Sebuah patung perempuan tampak elegan berdiri di samping tangga sambil mengapit buku di tangannya. Patung ini dibangun di halaman gedung klasik kota Tabriz untuk menghormati sastrawan perempuan yang amat dicintai masyarakat Iran, Parvin Etesami. Nama Parvin sudah sering terdengar, tapi perkenalan saya dengan karyanya dimulai dari buku bersampul merah, hadiah seorang teman. Buku ini mengulas kiprah 25 peyair klasik Persia. Nama Parvin terselip di antara para penyair terkemuka lainnya, sekaligus satu-satunya penyair perempuan yang diulas dalam buku tersebut.
Parvin lahir pada tanggal 16 Maret 1907 di Tabriz, kota yang banyak melahirkan para penyair. Latar belakang ayahnya sebagai seorang jurnalis dan sastrawan mewarnai masa kecilnya. Banyak sastrawan terkemuka yang kerap mengadakan pertemuan di rumahnya. Dari sang ayah pula Parvin belajar sastra Arab dan Persia. Bakat menulis puisinya mulai terlihat sejak Parvin berusia tujuh atau delapan tahun, tetapi karya-karyanya baru dipublikasikan ketika ia beranjak remaja. Diwan pertamanya yang berisi 156 puisi diterbitkan tahun 1935.
Kepiawaian Parvin dalam mengolah kata menarik perhatian berbagai kalangan. Pihak kerajaan Pahlavi sempat memintanya untuk mengajar di lingkungan istana. Bahkan mereka juga bermaksud memberikan penghargaan kesusastraan. Namun Parvin menolak. Ia memilih tetap berada di tengah masyarakat. Menjadi pustakawan biasa dan mengajar sastra di sebuah sekolah. Pengalaman mengajar inilah yang membuat syairnya dekat dengan dunia pendidikan. Larik-lariknya syarat petuah dan hikmah.
Sampai sekarang, puisi-puisi Parvin menjadi materi pengajaran sastra Persia di sekolah-sekolah. Misalnya, di buku pelajaran sastra Persia milik putra saya kelas tujuh, dibahas puisi Parvin yang berjudul “Arejo Parvaz” atau Harapan untuk Terbang. Puisi ini bercerita tentang seekor anak burung yang baru belajar terbang. Tapi ia sudah tak sabar ingin menjelajah dunia. Parvin, dengan meminjam ilustrasi sederhana si anak burung, sebenarnya sedang memotret satu fase perkembangan hidup manusia yang cukup signifikan, yaitu masa remaja. Selain dikenal sebagai penyair anak, Parvin juga kerap menyuarakan isu perempuan melalui syair-syairnya.
Parvin dan Sastra Perempuan
Hak-hak perempuan dalam pemikiran Parvin memiliki tempat yang istimewa. Ia menulis panjang tentang perempuan dan sejarah untuk tugas akhirnya. Bagi Parvin, peran perempuan tidak hanya sebagai ibu dalam institusi keluarga, tetapi juga ibu dalam struktur masyarakat sosial yang lebih luas. Karena itulah Parvin selalu menekankan pentingnya kesetaraan pendidikan antara laki-laki dan perempuan.
Tampaknya Parvin menyadari betul, sebagai penyair perempuan yang terbilang langka pada masanya, ia perlu mengisi kekosongan panggung ini. Melalui puisi-puisinya, Parvin mengajak perempuan untuk bangun dan menyadari hakikat kediriannya. Salah satu puisi Parvin yang kental dengan warna femininnya berjudul “Feresht-e Uns” atau Malaikat Penyayang.
Di rumah yang tak ada perempuan, tak mudah temukan kasih sayang
Di tempat ketika hati mati, maka keringlah jiwa
Perempuan sejak awal adalah pondasi sebuah rumah
Bangunan akan hancur tanpanya
Dialah malaikat yang tak kenal lelah
Hanya iblis yang berani mencelanya
Jika Plato dan Sokrates hebat
Maka hebat juga perawatnya
Dalam buaian seorang ibu
Lukman tumbuh menjadi bijak
Seorang pahlawan, pesalik, dan faqih
Pernah menjadi lulusan madrasahnya
Di tempat mana mantra cinta dibaca tanpa menyebut namanya
Di tanah mana keagungan dibincangkan tanpa menyebut Raja Sulaiman
Duhai cerdik pandai, bagaimana tugas perempuan dan laki-laki?
Salah seorang menjadi perahu, yang lain sebagai penunjuk arah
Karena nakhoda yang pandai dan perahu yang kuat
Akan tegar dihantam gelombang dan topan
Gadis hari ini akan menjadi ibu masa depan
Seorang ibu yang memberi jalan bagi penerus
Apa yang dimiliki suami untuk istri
Tapi apa yang dimiliki ibu untuk anak
Seorang perempuan bukan hanya nyonya rumah
Ia terkadang menjadi dokter, perawat, bahkan penjaga
Ketika kita sehat, ia akan jadi teman yang menyenangkan
Ketika kita sakit, ia menjelma malaikat pelindung
………….
Adakah yang lebih berharga dari pengetahuan
Adakah hadiah yang lebih indah dari karunia irfan
Tak perlu sibuk dengan perhiasan kalung dan gelang
Parvin lebih memilih esensi pengetahuan dibanding polesan luar
Puisi ini ditulis dalam latar belakang sosial yang masih bercorak patriarki di masa transisi dinasti Pahlavi. Akses pendidikan untuk perempuan saat itu masih terbilang sulit. Ia sendiri bisa bersekolah tinggi lantaran terlahir dari keluarga terpelajar dan mapan. Kemampuannya untuk mengakses berbagai literatur luar membawa ide-ide pencerahan dan emansipasi bagi kaumnya. Di sisi lain, Parvin masih berpijak kuat pada akar tradisi lokal. Karena itulah, pandangannya terkait isu-isu perempuan dianggap mampu menjembatani kalangan tradisionalis dan modernis.
Pada bait-bait pertama puisi, Parvin menyadari peran penting perempuan sebagai seorang ibu yang sulit tergantikan. Ibu sebagai madrasah pertama, yang juga pernah melahirkan orang-orang hebat. Ibu dengan segala pengorbanannya untuk keluarga. Di sini, Parvin seolah mewakili pandangan kaum tradisionalis.
Namun, pada bait selanjutnya, ketika Parvin menulis: “Perempuan dan laki-laki ibarat perahu dan nakhoda”, ia mulai menuntut adanya hubungan keselarasan dan kerja sama antara laki-laki dan perempuan. Sepandai apapun nahkoda, tidak akan dapat melayari lautan tanpa perahu. Di bagian akhir puisi, tuntutan itu terasa lebih jelas. Parvin ingin para perempuan juga memiliki kesempatan belajar yang sama. Dalam petikan puisi lainnya yang berjudul “Nahal-e Arejo” atau Tunas Harapan, secara lebih tegas Parvin menuliskan:
Betapa banyak perempuan Iran yang tidak berpengatuhuan
Padahal keunggulan laki-laki dan perempuan ditentukan oleh ilmu
Setiap perempuan harus memahami arti penting belajar
Agar tak lagi ada yang berkata, lelaki pasti lebih pintar
Sayangnya, pandangan-pandangan Parvin yang futuristik ini harus terhenti, lantaran ajal begitu cepat menjemputnya. Di usia 35 tahun, Parvin tutup usia. Meski ia berkarya dalam rentang waktu yang tak panjang, tapi sampai sekarang syair-syair Parvin masih terus diapresiasi. Bahkan, namanya diabadikan dalam “Festifal Tahunan Parvin” untuk memotivasi para perempuan di bidang sastra dan seni.
Sementara jasad Parvin bersemayam di tempat suci yang sangat dihormati masyarakat Iran, yaitu kompleks pemakaman Haram Sayidah Maksumah, seorang ulama perempuan dan adik Imam Ali Ar-Ridha, di kota Qom. Parvin berwasiat untuk menuliskan syair ini di pusaranya:
Orang yang hari ini telah banyak bicara
Suatu hari akan memohon Yasin dan Fatihah
Siapapun kamu dengan segala pencapaianmu
Inilah (makam) rumah terakhirmu
Parvin, perjuanganmu untuk mencerdaskan kaum perempuan, mengingatkan saya pada Kartini. Seorang perempuan Indonesia yang juga merindukan kesetaraan pendidikan untuk kaumnya. Alfatihah untuk Parvin, juga Kartini.
***
Leave a Reply