Neswa.id-Salah satu bagian paling mengesankan bagi saya dalam serial Harry Potter adalah mengenai Harry Potter dan topi seleksi. Harry sangat kepikiran ketika sang topi sempat mempertimbangkan apakah dia sebaiknya masuk asrama Slytherin, asrama yang sejauh pengetahuan Harry saat itu banyak berisi anak-anak yang tidak menyenangkan dan menghasilkan sosok jahat seperti Voldemort.
Harry sendiri akhirnya memilih asrama Gryffindor. Namun, kemungkinan bahwa dirinya cocok masuk Slytherin selalu menghantui Harry dengan pertanyaan: apakah sebenar nya aku ini jahat? Keraguan mengenai diri sendiri ini terus berulang hingga buku terakhir. Jawaban pertanyaan itu menurut seri Harry Potter: kita semua punya potensi menjadi jahat atau baik, tetapi kita juga punya kemampuan untuk menentukan hendak menja di orang seperti apa. Toh, dari asrama Slytherin juga ada tokoh-tokoh yang baik, termasuk sang guru yang melindungi Harry Potter hingga akhir hayatnya.
Ini mengesankan bagi saya karena, terus terang, saya juga kerap didera keraguan serupa mengenai diri sendiri. Terkadang, rasanya ada dua pribadi yang berbeda dalam diri saya: yang galak dan egoistis, serta yang perasa dan mudah tersentuh. Jadi, sebenarnya saya ini baik atau jahat?
Setelah bersentuhan kembali dengan buku-buku psikologi, terutama yang terkait kajian tentang otak dan bagaimana manusia berpikir, saya baru tahu bahwa ada asumsi dasar yang barangkali keliru atau minimal patut diragukan ketika saya dan Harry Potter mengajukan pertanyaan tersebut. Asumsi itu adalah bahwa ada satu diri (self) dalam masing-masing manusia.
Tenang saja, maksud saya bukan bahwa kita semua sebenarnya adalah pengidap split personality. Saya hanya mengatakan bahwa menganggap otak sebagai sejenis komputer dengan fungsi umum yang homogen makin lama makin terbukti kurang tepat.
Otak kita, dan dengan segala produknya, seperti emosi dan kognisi, lebih tepat digambarkan sebagai komputer yang berisi berbagai perangkat lunak (soft- ware) dengan fungsi berbeda-beda. Ada perangkat lunak untuk relasi sosial, untuk menghindari patogen, untuk mencari pasangan serta bereproduksi, dan sebagainya. Beragam perangkat lunak ini punya cara kerja sendiri yang berbeda-beda. Yah, wajar sih, karena fungsi dan tujuannya memang berbeda-beda.
Masalahnya, terkadang dua atau lebih perangkat lunak yang berbeda mengerjakan tugas yang sama dan muncullah hasil yang berbeda. Kemudian, terjadilah mogok (crash). Kita merasa bingung: yang manakah diri sejati kita?
(Walau mungkin ada kesalahan konsep soal cara kerja komputer dan perangkat lunaknya, semoga penjelasan saya mengenai otak manusia masih bisa dipahami, ya.)
Berikut ini contoh inkompatibilitas atau ketidakcocokan diri. Sebagai manusia dewasa yang sadar kesehatan, banyak orang tahu bahwa sebaiknya kita meng- hindari makanan berkalori kosong atau makanan dengan kandungan gula terlalu tinggi. Kita seharusnya mengonsumsi yang sehat-sehat saja, seperti buah dan sayur, atau protein yang rantai pemrosesannya pendek (bukan kemasan atau awetan). Apabila benak bersifat linear dan tunggal, keputusan untuk hidup sehat ini tentu akan dipatuhi sepanjang waktu. Namun, sebagaimana diketahui semua orang yang berusaha diet: diet always starts tomorrow. Ada “diri jangka pendek” yang merasa bahwa melahap sepotong
brownies hari ini tidak akan menimbulkan akibat serius. Juga, semangkuk gulai kambing, segelas coke, demikian terus setiap kali ada makanan enak terhidang hingga perut terlalu penuh untuk diisi makanan yang lebih bernutrisi. Sementara, “diri jangka panjang” akan menyesali hal itu kemudian.
Ada dugaan keras bahwa memang tidak ada “diri” yang tunggal, homogen, dan tidak berubah sepanjang hidup. Yang kita sebut sebagai “diri” barangkali hanyalah bagian kecil dari proses mental yang kebetulan kita sadari. Jauh lebih banyak proses mental yang berlangsung dalam benak tanpa kita sadari. Otak terdiri dari sekumpulan modul mental yang terkadang tidak kompatibel satu sama lain. Jadi, wajar saja jika kadang kita benci sekaligus rindu pada satu sosok yang sama. Tak heran pula banyak orang tetap meng- anggap diri sendiri sebagai orang baik meski pernah berbuat curang (seperti melanggar lampu lalu lintas atau, yang lebih parah, korupsi).
Terus terang, menyadari hal itu membuat saya tidak terlalu esensialis. Tidak ada manusia yang pada dasarnya jahat atau pada dasarnya baik. Mutlak jahat atau mutlak baik. Rasanya jadi lebih mudah memaafkan diri sendiri dan orang lain ketika melakukan kesalahan atau bertindak irasional. We’re only human after all. (IM)
Leave a Reply