Belajar bahasa asing bisa jadi menyenangkan bagi sebagian orang. Kamu akan menikmati dan merasa mudah belajar Bahasa Korea ketika kamu adalah salah satu penggemar K-drama maupun K-pop. Hal ini juga sama ketika kamu memiliki ketertarikan untuk berbahasa Jepang, dan menjadi penikmat drama-drama jepang atau wibu. Rasanya akan berbeda, ketika kamu belajar bahasa atas dasar keharusan dan keterpaksaan. Maksud saya, semisal, sebab tinggal di luar negeri atau tuntutan pelajaran sekolah.
Pesantren sebagai tempat pertama belajar bahasa
Menafikan bahasa inggris yang beberapa mufrodat-nya sudah saya pelajari bahkan tanpa sadar kapan belajarnya, bahasa asing yang pertama kali saya pelajari adalah bahasa arab. Sebagai anak yang berangkat ke pesantren tanpa tahu bahwa bahasa arab-nya kursi adalah al-kursiyyu, saya juga bisa bilang bahwa pesantren adalah ‘sekolah’ bahasa pertama saya.
Meski pesantren tempat saya belajar, bukan termasuk yang biasa disebut pondok bahasa, kurikulum dan program pesantren membuat saya ‘terpaksa’ belajar bahasa arab. Dimulai dari belajar satu per satu mufrodat lewat mata pelajaran di sekolah, maupun terjun langsung dalam teks-teks berbahasa arab dalam kitab-kitab kuning yang dikaji di pondok.
Setidak-tidaknya, ada dua hal yang hampir pasti dipelajari di pesantren-pesantren (khususnya di Jawa) dalam rangka menguasai bahasa utama dalam kajian-kajian islam ini. Pertama: pegon atau makna jawa untuk memahami arti dan susunan kata bahasa arab. Kedua: tashrifan shorof untuk memahami konjugasi dan perubahan kata.
Pegon ditulis dengan huruf arab dengan makna jawa di bawah kata bahasa arab. Terdiri dari makna atau arti per kata dan keterangan posisi kata dalam kalimat yang berpengaruh pada bacaan harokat akhir kalimat. Di pondok pesantren, pegon biasanya dipelajari lewat dua cara. Dibacakan oleh guru pada santri-santri, atau santri belajar dan berusaha memaknai sendiri untuk kemudian disetorkan pada guru. Pengulangan terjemah dan kebiasaan membuka kamus setiap menemukan kata baru maupun kata lama yang belum dihafal, saya rasa, jadi cara yang relatif lebih ringan dibanding sekadar menghafal satu per satu kata.
Tashrifan shorof dipelajari untuk memahami perubahan dalam satu kata bahasa arab sebelum masuk ke dalam kalimat. Sebagaimana bahasa asing seperti bahasa Inggris yang bentuk katanya berubah seiring perubahan makna waktu dalam kata tersebut, kata-kata kerja dalam Bahasa Arab berubah tergantung pada makna waktu dan subjek pelaku pekerjaan. Semisal kata فَعَلَ yang menunjukan bahwa pekerjaan dilakukan di masa yang sudah lalu, يَفْعُل yang menunjukkan bahwa pekerjaan sedang dilakukan atau akan dilakukan, dan فَعْلًا sebagai bentuk nomina dari kata kerja tersebut.
Semasa saya sekolah, seluruh santri diharuskan menulis dan menghapalkan perubahan-perubahan kata ini. Beberapa mufrodat sekaligus artinya setiap pekan, dengan tingkat kesulitan kata yang bertahap dari kata dasar sampai kata-kata rumit. Pengulangan baik secara tertulis maupun lisan yang terus menerus dan keadaan ‘mau tidak mau harus hapal’ membuat santri, terbiasa dan semakin mudah mengenali bentuk kata dalam Bahasa Arab.
‘Pegon’ dan ‘Tashrif’ Untuk Mempelajari Bahasa Asing Lainnya
Hidup dan melanjutkan studi di Maroko membuat saya ‘terpaksa’ belajar Bahasa Perancis. Apalagi ketika saya harus menghadapi ujian nasional di tingkat terakhir. Berbekal pengalaman sebelumnya, saya mencoba menerapkan kebiasaan pegon dengan terus menerus menulis arti kata di bawah teks-teks berbahasa perancis. Sebagaimana di pesantren, pengulangan penulisan arti dan kata dari teks-teks berbuah manis, meski sedikit demi sedikit. Begitu pula dengan konjugasi kata-kata dalam Bahasa Perancis. Berusaha menerapkan metode belajar shorof di pesantren. Saya membuat tabel, menulis dan mengulang-ulang ‘tashrifan’ kata, terutama di hari-hari sebelum ujian berlangsung. Cara ini terasa sebagai salah satu cara paling praktis dan cepat.
Di kesempatan lain, seorang teman warga asli Maroko bercerita bahwa salah satu cara yang ia lakukan untuk belajar Bahasa Perancis adalah dengan terus menerus menulis arti kata yang belum ia ketahui di bawah kata tersebut. Menarik!
Dua cara ini, meski tidak persis dengan aksara pegon, saya kira akan selalu bisa diterapkan dalam mempelajari bahasa-bahasa asing. Terutama bahasa yang memiliki konjugasi kata rumit maupun susunan kata dalam kalimat yang tidak sama dengan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu kita. Semisal bahasa Inggris dengan verbs satu, dua, dan tiga, maupun bahasa lainnya.
‘Ala kulli hal, bahasa adalah mumarosah. Sebagaimana kemampuan memasak yang susah meningkat jika hanya terus menerus membaca resep tanpa praktek, belajar bahasa juga perlu dipraktikkan. Seringnya pengamalan dan penggunaan bahasa berbanding lurus dengan kemampuan kita menguasai bahasa tersebut. (IM)
Leave a Reply