,

Ngaji Psikologi: Bias Blind Spot

/
/

Ngaji Psikologi: Bias Blind Spot

Neswa.id- Ini bias kesukaan saya. Ini bias yang menunjukkan betapa tak ada manusia yang bebas dari ancaman bias kognitif. Ini juga bias yang membuat saya semakin mantap mendukung demokrasi. Juga membuat saya memahami mengapa mekanisme pembentukan ilmu pengetahuan di dunia ilmiah begitu ribetnya: mengapa artikel harus di-review dahulu oleh peneliti lain, mengapa harus ada publikasi naskah, mengapa data dan metode harus di-jembreng sedetail dan sejelas mungkin, dsb., dst.

Semua proses panjang melelahkan nan ribet ini harus ditempuh karena otak manusia SELALU kesulitan menangkap bias yang dialaminya sendiri. Ada blind spot, titik buta yang membuat kita tak mampu menyadari bias-bias kita sendiri. Blind spot ini ada pada diri semua orang, bahkan mereka yang pekerjaannya meriset bias semacam ini, atau membuat status Fesbuk tentang bias kognitif (ini saya, sih, hahaha).

Semua orang, termasuk orang-orang paling pintar se- dunia, tidak lepas dari kecenderungan lebih mudah mendeteksi bias pada diri orang lain ketimbang pada diri sendiri. Itulah sebabnya, kita perlu orang lain untuk menunjukkan bias-bias kita. Kita butuh orang lain untuk mendeteksi celah dalam argumen kita, kita perlu reviewer, peninjau, untuk menunjukkan kelemahan metode riset kita, kita perlu editor untuk menunjukkan salah tulis kita.

Lantas, apa hubungannya dengan demokrasi? Begini, sependek pengetahuan saya, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling memungkinkan kita saling mengoreksi karena semua orang, semua warga, secara teoretis punya kedudukan yang sama. Tahu sendiri, kan, betapa kekuasaan dan kepentingan dapat merusak individu dan memunculkan bias-biasnya sendiri? Jadi, apabila kekuasaan hanya dipegang oleh satu individu atau satu kelompok secara mutlak, kita yang tidak termasuk kelompok itu, ya, siap-siap tertindaslah. Lha wong dengan sistem demokrasi seperti ini saja masih banyak kesenjangan, masih banyak yang tertindas (meski masih mending ketimbang alternatifnya seperti monarki absolut atau fasisme).

Sistem demokrasi (yang tidak terlalu saya kuasai, jadi mohon koreksinya jika ada salah), sejauh pemahaman saya, selalu berusaha membuat mekanisme untuk saling mengawasi. Lihat saja “kepanitiaan” dalam Pemilu 2019; ada KPU, ada Bawaslu. Belum lagi mekanisme penghitungan yang berjenjang. Data diperiksa dari tingkat TPS, lalu berangsur-angsur naik ke kelurahan, kecamatan, terus begitu sampai pusat. Setiap selisih angka dan keberatan diupayakan untuk diselesaikan di tingkat terbawah. It’s a great al- beit long, complicated, and tiring process.

Masih penuh kekurangan? Ya, wajar; birokrat dan pejabat juga punya bias blind spot. Apalagi dalam mengurusi jutaan orang dengan kepentingan dan pemikiran berbeda-beda. Tinggal manfaatkan segala saluran yang ada untuk mengingatkan, memberikan kritik serta saran, dan, kalau perlu, malah silakan perkarakan secara hukum dan turunkan. Tapi, jangan lupa untuk terus mendengarkan berbagai sudut pandang dan masukan karena, jangan-jangan, kita juga menyimpan bias tertentu yang tidak kita sadari. Jangan-jangan, realitas tidak seperti yang kita percayai . Keyakinan itu juga musti dikalibrasi sesekali, lho. (IM)


Rika Iffati Farihah Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *