Neswa.id-Heuristik atau jalan pintas kognitif ini pada dasarnya dilandaskan pada kecenderungan bawaan benak untuk lebih memprioritaskan, dan dengan demikian menganggap lebih penting, hal-hal yang lebih mudah diingat ketimbang hal-hal yang lebih sulit diingat. Intinya, sesuai namanya: data yang kita gunakan untuk membuat keputusan atau penilaian adalah yang lebih tersedia (available) di ingatan. Bias ini membuat kita cenderung membuat penilaian atau kesimpulan berdasarkan peristiwa yang paling baru, atau berdasarkan hal-hal yang lebih mengesankan bagi kita atau yang lebih banyak diberitakan di media. Misalnya saja orang cenderung merasa bahwa transportasi udara lebih berisiko daripada transportasi darat semata karena berita-berita tentang kecelakaan pesawat biasanya lebih heboh dan lama termuat di media massa ketimbang kecelakaan mobil atau bus; atau, kematian karena penyakit jantung.
Bias ini menjelaskan mengapa ada orang-orang yang sangat yakin bahwa pemerintahan saat ini sangat buruk; jauh lebih buruk daripada rezim-rezim sebelumnya. Meski mungkin ada bias kognitif lain yang berperan (seperti confirmation bias), availability bias juga jelas punya andil di sini karena beberapa alasan. Pertama, data mengenai kekurangan dan kelemahan pemerintahan sekarang jelas lebih baru, lebih segar, lebih mudah diingat, ketimbang data mengenai ke- kurangan dan kelemahan pemerintah-pemerintah sebelumnya. Kedua, kemajuan teknologi di bidang informasi membuat banyak orang yang sebelumnya tidak terbiasa membaca berita politik menjadi terpapar berita politik. Informasi kini tidak perlu dicari, ia datang menyerbu tanpa diminta melalui umpan berita (newsfeed) atau lini masa media sosial. Padahal, umpan berita atau kabar berita macam ini sudah sangat bias oleh algoritma situs atau mesin pencari yang kita pakai; jauh dari keimbangan dan kenetralan.
Kuat dugaan saya, banyak di antara mereka yang haqqul yakin dengan kesimpulan di atas, dulunya jarang atau, bahkan, mungkin tidak pernah, membaca berita atau analisis politik di surat kabar konvensional. Itu sebabnya, bagi beberapa orang, seolah-olah baru di rezim inilah harga barang-barang mahal; baru di rezim inilah banyak korupsi, kolusi, nepotisme terjadi; baru di rezim inilah hukum tumpul ke atas tajam ke bawah; baru di rezim inilah ini itu yang jelek- jelek ada. Padahal, bagi mereka yang sudah sejak lama memperhatikan isu politik, ini bukan isu baru. Semua rezim pernah mengalaminya dengan berbagai levelnya.
Jangan-jangan, itu sebabnya pula, ada yang mengenang rezim Soeharto dengan penuh kerinduan. Tidak perlu heran. Mungkin, kenangannya mengenai zaman Soeharto memang indah. (Misal: sebagai zaman ketika berat badan masih ideal dan kulit masih kencang.) Lagi pula, pada zaman Soeharto, berita-berita mengenai keburukan rezim bersirkulasi di bawah radar. Lebih halus dan tersamar. Internet juga belum seperti sekarang. Ya, jelas saja, banyak orang mengingat dunia politik saat itu sangat tenang, tidak hiruk-pikuk seperti saat ini, politisi sopan-sopan, ndak asal njeplak seperti sekarang (padahal, ya, karena takut “dihilangkan”, sih, kalau berani macam-macam).
Jangan-jangan, availability heuristic ikut pula menyebabkan sebagian orang begitu yakin bahwa Islam selalu teraniaya, bahwa media hanya menyebut pengebom atau pembunuh massal sebagai teroris jika dia beragama Islam.
Jikalau Anda termasuk yang meyakini hal-hal ini, coba cek dahulu informasi yang Anda jadikan dasar penarikan kesimpulan. Jangan-jangan, masalahnya cuma ingatan Anda kurang tajam atau bacaan Anda kurang luas? (IM)
Leave a Reply