,

Pemberdayaan Perempuan di Kampung; Kisah Kepemimpinan Ceu Mumun

/
/


“Anak-anak, ceu Mumun maot”, begitu tulis ibu di WAG keluarga kami di suatu pagi, 27 Januari 2021 silam. Ceu Mumun, seorang imam salat majelis istri dan ustadzah di kampung kami, Cidoro Karawang, meninggal dunia. Ibu saya memang selalu mengabarkan berita-berita kepulangan para sesepuh, ajeungan, dan para baraya semua, juga berita-berita lain. Lalu untuk turut menyampaikan tanda belasungkawa, biasanya kami  mengumpulkan sedikit uang untuk diserahkan melalui ibu ke keluarga yang berduka. Kami langsung merespon, memastikan, dan menanyakan penyebab meninggalnya ceu Mumun, mengingat kami semua di pengumbaraan tidak mengetahui keadaan kesehatan ceu Mumun dengan baik akhir-akhir ini.

Kami berpikir ceu Mumun baik-baik dan sehat-sehat saja. Di hari aqiqah anak adik bungsu saya dua minggu sebelumnya, yang kebetulan dilaksanakan di rumah ibu kami (di mana saya tidak menghadirinya), ia masih datang memimpin acara pengajian. Pelaksanaan aqiqah dilangsungkan dengan menaati protokol kesehatan, jamaah yang hadir terbatas, dan tanpa acara pengguntingan rambut oleh jamaah termasuk oleh ceu Mumun.

Saya menelepon ibu. Menurut ibu, ceu Mumun menderita kanker usus yang sudah dirasakannya sejak lima bulan sebelum wafatnya. Ketika pertama kali terdeteksi, ia langsung dibawa ke sebuah rumah sakit di Bandung untuk menjalani operasi. Ia merasa sehat setelahnya dan kembali beraktivitas. Namun, kami tidak mengetahui dengan baik kondisi kesehatannya dengan pasti, hingga akhirnya memburuk lagi. Tiga hari sebelum berpulang, ceu Mumun mengeluhkan rasa sakit. Saat dibawa ke rumah sakit, menurut penuturan dokter, situasi itu rupanya sudah terlambat. Ia menghembuskan napasnya ketika keluarga masih menyimpan harapan kesembuhan. Saya berduka mendalam dan ingin mengenang dengan menuliskan tentangnya, terutama karena jasa penting ceu Mumun di kampung kami terutama dalam kegiatan keagamaan. Ia merupakan salah satu pemegang otoritas keagamaan, juga dikenal di kalangan masyarakat kampung sekitar.

Majelis Istri dan Kepemimpinan Keagamaan

Ceu Mumun berusia sekitar 58 tahun ketika meninggal dunia. Ketika saya masih anak-anak dan duduk di bangku Sekolah Dasar, ceu Mumun sudah menjadi ustadzah muda, membantu mengajar kami mengaji di sebuah kobong istri (pesantren) bernama Nadhmiyah. Kobong istri ini dipimpin oleh seorang Ajeungan mumpuni, bapak Saefudin dan istrinya, uwa Emoy. Pasangan pemimpin kobong ini sudah wafat; ajeungan Saefudin wafat 10 tahun silam, sementara uwa Emoy dua tahun lalu. Saya berhutang banyak ilmu agama kepada mereka berdua.

Ceu Mumun awalnya adalah santri senior di kobong kami. Ia menonjol dan luwes, mempunyai kemampuan berorasi dengan baik, karenanya ia lalu diminta membantu mengajari kami mengaji. Ketika saya meninggalkan kampung untuk nyantri di Bogor, ceu Mumun masih terus membantu mengajar ngaji di kampung. Ia bahkan menjadi imam pada jamaah salat di hari-hari besar Islam, seperti salat tarawih, Iduladha, dan Idulfitri, yang diselenggarakan di kobong Nadhmiyah. Kegiatan salat yang dipimpin ceu Mumun tidak hanya diikuti oleh para santri, tetapi juga oleh warga perempuan atau ibu-ibu di kampung kami. Ceu Mumun menjadi imam salat tersebut bergantian dengan uwa Emoy yang sudah menjadi imam sejak lama. Setiap saya pulang dari pesantren (saat saya masih siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri dan Madrasah Aliyah Daarululuum di Bogor) untuk berlibur hari raya, saya masih selalu sempat mengikuti beberapa malam untuk salat tarawih dengan ceu Mumun atau uwa Emoy sebagai imam.

