,

Negosiasi dalam Pernikahan: Sakinah dan Dinamika Relasi dan Peran (Bag II)

/
/


Makna Sakinah

Sakinah berasal dari kata ‘sakana’, dan jika mengutip definisi dalam beberapa buku tafsir dan kamus, sakinah bermakna ‘tenang’, ‘damang’ atau keadaan di mana ketenangan, kedamaian, atau ketentraman terwujud setelah munculnya pergerakan atau goncangan (ṡubūt as syai ba’da attaḥarruk).

Keadaan itu seperti keadaan tenangnya sebuah perahu atau kapal setelah terpaan ombak dan gelombang laut. Keadaan tenang, tentram dan damai dalam konteks pernikahan dan keluarga itu diperoleh karena adanya rasa cinta yang kemudian berkembang menjadi rasa kasih sayang (mawaddah dan rahmah) anggota keluarga yang mampu mengendalikan riak serta ombak-ombak tersebut.

Kaitannya dengan ini, saya ingin terlebih dahulu mengulas sedikit tentang istilah ‘samawa’ yang sering digunakan dalam memberikan ucapan baik, memberikan do’a dan harapan kepada pasangan yang baru melakukan pernikahan. ‘Samawa’ merupakan kependekan dari tiga kata, ‘sakinah’, ‘mawaddah’, dan ‘rahmah’. Penggunaan istilah ini dikoreksi oleh beberapa kalangan dengan alasan ketidaktepatan pengambilan suku kata, ‘sa’, dari sakinah, ‘ma’ dari mawadda dan ‘wa’ dari warahmah. Pengambilan suku kata terakhir ini dianggap tidak tepat, dan karenanya beberapa mengoreksinya menjada ‘samara’, dengan penggantian ‘wa’ menjad ‘ra’ dari kata rahmah.

Terlepas dari penggunaan keduanya, istilah ini dalam pemahaman saya sebenarnya tidak relevan dan tidak pas untuk digunakan dalam sisi bahasa, terutama makna dan sturuktur. Saya mencoba memahami dengan baik praktik penggunaan kata ‘sakinah’ melalui pembacaan terhadap beberapa artikel. Untuk menemukan pemahaman umum saya juga melakukan pencarian melalui essai atau ulasan terkait kata itu. Dari pencarian tersebut saya menemukan bahwa kebanyakan para penulis menyetarakan tiga kata itu secara makna, yaitu sebagai ‘kata benda’, i.e., ketentraman/kedamaian, kasih dan sayang, tetapi dengan struktur atau kedudukan sebagai sifat, dalam penggunaannya.

Namun, apakah kata ‘sakinah’ itu bermakna kedamaian atau damai? Merujuk pada tulisan Prof. Quraish Shihab, kata itu bermakna damai dan berarti kata sifat. Merujuk pada ketentuan hukum keluarga Islam dan pedoman pembinaan calon pasangan dari Kementrian Agama, kata itu didudukkan juga sebagai kata sifat dan bermakna damai atau tentram. Hal ini juga dikarenakan ketentuan dan pedoman itu membunyikannya dalam dua kata saja untuk menyusul kata pedoman, ‘Keluarga Sakinah’.

Lalu, jika kita merujuk pada penggunaan kata secara umum dalam praktek, saya bingung menguraikannya karena kita sering mengucapkannya seperti ini, ‘semoga keluarganya sakinah, mawaddah dan rahmah’, atau semoga menjadi ‘keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah’ (bahkan beberapa penggemar kata ini dengan pemahaman yang kurang baik mengungkapkannya seperti ini, ‘semoga menjadi keluarga sakinah dan warahmah’. Di banyak artikel baik sebagai judul maupun istilah dalam paparan teks, tiga kata tersebut sering digabung, atau hanya memakai kata ‘sakinah’ yang ditekankan untuk mengiring kata ‘keluarga’, dan untuk itulah tersusun dua pola frase yaitu ‘keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah’ dan ‘keluarga sakinah’.

Adapun, kata ‘mawaddah’ dan ‘rahmah’ dalam hal ini jelas merupakan kata benda yang bermakna ‘kasih dan sayang’, sebagaimana ditegaskan dalam ayat yang populer digunakan dalam kartu undangan pernikahan, ‘wa ja’ala bainakumā mawaddatan wa rahmatan’.

Jika demikian, apakah pas jika kita menggunakannya seperti dalam ungkapan di atas, ‘keluarga mawaddah dan rahmah’, yang berarti ‘keluarga yang kasih sayang? Iya, saya memahami dan mengetahui itu sudah menjadi kata-kata atau istilah yang biasa digunakan, meskipun kemudian saya melakukan penelusuran untuk mengetahui apakah kata itu sudah masuk dalam KBBI atau belum. Jawaban sementara saya adalah bahwa kata atau istilah itu belum masuk ke dalam KBBI. Paparan ini tidaklah ingin menggugat secara serius penggunanaan dan pemahaman yang sudah membaku itu, namun demikian saya sendiri tetap memilih cukup menggunakan frase ‘keluarga sakinah’, untuk ucapan saya kepada pasangan yang menikah. Jikapun kata ‘mawaddah dan rahmah’, ditambahkan, saya menuliskannya dengan cara berbeda.

Kita kembali kepada poin makna ‘sakinah’ untuk kita kaitkan dengan penerapannya dalam kehidupan pernikahan/rumah tangga. Sakinah dengan definisi sebagai sebuah keadaan damai dan tentram dalam atau setelah adanya riak-riak goncangan, berbeda dengan ‘tenang’ dan ‘diam’ tanpa ada gerakan atau goncangan sebelum dan setelahnya. Untuk itu, keluarga dengan berbagai permasalahan bisa diberi sebutan ‘keluarga sakinah’ jika riak-riak itu dapat dikendalikan.

Riak-riak dan ombak apa yang bisa dikendalikan atau, jika merujuk pada bagian pertama tulisan ini, dinegosiasikan? Seperti yang telah disinggung sekilas, riak-riak pernikahan besar dan kecil atau kesenjangan angka yang besar atau kecil tidak secara mutlak membawa runtuhnya atau bertahannya sebuah pernikahan. Dalam ulasan ini riak-riak yang dimaksud tentunya adalah riak-riak yang tidak menyentuh dan mencederai pondasi pernikahan, atau riak ‘as ṣaghāir’ (bukan ‘al kabāir’). Mudahnya, maksud ‘al kabāir’ lebih relevan untuk disinggung, ketimbang ‘as shaghāir’. ‘Al kabāir’ menurut saya adalah sikap atau perilaku salah satu pasangan atau keduanya yang mencederai alasan atau motivasi awal dibangunnya sebuah pernikahan, yaitu rasa cinta dan sayang dalam diri kedua pasangan. Meskipun ‘al kabāir’ ini dikendalikan, tetapi pengendalian pasti meninggalkan atau dibarengi dengan luka-luka yang membawa keperihan.

Saya mengambil contoh kehidupan rumah tangga orang tua saya yang saya saksikan selama ini untuk menegaskan makna ‘sakinah’ yang saya pahami dalam praktik sehari-hari. Saya ingin menghindari pengambilan contoh pengalaman orang tua saya ini, tetapi saya tetap melakukannya untuk kesahihan dan keakuratan. Ibu bapak kami telah melewati masa 58 tahun pernikahan, dan mereka bertahan bukan tanpa riak-riak. Tidak ada cerita buruk terkait sikap bapak yang kami dengar dan saksikan yang menyakiti hati ibu kaitannya dengan ‘perasaan hatinya’ seperti yang dikisahkan dan digambarkan dalam sinetron serial ‘Hati yang Tersakiti’ di Indosiar.

Yang ada hanyalah pertengkaran dan perselisihan yang disebabkan perbedaan pendapat, cara pandang, dan hal-hal lainnya yang tidak menyentuh pondasi awal terjalinnya ikatan pernikahan. Sebagian besar perselisihan mereda dalam waktu yang tidak lama. Perbedaan sifat keduanya menjadi salah satu sumber pertengkaran. Bapak yang pendiam, tegas, dan detailed membuat ibu kadang kurang nyaman, dan akibatnya perselisihan muncul. Tanpa bermaksud membenarkan dan membela ibu, kami sering membisiki bapak untuk tetap ‘cool’ terhadap ibu.

Relasi yang Fair

Dalam kajian jender diperkenalkan dua pola relasi utama, relasi tradisional atau konvensional dan relasi modern dalam pernikahan. Saya tidak perlu menjelaskan kedua pola relasi ini di sini terlebih beberapa pola turunannya kaitannya dengan beberapa domain yang mencakup pengelolaan keluarga, produksi (pekerjaan), reproduksi, dan pengambilan keputusan. Dua pola ini dengan dinamikanya diterapkan dalam kehidupan pernikahan atau keluarga di Indonesia.

Masih merujuk pada kasus ibu bapak saya, relasi yang diterapkan dalam pernikahan mereka seperti kebanyakan pasangan seusia mereka adalah pola relasi tradisional atau konvensional (yang di banyak kasus juga diterapkan oleh banyak pasangan pada era sekarang ini). Dengan ragam pekerjaan yang berbeda, para suami pasangan seusia ibu bapak saya di kampung memerankan diri mereka sebagai breadwinners, bekerja di luar rumah untuk memperoleh penghasilan demi memenuhi nafkah keluarga. Job description mereka nampak jelas, dan fungsi serta peran mereka telah mapan dalam keluarga dan tidak diperdebatkan. Untuk kasus ibu bapak saya yang sudah melewati masa 58 tahun pernikahan, relasi tersebut merupakan relasi yang relevan dan fair.

Relasi yang dimainkan mereka ini tentu berbeda dengan relasi yang dimainkan para pasangan yang keduanya bekerja. Dinggap tidak relevan dan fair jika pasangan yang keduanya bekerja menerapkan pola relasi tradisional. Sedangkan pada pasangan yang keduanya bekerja, relasi yang relevan adalah relasi dan peran di mana suami turut membantu tugas-tugas domestik bersama istri. Dalam keadaan tertentu dan dengan kerelaannya, istri bisa saja tetap mengambil beban lebih dalam menyelesaikan urusan domestik keluarga.

Meskipun ketentuan hukum kaitannya dengan peran dan hak kewajiban suami istri telah digariskan, perbedaan penerapan pola relasi itu menjadi kewajaran dalam praktik. Hal ini mengingat bahwa norma hukum yang dimapankan itu biasanya didasarkan pada argumen keumuman praktik relasi dan peran dalam pernikahan yang tentunya diterapkan sesuai konteksnya dan dinamikanya.

Kaitannya dengan relasi atau peran yang dinamis dan kontekstual ini, mungkin seorang perempuan bisa merefleksikannya dalam kata-kata seperti ini; ‘I am a wife, and my husband works outside home, and this would or should define how I and my husband manage to run our household’, atau ‘I am a wife and work outside home, and this would or should define how I and my husband manage to run our household’. Dalam ungkapan yang lebih detail sekaligus spesifik, seorang perempuan bisa mengatakan, ‘I am a woman, a wife, a Muslim, a Javanese (bisa Sundanese, Banjarese, dan lainnya), work outside home (or do not work outside home), and this would define how I and my husband manage to run our households’.

Upaya membangun relasi yang fair ini berjalan seiring dengan pemahaman dan penerapan makna ‘sakinah’ dan upaya pasangan melakukan negosiasi yang menurut saya semua ini merupakan kontrol internal. Selain faktor ini terdapat faktor lain, yaitu kontrol eksternal, yang berperan juga dalam pertahanan sebuah pernikahan. Salah satu kontrol eksternal yang berlaku dalam pemahaman saya adalah ‘persahabatan atau perkenalan’ masing-masing dari pasangan dengan orang-orang yang sama dan juga ‘hubungan baik’ baik pasangan dengan keluarga besar pasangan masing-masing, yang akan saya paparkan di dalam bagian berikutnya.

***



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *