,

Ngaji Psikologi: Seni Bertahan Hidup Lebih Penting Dibandingkan Mencari Tahu Kebenaran

/
/

Seni bertahan hidup

Neswa.id-Saya mendengar tentang buku Life of Pi sejak masa awal terbit dan mendapat penghargaan Booker Prize. Karena memenangi penghargaan itulah saya membaca buku ini. Saya sangat terkesan pada novel pemenang Booker Prize beberapa tahun sebelumnya: the God of Small Things

Di awal-awal, buku Life of Pi memenuhi ekspektasi saya. Alurnya menarik dan teknik penceritaannya menyimpan kejutan kecil di mana-mana. Namun, semakin ke tengah, saya semakin tidak dapat menik matinya. Akhirnya, saya melompati halaman demi halaman dan langsung membaca bagian akhirnya. Tetap tak tertarik. Tak terkesan. Ada rasa tak nyaman yang tidak bisa saya jelaskan ketika membaca buku ini.

Bertahun-tahun kemudian, buku ini difilmkan. Saya menontonnya. Bukan di bioskop, tentu saja. Lumayan. Saya tetap skip bagian tengah film. Sama seperti bukunya. Namun, berkat menonton filmnya, akhirnya saya menyadari alasan saya tak bisa menikmati buku ini dahulu.

Jadi, begini. Saya, dulu, seperti Pi Patel, sang tokoh utama, di awal-awal hidupnya. Saya sedang dalam pencarian akan Tuhan. Meski tak seekstrem Pi Pa- tel, setelah bosan “mengubek-ubek” agama sendiri, saya juga “mencicipi” berbagai ajaran agama lain. Saya berkelana dari satu buku ke buku yang lain. Ju- ga, membaca buku-buku tentang spiritualitas yang melintasi batasan saklek agama. Sampai di taraf yang bisa membuat saya masuk ke dalam kategori kaum New Age. Saya sempat mempertimbangkan ide reinkarnasi, mengapresiasi Buddhisme, dan masih banyak lagi.

Kegandrungan dengan segala gagasan tentang Tuhan dan agama membuat saya sangat tidak nyaman dengan ending buku itu. Saya dibuat gelisah oleh pertanyaan yang menutup kisah Pi Patel, yakni apakah semua kisahnya tentang bertahan hidup di tengah laut dengan hewan-hewan itu nyata? Ataukah, itu sekadar upaya Patel untuk tetap waras, untuk membuat hidup dan pengalamannya lebih bisa diterima oleh dirinya sendiri? Upaya benaknya merangkai peristiwa agar tidak terlalu menyakitkan, agar ia tetap bisa hidup?

Buku ini membuat saya mempertanyakan ulang makna realitas. Apa pentingnya realitas ketimbang kisah indah yang lebih nyaman diterima perasaan? Nyaris semua orang sepertinya akan memilih the better story, kisah yang lebih enak di hati. Sama seperti Patel dan petugas asuransi dalam buku itu. Juga si penulis cerita sendiri.

Saya saat ini berbeda dengan saya waktu itu. Sekarang, saya lebih mampu menikmati dan mengapresiasi gagasan dalam Life of Pi. Banyak hal telah berubah. Banyak hal telah saya lalui. Kini, saya lebih siap menerima kesimpulan akhir buku ini.

Manusia tak jauh beda dengan virus atau makhluk hidup lain. Prioritas tertinggi kita, meski mungkin tak selalu kita sadari, adalah soal bertahan hidup (minimal sampai bereproduksi atau mereplikasi diri). Bertahan hidup jauh lebih penting ketimbang mengetahui dan mengakui realitas. Ketimbang kebenaran. (IM)


Rika Iffati Farihah Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *