Orang Kota dan Perjalanan ‘Eco Friendly’ Yang Tak Kunjung Henti

/
/


Pengalaman masa kecil saya bisa dikatakan cukup dekat dengan segala jenis daun-daun-an untuk membungkus nasi. Maklum saya lahir di sebuah kota di mana makan nasi pecel merupakan sebuah kebiasaan setiap pagi bahkan di tengah malam sekalipun. Nasi pecel itu selalu dibungkus dengan daun pisan atau daun jati. Tak hanya nasi pecel seh, segala macam jajanan dari gethuk sampe nasi jagung semua dibungkus daun-daun-an. Sendoknya pun diambil dari sobekan daun pisang, atau biasa disebut suruh. Setelah makan, tinggal buang dan dalam beberapa waktu menjadi kompos. Sangat eco friendly kan?

Paling tidak itu dulu. Sekarang, nasi pecel sudah dibungkus koran plus kertas minyak. Hanya sedikit penjaja nasi bungkus yang masih setia dengan daun pisang. Selain tidak praktis, konon harga daun pisang juga tidak lagi murah di pasar.

Yah, eco friendly. Terdengar sangat urban, dan modern. Ragam informasi tentang gaya hidup yang ramah lingkungan mulai gencar disuarakan masyarakat kota. Dari sedotan stainless sampai meminimalisir penggunaan plastik. Juga, mengganti piring plastik dengan piring yang terbuat dari daun. Waktu seperti berputar kembali.

Dulu, orang-orang desa tak ada yg kenal plastik sampai dikenalkan oleh masyarakat perkotaan. Plastik menjadi inovasi baru dalam hal packaging. Apa-apa diplastikin. Beli coki-coki dua buah pakai plastik. Seolah tak lengkap jika beli sesuatu tanpa bungkus plastik.

Di pasar, yang biasanya memakai tas keranjang mulai beralih dan bahkan sudah didominasi plastik. Bahkan sayur mayur yang sebenarnya tdk perlu dibungkus seperti brokoli, kol, wortel dll malah dibungkus plastik. Plastik seakan tak bisa lepas dari pasar, warung, dan toko-toko kecil.

Plastik kian menjadi idola biarpun sudah muncul peringatan dan himbauan dari masyarakat kota untuk mengurangi penggunaan plastik. Nyatanya, plastik semakin melekat dan tak bisa dilepaskan dari masyarakat desa.

Tak hanya plastik. Hal-hal baru yang masuk desa salah satunya adalah fast atau junk food. Jenis makanan ini juga pertama kali dikenalkan oleh masyarakat kota. Dulu makan KFC bagi saya adalah kemewahan. Saya pertama kali makan KFC zaman kuliah, believe it or not. Itu juga cuma sekali. Saya merasa KFC hanya berhak dimakan oleh orang-orang kaya. Senasib dengan roti tawar pakai selai. Duh, emejing banget.


Perihal fast food ini lambat laun menjadi makanan masyarakat kampung (desa) sehari-hari. Anak-anak kerapkali tak mau makan kecuali pake ayam model crispy, ala-ala KFC alias ayam tepung. Di pinggir-pinggir jalan berjejalan penjual ayam crispy dengan berbagai model. Menu ayam tepung crispy menjadi santapan anak-anak di kampung setiap hari. Begitu cerita salah satu tetangga kami, anak-anak akan malas makan jika lauknya bukan ayam tepung macam rocket chicken, olive, atau yang jual di gerobak-gerobak pinggir jalan.

Waktu berjalan, hingga akhirnya himbauan dan larangan-larangan memakai plastik dan juga untuk tidak mengkonsumsi fast food datang lagi-lagi dari masyarakat perkotaan. Semacam perjalanan yang mbulet dan tak kunjung henti. Sebelum tren plastik dan juga makanan fast food, masyarakat pedesaan sudah terlebih dahulu mengenal menu makanan sehat. Tak perlu mengenalkan menu diet macam food combining atau keto-keto an. Mereka jauh lebih paham bagaimana nikmatnya makan yang bersumber dari kebun, sawah atau hasil ternak sendiri.

Iming-iming kenikmatan yang datang dari kota merubah gaya hidup masyarakat desa. Kurang afdhol jika belum mengkonsumsi dan menikmati sesuatu yang banyak bertebaran di kota.

Arus itu kembali berbalik arah. Menu-menu vegan kembali dikenalkan masyarakat urban, namun dengan harga selangit. Coba saja kalau tidak percaya, membeli makanan sehat ala menu diet yang banyak bertebaran di instagram. Katering menu makan sehat semakin diburu masyarakat kota, sebaliknya di desa mereka masih memburu makanan-makanan hits nan menggoda.

Masyarakat perkotaan mulai bergerak melakukan urban farming, sebaliknya orang-orang desa sudah kehilangan lahan untuk bertani dan tak punya cukup pengetahuan untuk melakukan urban farming. Pada akhirnya mereka dituntut untuk mengkonsumsi atau membeli. Ya begitulah perjalanan ‘eco friendly’ yang tak kunjung henti.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *