,

Ngaji Psikologi: Akal Sehat vs Berpikir Ilmiah

/
/

Ngaji Psikologi: Akal Sehat vs Berpikir Ilmiah

Neswa.id-Saat mendengar istilah “berakal sehat”, orang umumnya akan merasa ini adalah hal baik. Secara umum, memang demikian. Lawan “sehat” itu “sakit”, bukan? Tidak berakal sehat itu terdengar seperti ejekan untuk akal yang kurang sempurna atau mengalami gangguan. Dulu pun pernah ada kubu politik yang dengan bangga menjadikan “akal sehat” ini sebagai tagline pembeda dengan kubu seberang. Sebenarnya, tidak selalu, istilah akal sehat ini memiliki makna yang baik.

Begini, meski mungkin ada istilah lain yang lebih tepat, common sense paling lazim diterjemahkan sebagai “akal sehat” dalam bahasa Indonesia. Padahal, sebenarnya, dalam literatur jurnal psikologi kogniif, common sense sungguh berbeda dengan scientific thinking atau pola berpikir ilmiah.

Scientific thinking lebih cocok disebut sebagai “uncommon sense”. Ini cara berpikir yang tidak biasanya, tidak alamiah. Harus ada upaya sadar untuk mengembangkannya. Harus ada kerja sistematis untuk menanamkannya di benak manusia.

Mengapa demikian?

Dari sananya, otak manusia penuh dengan bias. Otak kita tidak berevolusi untuk mencapai kesimpulan atau mendapatkan jawaban seakurat mungkin. Sekedar “kurang lebih benar” atau “yah, enggak keliru-keliru banget” sudah cukup. Otak kita berevolusi untuk mengatasi kebutuhan sehari-hari yang kadang tidak terlalu terkait dengan akurasi atau kebenaran berpresisi tinggi. Itu sebabnya, kita kerap merasa seolah sedang berpikir logis, padahal kenyataannya cuma sedang menyusun pembenaran bagi intuisi atau keyakinan kita.

Dalam scientific thinking, Anda dipaksa meragukan segala intuisi serta keyakinan awal yang dimiliki. Anda harus mengerahkan segala daya upaya untuk menguji keyakinan dan intuisi itu, lantas mengubah pendapat jika memang bukti mengharuskan. Dalam pola pikir ilmiah, falsifikasi lebih penting ketimbang justifikasi. Meski disiplin ilmu yang berbeda punya metode riset yang berbeda, prinsip upaya meraih kebenaran dengan meminimalkan bias subjektif tetap sama.

Sebaliknya, dalam common sense, kebenaran bukanlah prioritas. Yang utama adalah soal memenuhi  fungsi pragmatis tertentu. Selama suatu pandangan diterima luas oleh teman-teman sesama anggota grup WA kita, ia sudah bisa dibilang masuk akal. Pandangan awam semacam itu adalah common sense.

Menganggap bumi sebenarnya datar, bisa saja masuk akal. Selama ribuan tahun sejarah umat manusia, itu adalah common sense nenek moyang kita dan mereka baik-baik saja.

Selama anggapan bahwa pandemi ini hanya konspirasi, dan membuat hati kita tenang, ya ngapain juga mencoba menambah wawasan mengenai cara penanggulangan pandemi dan cara kerja virus?

Benak sekadar tidak punya motivasi untuk pindah ke sistem berpikir Tipe 2 yang analitis. Melawan in­ tuisi itu berat. Kebanyakan orang tidak akan mampu melakukannya sepanjang waktu. It’s depressing. Real- ly. Seperti tidak pernah ada kepastian. Seperti di PHP gebetan terus-terusan. Apalagi kalau harus mengubah keyakinan. Uh. Dikira tidak capek, apa, terus-menerus meragukan dan mencoba menguji pandangan? Hidup jauh lebih tenang apabila kita melihat fakta-fakta yang sesuai dengan yang kita mau saja, bila kita mengikuti kata ustaz atau tokoh yang “adem” (adem karena tidak mengeluarkan kata-kata yang berten- tangan dengan keyakinan atau pandangan kita).

Ironisnya, segala laptop, ponsel, internet, yang dipakai baik oleh mereka yang lebih percaya pada common sense, pada teori konspirasi, maupun mereka yang lebih memilih penjelasan ahli, bukanlah buah dari common sense.

Semua privilese Anda sekarang, mulai dari kesempatan cuap-cuap di internet sepuasnya, alat transportasi yang Anda kendarai setiap hari, sampai teknologi yang memungkinkan fantasi mengenai time travel semakin dekat adalah buah perjuangan panjang, lama, dan berat para ilmuwan yang dengan susah-payah mencoba mengendalikan bias-bias mereka sendiri agar bisa menelurkan satu demi satu lagi kemajuan teknologi.

Pada zaman sekarang, siap-siap saja kena bully habis-habisan jika mengatakan matahari mengelilingi bumi. Ya, itu jika Anda berada di lingkar sosial yang tepat sih, atau minimal memilih setelan “publik” untuk akun medsos tempat Anda mengumumkan pandangan tersebut. Jika itu Anda lakukan, alternatif pekerjaan buat Anda jelas berkurang. Sudah, lupakan saja melamar kerja di observatorium Bosscha yang keren itu.

Pada zaman Galileo Galilei, orang bisa hidup makmur bahagia sejahtera penuh canda tawa meski beranggapan bumi ini pusat tata surya atau bahkan semesta. Pandangan geosentrisme masih lazim pada zaman itu. Yang ada, malah Galileo harus menjalani hukuman tahanan rumah sampai akhir hayat gara-gara mengampanyekan dukungannya untuk pandangan heliosentris Kopernikus.

Berdasar common sense, geosentrisme sangat masuk akal. Indra terbatas manusia hanya bisa mempersepsi bumi sebagai tidak bergerak. Sementara, matahari jelas-jelas bergerak menurut mata kita. Matahari muncul dari timur dan tenggelam di barat. Perlu cara berpikir tertentu, pengujian tertentu, alat-alat tertentu, bukti-bukti tertentu, yang kemudian membuat umat manusia (dipelopori oleh ilmuwan zaman dahulu) untuk sedikit demi sedikit mengubah pandangan geosentris ini.

Demikian pula soal bulatnya bumi. Oleh karena common sense adalah cara pikir awal kita sebelum dilatih menguasai nalar ilmiah, tak heran kaum yang meyakini bumi datar akan selalu lahir dari generasi ke generasi, tak peduli semaju apa pun perkembangan ilmu pengetahuan. Semua manusia terlahir naif. Semua anak awalnya memilih memprioritaskan bukti observasi langsung. Mata kepala kita mengatakan bentangan bumi itu rata, tidak membulat. Kita perlu upaya sadar berupa konsumsi informasi dan cara pikir yang tepat dalam sistem pendidikan berdurasi cukup panjang untuk mengalahkan akal awam kita (common sense).

Sayangnya, hingga saat ini, masih sangat banyak orang yang lebih memilih bukti-bukti indrawi langsung semacam ini. Masih banyak yang menolak gawatnya pandemi covid-19 misalnya hanya karena dia tidak mengalaminya langsung, (“Saya sempat positif covid, tapi baik-baik saja, tuh. Cuma seperti flu biasa.”); mengabaikan data statistika soal banyaknya penderita yang harus dirawat di rumah sakit, bahkan meninggal dunia. Ini persis seperti para pengusung common sense masa lalu sampai pada kesimpulan bahwa bumi itu datar atau bumi merupakan pusat semesta dengan mengucapkan kalimat “saya lihat dengan mata kepala sendiri” atau “saya alami sendiri” sebagai argumen tertinggi.

Sampai kapan kita begini terus? (IM)


Rika Iffati Farihah Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *