisakah pemerintah memikirkan dan menindaklanjuti akses pendidikan gratis dan program buku-buku bagus tersebut agar setiap anak bangsa bisa menjangkau pendidikan bermutu dan berkeadilan seraya bisa dan mampu mengembangkan potensi dirinya hingga melejit ke angkasa sana seperti dirasakan anak-anak yang lahir dan besar dari keluarga kaya raya?
Saya berpikir dan terkadang mencurigai: jangan-jangan pemerintah sadar atas persoalan mendasar yang saya tulis ini namun enggan menggaungkan dan melaksanakannya. Pikiran nakal saya bergelayut akhir-akhir ini: jangan-jangan pemerintah ini takut kalau rakyatnya makin hari makin pintar sehingga tak mau dan takut melaksanakan program strategis tersebut? Wallahu A’lam. (IM)
Leave a Reply