Neswa.id-Dalam buku Guns, Germs, and Steel, Jared Diamond mengatakan bahwa perbedaan nasib ber- bagai masyarakat di dunia ini bukan disebabkan oleh perbedaan IQ. Jared merasa IQ orang Papua tidak kalah dengan IQ orang kulit putih.
Ada yang mengkritik hal ini, terutama karena Jared dianggap tidak menyuguhkan data valid, hanya mengandalkan perasaan dan sentimennya sebagai teman Yali, seorang Papua asli.
Kata IQ, singkatan dari intelligence quotient, memang sering kita padankan dengan “kecerdasan”. Padahal, sebenarnya, IQ dan kecerdasan itu sedikit berbeda. IQ adalah hasil dari upaya menguantifikasi konsep ke- cerdasan atau inteligensi yang lebih abstrak dan kompleks melalui serangkaian tes. Ada macam-macam je- nis tes IQ karena ada beragam teori kecerdasan.
Sementara itu, yang dimaksud Jared sepertinya adalah IQ sebagai kecerdasan atau potensi belajar. Dalam hal ini, saya rasa Jared Diamond benar bahwa IQ rata-rata masyarakat tidak akan jauh berbeda satu sama lain. Mengapa demikian?
Potensi belajar terutama berarti sejauh mana seseo- rang dapat menangkap, mengolah, dan menyimpan suatu informasi. Sementara itu, tes-tes IQ yang kita kenal memiliki bias budaya. Dan, mengutip Walter Ong dalam bukunya Orality and Literacy, bias masyarakat tertulis. Para pembuat tes IQ berasal dari masyarakat yang sudah sangat familier dengan budaya tulis. Tak heran, untuk mengetahui potensi belajar, mereka menggunakan ukuran-ukuran yang memang penting dan bermakna dalam masyarakatnya, seperti soal kemampuan verbal dan kuantitatif. Banyak pekerjaan yang membutuhkan kemampuan tersebut dalam masyarakat mereka.
Namun, persis itu sebabnya, tes IQ tidak akan akurat menunjukkan potensi belajar orang-orang yang berasal dari budaya berbeda atau berasal dari masyarakat yang baru kenal tulisan, atau malah tidak kenal tulisan sama sekali.
Wujud atau ekspresi potensi tiap orang akan berbeda-beda bergantung pada banyak faktor, paling utama adalah faktor lingkungan.
Di dalam lingkungan yang menghargai pencapaian akademik, orang akan termotivasi untuk mengekspresikan kecerdasannya dengan meraih prestasi akademik setinggi mungkin. Di lingkungan yang menghargai keterampilan seni musik atau seni kriya misalnya, (meski arguably, ini jenis kecerdasan yang agak berbeda), orang akan lebih termotivasi untuk menggunakan potensi belajarnya untuk seni tersebut.
Nah, bayangkan Anda berada di lingkungan masyarakat pemburu-pengumpul. Di lingkungan itu, ekspresi tertinggi kemampuan belajar Anda adalah cepatnya Anda menguasai kemampuan berburu, kemampuan menghindari predator, atau kemampuan mengenali ragam tumbuhan beracun. Apa iya, Anda tiba-tiba mendapat wahyu ingin belajar menulis dan bercita-cita jadi astronot? Ya, mungkinkah binatang buruan ditangkap dengan meninggalkan tulisan: silakan masuk ke perangkap ini? Tahu bahwa manusia bisa ke luar angkasa saja enggak, bagaimana mau bercita-cita jadi astronot?
Jadi, tidak perlu jumawa mengira kita jauh lebih cerdas ketimbang orang lain hanya karena kita lebih sukses secara akademis, misalnya, atau secara karier. Kemungkinan besar, itu hanya karena ukuran kesuksesan tiap orang berbeda saja.
Pun sebaliknya: jangan buru-buru minder merasa kita tidak akan pernah sesukses negara-negara maju karena merasa bahwa secara inheren kita inferior. It’s bullshit. Jangan-jangan, selama ini ukuran sukses kita beda saja. Jika mau sukses dengan ukuran mereka, ya kita harus bekerja keras menciptakan lingkungan masyarakat yang lebih kondusif untuk itu. Nah, bagaimana? Siap? (IM)
Leave a Reply