Neswa.id-Pernahkah terlintas di benak Anda mengapa in toleransi sepertinya semakin marak di Indonesia? Pencarian dalam literatur psikologi dengan di pandu pertanyaan itu mengantarkan saya pada penemuan ini: manusia adalah makhluk sosial. Saya tahu ini bukan kabar baru. Yang baru, minimal bagi saya, adalah fakta bahwa kebutuhan kita untuk berelasi dengan manusia lain membuahkan mekanisme-mekanisme psikologis tertentu yang dapat menghasil- kan sikap yang secara superfisial terasa kontradiktif dengan tujuan awal mekanisme itu tersusun: intoleransi terhadap manusia lain.
Dari kebutuhan untuk merekatkan hubungan antar- manusia, muncul mekanisme loyalitas pada kelompok. Keberadaan mekanisme perekat kohesivitas kelompok macam ini sangat penting bagi kelangsungan hidup karena, dahulu kala, kondisi terpisah atau dikucilkan dari kelompok dapat membuat manusia lebih rentan diserang (dan kalah melawan) predator yang secara fisik lebih kuat, semacam harimau atau beruang. Jutaan tahun hidup seperti ini tak pelak membuat manusia menumbuhkan mekanisme psi- kologis semacam konformitas (lebih baik nurut sesama manusialah daripada dimakan harimau), kesedihan, bahkan kepedihan tiada tara ketika kita merasa sendiri dan terkucilkan dari lingkungan sosial, serta kecenderungan tak sadar untuk selalu mengikuti arahan kelompok yang menjadi identitas sosial kita.
Perlu diingat, loyalitas kelompok ini tak selalu melekat pada etnisitas. Ia melekat pada segala macam identitas sosial. Ia bisa melekat pada identitas keagamaan, identitas rasial, identitas kedaerahan.
Loyalitas ini memunculkan hal-hal baik, sebenarnya. Ia memunculkan empati dan altruisme pada sesama anggota kelompok. Namun, sayangnya, seba- gaimana terekam dalam berbagai riset mengenai psikologi kelompok, identifikasi pada satu kelompok ini membawa dampak sampingan. Orang jadi cenderung menganakemaskan kelompoknya sendiri dan mendiskriminasi kelompok lain dalam banyak hal: dalam mengevaluasi suatu berita, dalam menilai suatu kejadian, dalam mengalokasikan sumber daya yang ada, dan sebagainya.
Menariknya, nyaris semua mekanisme otak yang menghasilkan keputusan atau tindakan ini bisa dibilang terjadi di luar kesadaran kita. Kita tidak dengan sengaja atau penuh kesadaran melakukan ini. Nalar kita dengan cerdik memberikan pembenaran untuk semua hal yang kita lakukan itu, untuk semua bias kita dalam memandang liyan, memandang mereka yang bukan bagian dari kita, sebagaimana diulas pan- jang lebar oleh Jonathan Haidt, seorang ahli psikologi yang mendalami soal moral dalam bukunya The Righ- teous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion. Haidt menyebut ini sebagai hive psychology atau psikologi kerumunan/gerombolan.
Mekanisme psikologi kelompok juga membuat orang cenderung memberikan stereotip dan memandang outgroup atau kelompok lain sebagai lebih homogen daripada seharusnya. Hal negatif dalam diri seorang anggota kelompok cenderung dianggap merepresentasikan keseluruhan kelompok. Beberapa koruptor di kelompok lain dijadikan bukti bahwa seisi kelompok tersebut memang tidak bermoral, sementara beberapa koruptor dalam kelompok kita diberi keistimewaan benefit of the doubt “jangan dihakimi dulu sebelum pengadilan memutuskan bersalah”, sebaiknya “diingatkan dengan baik-baik”, dan dianggap sebagai sekadar penyimpangan, sekadar “oknum” yang tak mewakili keseluruhan kelompok.
Kita kerap melupakan bahwa di dalam kelompok lain pun, selalu ada keragaman, selalu ada individu-individu dengan keunikan dan kemandiriannya masing- masing. Persis seperti di dalam kelompok kita sendiri.
Mekanisme-mekanisme psikologis semacam ini lebih melandasi sikap intoleransi ketimbang apa isi ideologi atau keyakinan kelompok masing-masing. Artinya, mencoba melawan intoleransi dengan memberikan wacana tandingan yang diposisikan secara diametral tak akan banyak berguna karena upaya macam ini hanya menegaskan identitas kelompok. Ketika seseorang merasa identitasnya terancam, kemampuan penalaran malah akan lebih dikerahkan untuk mencari cara guna meneguhkan identitasnya sendiri. Alih- alih berpindah ke kubu sebelah atau mencoba memahami posisi kubu yang berbeda, dia akan semakin tenggelam dalam upaya pembenaran posisi kubunya sendiri.
Kecenderungan berkubu dan mengalami intergroup bias semacam ini tak berkorelasi dengan inteligensi. Bias kognitif secara umum memang juga tak mengenal tingkat pendidikan.
Lantas bagaimana solusinya? Apakah itu berarti tak ada yang bisa diperbuat untuk menahan laju penyebaran intoleransi? Apakah itu artinya kita harus menyerah dan pasrah?
Jangan khawatir. Sebenarnya solusi tetap ada. Hanya, jangan berharap hasilnya akan terlihat dalam waktu singkat. Mengatasi toleransi seyogianya juga bukan hanya diupayakan dengan satu macam cara. Seperti halnya upaya menyembuhkan penyakit fisik: ada obat atau terapi yang ditujukan untuk mengatasi akar permasalahannya, ada pula obat dan terapi yang ditujukan untuk mengatasi gejala-gejalanya saja guna meringankan penderitaan sang pasien selama menung- gu kesembuhan. Dalam banyak kasus, dua-duanya harus dilakukan. Seperti itu pulalah upaya mengatasi intoleransi.
Upaya-upaya yang kita lakukan selama ini, seperti ke- tika kita mengajukan salah satu kelompok Islam untuk menjadi alternatif Islam yang lebih damai, belum dapat disebut sebagai mengatasi akar permasalahan dari sudut pandang psikologi kelompok. Bahkan, strategi ini dapat semakin memperuncing perbedaan yang membuat semua kubu memiliki kebutuhan untuk kian menegaskan identitas kelompoknya masing- masing. Pembenturan satu kelompok Islam dengan kelompok Islam lainnya mengaktifkan segala mekanisme psikologi kelompok yang sudah disebutkan sebelumnya. Yang dihasilkan adalah pikiran outgroup vs ingroup di kedua belah pihak, yang mengantarkan pada sikap dan perbuatan yang cenderung menganak-emaskan ingroup serta menganaktirikan outgroup. Kita terancam melupakan individualitas, keragaman, bahkan kemanusiaan dalam upaya semacam ini.
Memang, selama dilakukan dengan cara yang tak sediametral membenturkan kelompok satu dengan kelompok lain, mengajukan wacana alternatif cukup berguna untuk mengatasi gejala intoleransi. Secara kognitif, individu diberi pilihan wacana, pilihan interpretasi, pilihan reaksi yang dapat diambil, meski— karena akar masalahnya bukan pada aspek kognitif— masalah belum selesai di sini.
Upaya penegakan hukum untuk kasus-kasus intoleransi yang sudah mengarah pada persekusi dan kekerasan juga tetap perlu dilakukan. Meskipun tidak mengurai akar permasalahan, jika upaya-upaya ini tak dilakukan, penyakit intoleransi bisa semakin parah dan tak tertanggungkan.
Sementara itu, kita harus mulai mengalokasikan energi dan perhatian pada upaya mengatasi akar permasalahan sikap intoleransi. Jika akarnya memang adalah kecenderungan psikologis yang diakibatkan bias berpikir alamiah manusia, maka sikap kritis, kemandirian berpikir, dan kebiasaan berefleksi merupakan hal-hal yang penting dikembangkan sejak dini supaya makin banyak orang yang memiliki kemampuan keluar dari jebakan berpikir kelompok. Namun, pertanyaan tentang bagaimana cara mencapai hal-hal ini adalah pertanyaan yang musti dijawab dengan deretan artikel dan tulisan yang berbeda dari berbagai sudut pandang keilmuan. Ini persoalan bersama, maka bersama-sama pulalah seyogianya kita mencoba mengatasinya.(IM)
Leave a Reply