Neswa.id-Sudah sering saya ceritakan bahwa secara otomatis, benak kita selalu mengategorisasi orang sebagai: kelompokku (ingroup) dan bukan kelompokku (outgroup). Dasarnya bisa apa saja, dari sekadar penyanyi favorit sampai suku dan agama, bahkan perbedaan pendapat dalam suatu isu.
Ketika kategorisasi ini terbentuk, ada efek lanjutan yang terjadi: kita cenderung menganggap outgroup lebih homogen ketimbang ingroup. Kita sulit memahami bahwa mereka yang tidak sekubu dengan kita adalah juga manusia-manusia yang kompleks, didorong oleh motivasi yang beragam, memiliki pengalaman hidup dan prioritas yang berbeda-beda. Kita sulit memahami bahwa dalam kubu seberang, para anggotanya mungkin sepakat dalam sebagian hal, tetapi tidak sepakat dalam hal lain. Kita lupa bah- wa mereka mungkin sama persis dengan kita dalam segala hal, kecuali hal yang menjadi garis pembelah kubu. Kita lupa bahwa mereka yang mengkritik pemerintah, misalnya, tidak semua adalah pembenci pemerintah yang ingin menyaksikan negara ini gagal.
Jauh lebih mudah melihat keragaman kelompok kita sendiri. Jadi, ketika misalnya kubu pengkritik dituduh dengan stereotip “tidak bisa melihat niat baik pemerintah”, anggota kubu tersebut akan menerta- wakan si penuduh karena tidak bisa melihat bahwa di dalam kubu ini ada orang-orang “yang memikirkan bangsa ini dengan cara yang berbeda”. Namun, tak berapa lama, mungkin orang yang sama akan membuat postingan medsos menyamaratakan kubu pembela pemerintah sebagai “kalangan kelas menengah nge-he” atau “buzzer”. Yah, begitulah. Saling lempar stereotip tanpa henti.
Persepsi keseragaman atau homogenitas outgroup ini jugalah yang lantas membuat teori konspirasi lebih mudah diterima. Sekumpulan manusia yang homogen akan lebih mudah digerakkan oleh motif tunggal semacam uang atau kekuasaan ketimbang manusia-manusia dengan beragam kepribadian dan kepentingan, bukan?
Namun demikian, harus diakui, memang tidak mudah menerima perbedaan. Apalagi jika sudah menyangkut politik, identitas, atau hal-hal yang terlalu kita cintai atau kita benci. Emosi memang membutakan. Kita sibuk mencerca yang berbeda, melupakan persamaan yang mungkin ada. Padahal, manusia terlalu rumit untuk dijelaskan hanya dengan satu atau dua kata sifat, untuk dikelompokkan dalam satu atau dua kategori, untuk dikaitkan dengan satu atau dua identitas saja.
Kita seperti tidak kunjung belajar dari pengalaman pembelahan cebong dan kampret di masa pilpres yang lalu.
Sok netral? Tidak …, tetapi memang berusaha netral. Netralitas itu sungguh penting untuk menjaga kewa- rasan, juga untuk mencapai keputusan yang paling optimal. (IM)
Leave a Reply