Neswa.id-Mayoritas anak tidak perlu diajari untuk berjalan. Ketika tubuh dan mentalnya sudah siap, dia akan belajar berjalan dengan sendirinya. Mayoritas anak juga tidak perlu belajar bahasa ibu secara sistematis. Sekedar mendapatkan stimulasi berupa obrolan keluarga sehari-hari, celoteh kakak atau adik, sapaan ayah dan ibu, sudah cukup untuk mengantarnya menguasai cara menyusun pertanyaan-pertanyaan yang membuat ayah-ibu kebingungan mencari jawabnya sebelum ulang tahun kelima.
Fakta-fakta ini kadang menyebabkan orang membuat prediksi berlebihan: anak akan mampu mempelajari segala sesuatu seorang diri tanpa upaya sistematis dari orang dewasa untuk mengajarinya. Yang diperlukan hanya memaparkan mereka pada sebanyak mungkin pengalaman dan kejadian yang dapat dijadikan sarana belajar. Sebagai seorang ibu pemalas, I really wish it is that simple!
Namun, semakin lama mempelajari kognisi manusia, semakin jelaslah bahwa tidak semua aspek pendidikan dapat dipelajari semudah kemampuan berjalan dan berbicara. Berjalan dan berbicara adalah kemampuan standar yang berstruktur sangat biologis pada spesies manusia. Tidak demikian halnya dengan kemampuan lain seperti pemahaman sains atau, bahkan, keterampilan menulis. Menulis bukanlah kegiat- an alamiah. Tulisan seperti yang kita kenal saat ini baru ada beberapa ribu tahun lalu, belum cukup lama untuk masuk dalam daftar kemampuan bawaan (default) spesies kita.
Banyak orang tampaknya secara tak sadar masih menganut teori tabula rasa, menganggap anak terlahir seputih kertas kosong, kertas yang dalam perjalanan hidup akan ditulisi oleh pengalaman. Meski versi hard-core pandangan ini sudah lumayan enggak ngetren, versi halusnya masih sangat menguasai cara pandang umum mengenai manusia. Padahal, riset-riset mutakhir menunjukkan bahwa manusia terlahir dengan membawa banyak kemampuan builtin, terma suk kecenderungan untuk berpikir dengan cara tertentu dan menuju arah tertentu.
Anggapan bahwa anak-anak adalah pembelajar alamiah memang sedikit ada benarnya juga, sih. Mereka memang punya kemampuan membentuk teori-teori sendiri dari pengamatan dan pengalaman hidup
mereka di dunia. Masalahnya, beberapa amatan ini, mungkin fungsional bagi si anak, tetapi tidak sesuai atau malah bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern yang dibangun dengan mekanisme yang lebih kompleks ketimbang sekadar pengamatan sederhana khas anak. Pandangan khas anak-anak yang semacam ini kerap disebut sebagai naive theories. Ada naive biology, naive psychology, naive physics, dan
lain-lain. Pola pikir naif seperti ini tidak dengan mudah hilang bahkan dengan pendidikan formal, apala- gi jika para gurunya tidak punya pemahaman mendalam mengenai alternatif ilmiahnya.
Contoh sederhana pertentangan teori naif dengan teori ilmiah adalah fakta ilmiah bahwa bumi itu bulat. Kebulatan bumi, tidak bisa dipahami hanya dari pengamatan sederhana dengan mata telanjang ala anak-anak. Bisa dibilang, anak-anak (yang belum tersentuh ilmu pengetahuan, tentunya) adalah penganut alamiah flat earth theory. Bagi mereka, bumi ini terlihat datar dan keyakinan bahwa bumi ini datar bagi mereka tidak menimbulkan masalah apa pun dalam kehidupan sehari-hari.
Teori naif baru menjadi masalah dalam tahap perkembangan selanjutnya. Misalnya, ketika anak mulai mempelajari berbagai hukum dan dalil fisika yang tidak intuitif, teori naif bisa menghambat pemahaman atau penguasaan terhadap materi-materi pelajaran tersebut. Lebih parah lagi, ketika teori naif tak kunjung dikoreksi dan terbawa hingga dewasa, sehingga akhirnya marak kita temui fenomena-fenomena semacam flat-earthers.
Kasus gerakan antivaksinasi yang sangat kuat itu salah satunya juga terkait dengan naïve theories. Sudah jadi bawaan manusia untuk merasa bahwa memasukkan benda asing ke dalam tubuh adalah sesuatu yang tidak semestinya dilakukan, dan bahkan sebaiknya dihindari. Merujuk pada teori psikologi evolusi, hal ini sebenarnya wajar. Selama jutaan tahun manusia sudah mengembangkan berbagai mekanisme untuk menghindari patogen, salah satunya dengan memilah dan memilih hal-hal yang akan dimasukkan ke tubuh. Bahkan, ada riset yang berhipotesis bahwa
kecenderungan manusia untuk menaruh prasangka pada orang di luar kelompoknya, sebenarnya adalah mekanisme bawaan yang dihasilkan oleh kecenderungan untuk menghindari patogen yang tidak fami- lier, yang antibodinya belum dimiliki oleh kelompok manusia tertentu. (Lihat juga bab “Kuman dan Kera- gaman Budaya”.)
Namun, tentu saja, saya mungkin terlalu berlebihan. Barangkali, yang dimaksud oleh banyak orang ketika mengatakan anak merupakan pembelajar alami adalah bahwa keingintahuan merupakan karakteristik alamiah anak yang sebaiknya tidak dipadamkan dengan semena-mena oleh orang dewasa di sekitarnya. Pendapat ini, tentu saja saya setuju. Meski merepotkan, pertanyaan-pertanyaan anak perlu disambut dengan sukacita oleh kita semua karena itu adalah jalan menuju pembelajaran sepanjang hayat, dan dengan demikian, pengoptimalan segala potensinya. (IM)
Leave a Reply