Seiring berjalannya waktu, perubahan zaman, serta perkembangan minat pendidikan di kampung kami, kobong Nadhmiyah mulai sepi hingga akhirnya tidak ada santri mondok lagi. Anak-anak muda mulai meninggalkan kampung untuk nyantri di pesantren-pesantren besar di luar kampung kami. Namun demikian, ceu Mumun dan uwa Emoy tetap menggelar pengajian dengan mengajak para ibu di kampung kami untuk mengikutinya. Berkat bantuan seorang dermawan didirikanlah majlis istri, menggantikan kobong yang sudah dialihkan fungsi sebagai tempat tinggal.

Di kampung kami, salat Idulfitri, Iduladha, dan tarawih diselenggarakan terpisah dari jamaah laki-laki. Praktik ini sudah berjalan sejak saya masih kecil. Ada banyak majelis istri di kampung kami, selain yang berada dekat di kobong Nadhmiyah itu. Majelis-majelis ini digunakan para istri atau para ibu untuk mengikuti pengajian agama dan melaksanakan salat di hari-hari besar Islam.

Keberadaan majelis istri dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang diikuti oleh para perempuan ini menunjukkan adanya fenomena pemberdayaan perempuan di kampung kami dalam hal kepemimpinan perempuan. Para perempuan mampu menjadi pemimpin dan dianggap otoritatif dalam penyampaian ajaran agama di kalangan para istri dan anak-anak perempuan.

Segregasi Berbuah Otoritas dan Pemberdayaan Perempuan

Kaitannya dengan kegiatan salat berjamaah, memang para imam perempuan ini menjadi pemimpin salat di kalangan pengikut/makmum perempuan saja. Namun, kepemimpinan seperti ini tetap saja menjadi sebuah hal yang menarik terutama dalam konteks Islam dan masyarakat tradisional seperti kampung saya.

Kepemimpinan perempuan selama ini diperdebatkan kebolehannya dalam beberapa bidang  atau ranah termasuk  ranah hukum dan politik. Namun, dalam bidang pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan, terutama pesantren, kepemimpinan perempuan sudah lama terlihat. Banyak kajian terkait ada dan kuatnya kepemimpinan perempuan di lembaga-lembaga pendidikan. Kajian yang dilakukan Prof. Eka Srimulyani menegaskan kuatnya kepemimpinan perempuan di lembaga pendidikan di Dayah, Aceh. Kajian Kloos memperlihatkan hal yang sama terkait dengan kuatnya kepemimpinan perempuan dalam bidang pendidikan. Belakangan, dalam bidang hukum, keterlibatan dan kepemimpian perempuan mulai menguat, yakni si Pengadilan Agama, sejak 1989 keterlibatan perempuan telah diberi landasan hukum formal. Searah dengan fenomena ini, meski dalam beberapa kegiatan lain laki-laki mendominasi, para perempuan di kampung saya menemukan tempatnya sendiri untuk menjadi pemimpin. Meskipun pergeseran yang terjadi belum melampaui konsep kepemimpinan laki-laki di mana yang dipimpin melibatkan kedua kelompok jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, diskriminasi perempuan di kampung kami telah tergeser beberapa jarak.

Terdapat sebuah fenomena menarik, bahwa beberapa meter dari kobong kami yang dijadikan tempat salat para istri tersebut, terdapat sebuah Masjid Agung dengan nama al Jaami’, yang biasa kami sebut ‘Masjid Jame’. Masjid itu malah menjadi lebih dekat dengan majelis istri yang didirikan menggantikan tempat pengajian dan salat di kobong itu.

Tentang pelaksanaan salat terpisah ini, empat tahun lalu saya melakukan penelitian melalui wawancara dengan ceu Mumun, uwa Emoy (ketika itu ia masih hidup), dan ceu Lilim (putri uwa Emoy, yang beberapa kali juga diminta menggantikan uwa Emoy) serta dua imam salat di Masjid Agung/ajeungan (ustadz laki-laki). Saya juga melakukan pengamatan di majelis istri lain yang berada di kampung kami, juga di Kota Cianjur. Menurut salah satu ustadz, Cianjur mempunyai kaitan dengan praktik dan fenomena di kampung kami.

Kajian saya kala itu menegaskan bahwa segregasi di kampung kami dalam pelaksanaan salat telah memberdayakan para perempuan di mana perempuan mempunyai otoritas keagamaan yang lebih baik dan mampu menjadi pemimpin. Kesimpulan ini lahir dari pengamatan saya dan pernyataan kedua imam laki-laki yang saya wawancarai bahwa pemisahan praktik salat perempuan dari laki-laki awalnya ditujukan untuk menghindarkan fitnah dan kerusakan dalam hal niat bersalat. Mempunyai pemahaman searah, kedua imam laki-laki ini menyebutkan bahwa jika perempuan datang ke tempat yang sama bersama laki-laki, tidak bisa terhindarkan pertemuan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, tutur keduanya, mungkin lebih dari itu, yaitu fitnah mata akan muncul.

Masih menurut mereka, gerakan salat dan suara perempuan juga bisa menimbulkan ketidakkhusukan pihak-pihak tertentu meskipun terdapat hijab/pemisah tempat antara perempuan dan laki-laki, baik dalam formasi bersebelahan dengan formasi shaff depan (untuk laki) dan belakang (untuk perempuan). Menariknya lagi, satu imam menyebutkan bahwa perempuan mempunyai posisi yang sama dalam salat dan tidak semestinya berada di belakang, sebuah alasan atau argumen yang ia tambahkan sambil ia sendiri memastikan ketegasan dan sandaran hukumnya.

Pengajian dan pelaksanaan salat demikian berjalan terus, bahkan hingga saya mulai meninggalkan kampung halaman untuk melanjutkan pendidikan S1 di Jakarta dan S2 di Belanda. Sekira delapan tahunan silam, ceu Mumun mulai menjadi imam utama ketika uwa Emoy sudah mulai sepuh dan lemah secara fisik. Adapun ceu Lilim, putri uwa Emoy, dan ajeungan Saefudin, akan membantu atau menggantikannya ketika ceu Mumun berhalangan.

Sebelum pandemi menerjang, saya masih berkesempatan satu kali mengikuti salat tarawih untuk beberapa malam akhir Ramadan dan salat Ied dengan jamaah para istri yang dipimpin ceu Mumun. Ketika ceu Mumun mengetahui kehadiran saya di kampung halaman waktu itu, ia kemudian mendatangi rumah ibu kami untuk meminta saya menjadi imam salat Idulfitri. Bukan tidak ingin membantu, saya selalu menolaknya dengan halus. Saya menyampaikan bahwa saya tidak bisa menjadi imam salat Ied dengan baik sesuai kebiasaan yang sudah mapan, terutama kaitannya dengan pengaturan bersalaman, bertakbir, dan lainnya. Satu kali saya sempat mengiyakan dengan keraguan, tetapi di malam takbiran saya malah berhalangan untuk salat, dan saya langsung mendatangi rumah ceu Mumun untuk berkabar. Saya tidak bisa memenuhi harapan ceu Mumun.

Kepemimpinan Perempuan; Harapan Berkelanjutan

Ceu Mumun merupakan perempuan kuat, mempunyai dedikasi tinggi, dan rendah hati. Bersama dengan para perempuan lain, seperti teh Faridah dan bi Asih, yang menjadi pemimpin majelis dan imam salat di kampung-kampung sekitar, ia terus bergerak untuk para ibu dan beberapa tahun terakhir untuk anak-anak muda yang mulai berdatangan kembali mengaji di majelis istri. Ia bersama dengan para imam perempuan lain terberdayakan dan memberdayakan masyarakat di kampung kami. Dengan berpulangnya ceu Mumun, saya dan terlebih para istri di kampung sangat kehilangan. Saya menyesal tidak bisa menemuinya ketika di Desember 2020 lalu saya menyempatkan pulang kampung sejenak menemui orangtua saya. Pandemi membuat saya berpikir untuk menunda dulu pertemuan dengan kerabat di kampung, termasuk ceu Mumun.

Saya mendengar bahwa sejak beberapa kepulangan ceu Mumun, nama-nama perempuan lain mulai terdengar menggantikan. Ceu Een dan ceu Encum merupakan beberapa di antaranya yang terdengar. Beberapa alumni santriwati pondok pesantren tampak mulai menunjukkan minat mereka untuk menjadi pemimpin di majelis-majelis istri di kampung saya dan kampung-kampung lain sekitar.  

Selamat jalan, ceu Mumun. Insyaallah husnul khatimah. Ilmu yang ditinggalkan untuk para istri dan keikhlasan dalam memimpin kegiatan keagamaan akan mengalirkan pahala yang insyaallah menerangi tempat peristirahatan ceu Mumun.  Al Fatihah…



One response to “Pemberdayaan Perempuan di Kampung; Kisah Kepemimpinan Ceu Mumun”

  1. Avatar
    abdullah

    Selamat jalan Ceu Mumun, guru dari guru kami. Semoga ilmu, dedikasi, dan perjuanganmu terus mengalir ke kami dan seluruh pahalanya kembali kepadamu, yg telah di sisi-Nya. Amin YRA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *