,

One Piece dan Nilai Keadilan Gender

/
/

one pieace

Neswa.id-Serial Anime One Piece tidak pernah berhenti memberikan pelajaran kehidupan. Sering kali Eiichiro Oda menyelipkan problem sosial yang hidup di tengah-tengah kita. Salah satunya di episode yang ke-1060 di menit ke 17.26 hingga menit ke-18, yang mengangkat persoalan pelik soal ketidakadilan gender yang mengakar dan terbentuk dari lingkungan dekatnya sendiri, termasuk keluarganya.

Episode tersebut mengisahkan bahwa Roronoa Zoro, yang merupakan salah satu aktor utama yang menjadi wakil kapten (teruntuk Sanjilovers abaikan dulu ya, wkwk) dari Monkey D. Luffy. Dia sedang bernostalgia di tengah pertempurannya bersama King. Ia teringat dengan masa lalunya ketika masih anak-anak saat berlatih bersama teman perempuannya yang satu perguruan, yakni Kuina.

Pasalnya, Zoro selalu saja kalah saat berlatih tanding dengan Kuina hingga mencapai 201 kali kekalahan. Zoro pun merasa kesal, padahal dia telah berlatih keras untuk bisa mengalahkannya, tapi tetap saja kalah. Hingga suatu ketika, si Kuina ini mengatakan hal yang di luar sangkaan Zoro.

“Sebenarnya, akulah yang seharusnya merasa kesal. Saat seorang gadis tumbuh dewasa, mereka jadi lebih lemah dari lelaki. Kau selalu bilang ingin jadi pendekar pedang terkuat di dunia. Papaku bilang seorang gadis tidak akan pernah bisa menjadi yang terkuat. Kau sangat beruntung karena kau laki-laki, Zoro. Padahal aku juga ingin jadi yang terkuat. Andai saja aku terlahir sebagai laki-laki.” Terisak tangis Si Kuina saat mengeluh-kesahkan apa yang menimpanya, rasa sesal mengapa ia terlahir sebagai perempuan, betapa pun ia hebat dalam bermain pedang hingga mengalahkan Zoro berkali-kali.

Tapi Jawaban Zoro malah tidak kalah menukik tajam yang memberikan sindiran keras, bagi mereka yang memiliki pandangan serupa laiknya Kuina, “Jangan cengeng seperti itu setelah kau mengalahkanku! Itu tidak adil, kau adalah tujuanku. Mau itu laki-laki atau perempuan. Apa kau akan membahas hal itu lagi jika aku mengalahkanmu suatu saat nanti? Seperti orang lemah! Kau seperti menghina hasil kerja kerasku selama ini untuk mengalahkanmu. Jadi jangan berkata seperti itu! Suatu hari nanti salah satu dari kita akan menjadi pendekar pedang terkuat. Kita akan bersaing untuk meraih gelar itu.”

Apa yang Kuina katakan itu benar-benar eksis dan banyak perempuan di dunia nyata yang mengalami hal serupa, jerit rintih perempuan yang lebih banyak dijejali pertanyaan demi pertanyaan saat memiliki ambisi yang begitu tinggi. Kesemua itu hidup di tengah-tengah kita, belum lagi beban ganda yang tak terelakkan. Memang terasa berbeda, jika yang bercita-cita tinggi itu seorang laki-laki, seolah laki-laki memiliki hak khusus dan memperoleh dukungan dari sekitar. Pasti akan beroleh respon seperti, “wajar sih cowok kan bakalan jadi kepala keluarga yang mesti menafkahi istri dan anak-anaknya”.

Kalau kita mau jujur saat melihat realita lapangan, laki-laki memang masih mendominasi di sektor politik dan publik. Kalaupun ada dari kalangan perempuan, berapa persen perempuan yang mengambil peran sentral dalam urusan publik maupun politik ketimbang laki-laki?

Berdasarkan Laporan Kesenjangan Gender Global (Global Gender Gap Report) tahun 2023 sebagaimana World Economic Forum (WEF) laporkan bahwa indeks kesenjangan gender Indonesia menempati urutan ke 87 dari 146 negara di dunia dengan skor 0,697 poin, yang melingkupi 4 dimensi; pencapaian pendidikan, kesehatan dan kelangsungan hidup, partisipasi dan peluang ekonomi, serta pemberdayaan politik. Untuk sektor pertama dan kedua mengalami keseimbangan, sementara di sektor ketiga dan terakhir masih mengalami kesenjangan, terutama di sektor pemberdayaan politik menjadi yang paling rendah, sebesar 0,181.

Hal ini telah menjadi rahasia umum bahwa laki-laki memang masih kerap mendominasi di sektor mana pun. Jika kembali pada kalimat yang Kuina katakan “Menjadi yang terkuat” kita geser menjadi kata “pakar” Lalu berapa persen perempuan yang menjadi pakar di bidangnya masing-masing ketimbang laki-laki?

Meskipun perempuan juga turut nimbrung dan terlibat dalam kekiprahan itu, tapi tidak membubarkan fakta bahwa laki-laki memang lebih banyak dan tetap mendominasi.

Padahal ini berseberangan dengan fakta yang menunjukkan bahwa dalam ruang kelas misalnya. Persaingan perempuan dan laki-laki untuk merebut kursi peringkat pertama terbilang sengit. Bahkan tidak jarang saya temukan perempuan yang seringkali mengikuti perlombaan dan berujung meraih kejuaraan. Baik dalam lomba yang sifatnya akademik seperti olimpiade, baca kitab kuning, pidato, karya tulis, dan lain-lain. Bahkan dalam bidang kesenian pun tak kalah saing dengan laki-laki. Potensi dan kemampuan yang teman-teman perempuan miliki secara intelektual dapat dikatakan berimbang atau sebelas duabelas.

Konsekuensi logis yang  harusnya terjadi adalah upaya kompetitif antara keduanya, kerja sama dan sama kerja yang seharusnya terjalin, bukan mengeliminasi salah satunya. Padahal kemampuan seseorang tidaklah diukur dengan kelamin, tapi lingkunganlah yang memaksa dan menarik mundur perempuan secara teratur, kemudian tersubordinasi dengan rapi dan sistematis.

Kalau kata Najwa Shihab, terdapat tiga hal mendasar yang perempuan miliki, tapi laki-laki tidak memilikinya, yakni: menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Sudah, hanya itu saja, dan itu sudah menjadi pengetahuan umum. Terkait konstruksi sosial yang melekat pada jenis kelamin tertentu adalah soal lain.

Namun hak-hak khusus yang terbentuk itu secara tidak langsung justru malah memperkuat posisi laki-laki untuk lebih superior daripada perempuan. Mendapatkan hak khusus yang terkadang tidak perempuan miliki. Contoh kecilnya seperti hak untuk memperoleh pendidikan tinggi, khususnya masyarakat sekitar saya, perempuan akan menerima pertanyaan-pertanyaan semacam ini.

“Sekolah terus, kapan nikahnya? Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, toh nanti bakal di dapur” sementara laki-laki tidak sedikitpun terjamah dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Contoh lainnya seperti, perempuan tidak boleh keluar malam, harus tampil cantik menawan, tugasnya adalah di rumah dan tidak boleh melawan atas apa yang lelaki katakan, harus begini dan ga boleh begitu.

Jika saja terdapat perempuan yang melanggar pakem sosial yang mengakar itu, maka bersiaplah untuk menerima klaim tidak shalih di kemudian hari. Sekali lagi, perbedaan mendasar antara laki-perempuan hanyalah tiga soal tadi. Hal yang perlu digarisbawahi adalah keduanya sama-sama dianugerahi rasio untuk berpikir, hati untuk merasa agar bisa mempertimbangkan secara matang setiap tindakan yang hendak diambil.

Mau menjadi apapun adalah pilihan, entah untuk menjadi ibu rumah tangga maupun berkarir di luar, semuanya baik. Apapun itu, sejauh membawa kebaikan dan memberikan dampak yang baik buat publik, yo gasss. Kalau kata Zoro, jangan menjadikan kelamin sebagai alasan untuk mengukur sebuah kemampuan.

Sekali lagi, menurut saya One Piece tidak pernah gagal menyelipkan pesan-pesan keadilan yang ditayangkan di setiap episodenya. (IM)


Ali Yazid Hamdani Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *