Neswa.id-Entah orang lain, tetapi saya dulu sering bertanya-tanya: bagaimana mungkin seorang tetangga yang dikenal santun dan religius ternyata juga seorang pengebom bunuh diri? Mengapa ada orang Indonesia demikian gigih membela nasib warga Palestina, tetapi tak peduli pada nasib warga Ahmadiyah dan Syiah yang terlunta-lunta di negara sendiri?
Mempelajari ilmu psikologi kembali menyadarkan saya bahwa manusia tidak dilahirkan sebagai moralis yang utilitarian, yang memberi nilai dan derajat yang sama pada semua manusia. Altruisme kita bukan tak terbatas. Toh, memang kita tak mungkin membantu atau menyelamatkan semua orang. Kita sering sekali harus memilih, membuat prioritas. Dalam memilih dan membuat prioritas ini, ternyatalah bahwa kita tak memberi nilai yang sama untuk semua nyawa. Jika diberi pilihan antara menyelamatkan nyawa seo- rang anak yang tak dikenal dan nyawa anak kandungnya, kira-kira apa yang akan dipilih seorang individu? Apakah dia akan memberikan nilai yang sama kepada kedua nyawa manusia itu? Semua orang tua tahu, jawabannya adalah tidak.
Apa yang membuat nyawa satu orang lebih berharga daripada yang lain? Selain hubungan darah seperti dalam kasus orang tua dan anak tadi, hal lain yang berpengaruh adalah mekanisme psikologi kelompok. Mereka yang dianggap ingroup hampir selalu dianggap lebih berharga daripada mereka yang dianggap outgroup. Bagaimana benak kita memilah mana ingroup dan mana out- group?
Salah satu ahli psikologi kenamaan dalam hal prasangka, Gordon Allport, mengatakan bahwa benak manusia secara otomatis mengategorisasi. Kategori termudah adalah berdasar yang kasatmata: warna kulit yang berbeda, kebiasaan yang berbeda, etnis yang berbeda, dan sebagainya. Namun, ada pula kategorisasi lain yang lebih abstrak berdasar negara, ideologi, agama, atau entah kategori apa lagi yang diciptakan benak kita.
Manusia terlahir dengan kemampuan altruisme terbatas. Seorang ibu disiapkan secara alamiah dengan bantuan hormon-hormon untuk bersikap altruis kepada anak-anaknya. Rata-rata manusia pun masih mampu menunjukkan simpati dan altruisme yang alamiah kepada kerabat terdekatnya. Untuk memperluas jangkauan altruisme, diperlukan formulasi pem- benaran yang untuk mudahnya akan kita sebut fiksi.
Fiksi yang perlu. Fiksi yang berguna. Kita jadi merasa bersaudara dengan teman-teman satu organisasi dan mampu lebih berempati kepada mereka, misalnya, atau kepada mereka yang tidak punya pertalian darah tetapi lahir dan hidup di area dalam cakupan pemerintahan yang sama, entah kampung atau negara.
Kadang, jangkauan altruisme yang dimunculkan oleh fiksi berupa identitas kelompok itu bisa sedemikian luas hingga melampaui batas negara. Orang dapat berempati kepada individu lain yang berbeda jenis kelamin, usia, etnis, kewarganegaraan, tetapi selama dasar altruisme atau moralitasnya adalah kategori- sasi kelompok tadi, altruisme yang muncul tetaplah terbatas.
Apabila dasarnya adalah identitas keagamaan, maka altruisme dan empati berhenti di garis batas agama yang berbeda. Jika dasarnya adalah identitas kebangsaan, maka altruisme dan empati berhenti di garis ba- tas bangsa yang berbeda. Bila dasarnya adalah identitas politik, maka altruisme dan empati berhenti di garis batas ideologi politik yang berbeda.
Dengan demikian, tidak mengherankan, ada orang- orang yang terlihat baik, ramah, suka menolong kepada sesamanya, tetapi bisa bertindak sedemikian keji kepada manusia-manusia yang mereka persepsikan sebagai berbeda, entah apa pun garis batas yang mereka tarik: ideologi politik, agama, kepentingan, atau kesukuan.
Dalam mekanisme psikologis semacam ini, tak ja- rang mereka yang di luar kelompok dipersepsi hanya sebagai data statistik atau sosok-sosok abstrak yang entah apa, nyaris bukan manusia.
Oleh karena itu, ketika mereka melakukan kekejian kepada outgroup, mereka tak menganggap diri mereka tengah berbuat jahat. Hal ini nyata sekali misalnya pada kasus-kasus persekusi terhadap kelompok yang dianggap menyebal dari agama Islam, seperti Syiah dan Ahmadiyah. Jadi, ya, manusia memang kompleks. Jahat dan baik kadangkadang bukan soal kualitas inheren dalam diri seorang individu, melainkan soal garis mana yang Anda tarik untuk meneguhkan identitas diri. (IM)
Leave a Reply