,

Open Mic HAKTP 2022: Ruang Refleksi Menyatukan Suara Perlawanan

/
/

HAKTP

Neswa.id-Memperingati 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan (HAKTP) yang sudah berlangsung sejak 25 November-10 Desember 2022, pada  (10/12 ) Puan Menulis bersama berbagai jejaring komunitas dan lembaga mengadakan open mic untuk sama-sama menyuarakan refleksi masing-masing terhadap kekerasan perempuan yang sampai kini masih terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Acara yang digelar melalui Zoom Meeting ini  diikuti oleh lebih dari tujuh puluh peserta dengan menghadirkan dua puluh empat suara dari perwakilan komunitas maupun lembaga. Setidaknya ada 24 komunitas dan Lembaga yang tergabung dalam kegiatan ini di antaranya: Puan Menulis, Srikandi Lintas Iman (Srili), Kalyanamitra, Lembaga Kajian Islam dan Transformasi Sosial, Mubadalah.id, Pesantren Perempuan, Women Empowerment Indonesia (WEI), She Build Peace, WGWC, Lingkar Studi Feminis, Girls Ambassador for Peace (GA4P), Peace Leader (PL), Feministic, Sekolah Perempuan, SukaSukaPuan, SPKinasih, Forum Jogja Damai. Gender Talks, Rifka Annisa, Dema IAIN Ponorogo.

Dwi Rubiyanti Kholifah, direktur AMAN Indonesia membuka kegiatan ini dengan mengatakan bahwa open mic merupakan sebuah tanda suara perempuan harus dikuatkan, karena dengannya lah suara-suara yang redup bisa digaungkan. Dalam penyampaiannya, Ruby menekankan bahwa, suara perempuan khususnya para korban yang mengalami kekerasan seksual, sangat penting untuk diangkat sebagai bentuk perlawanan kepada publik dan ketidakadilan sosial.

Acara open mic dibuka oleh Muallifah, perwakilan dari Puan Menulis. Dalam empat menit waktu yang diberikan oleh moderator, ia banyak menyorot pada perempuan digital yang dapat menjadikan media daring sebagai ruang edukasi serta fasilitas dalam kehidupan.

“Suara-suara kolektif merupakan ruang perlawanan yang harus dilakukan terus menerus untuk menunjukkan penolakan terhadap kekerasan,” ungkapnya.

Begitupun Luqy, sebagai perwakilan Komunitas Candu Buku. Pada sudut pandang yang berbeda, ia membuka suara perihal masih rendahnya tingkat literasi pada perempuan. Masalah ini tidak bisa dipandang sebelah mata, karena rendahnya literasi bisa menumbuhkan masalah terhadap hak asasi manusi, bisa berpengaruh terhadap gender, dan juga bisa meningkatkan kekerasan serta deskriminasi terhadap perempuan itu sendiri.

Mareta sebagai Lingkar Studi Feminis dalam open mic-nya juga mencoba melihat permasalahan perempuan melalui pengesahan undang-undang KUHP oleh pemerintah beberapa hari lalu. Keresahan ini menyangkut pada kekerasan seksual yang harusnya masih dalam kejahatan tubuh, namun pada pasal di KUHP dimasukkan dalam kejahatan kesusilaan, yang masuk dalam norma. Padahal norma di Indonesia sendiri masih banyak mendiskriminasikan tubuh perempuan. Sehingga yang katanya UU KUHP sejalan dengan TPKS masih perlu dipertanyakan lagi, apakah dengan disahkannya UU KUHP, UU TPKS apakah bisa diimplementasikan dengan baik kedepannya, atau malah sebaliknya.

Suara-suara yang dibawakan oleh komunitas dan lembaga lain pun turut merefleksikan hari anti kekerasan terhadap perempuan melalui kegiatan-kegiatan internal yang telah dilaksanakan, seperti halnya case study yang berkaitan dengan permasalan gender oleh Women Empowerment Indonesia; kesiapan dalam merangkul, membersamai, dan mengadvokasi korban kekerasan oleh Srikandi Lintas Iman, dan berbagai kegiatan prefentif edukatif untuk mempromosikan bagaimana perempuan muda bisa menggunakan ruang aman sebagai tempat pembentukan karakter oleh Girl Ambassador for Peace.

Melalui open mic, terlihat bahwa walaupun berada di komunitas dan lembaga yang berbeda, memiliki fokus dan sudut pandang visi misi yang berbeda memiliki cita-cita satu, yakni sama-sama saling membahu mengupayakan dalam meningkatkan peran perempuan sehingga terhindar dari segala bentuk kekerasan dan deskriminasi baik di ruang privat maupun publik.

Penulis

Firda Rodliyah (anggota puanmenulis)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *