Judul : Dari Bilik Pesantren, Penulis : Ahmad Khadafi, Tebal : xxviii+254 halaman, Tahun : Cetakan Ke-03, Juli 2020, Penerbit: EA Books, ISBN :978-602-51695-3-3
Neswa.id-Bicara soal pesantren, banyak orang berargumen bahwa di sana merupakan tempatnya orang-orang kumuh, kolot, terbelakang yang terkungkung oleh segenap peraturan-peraturan yang dibuatnya. Tak segan, bahkan pesantren pun dinilai sebagai penampung murid-murid nakal dan amoral. Sebab ketika banyak orang tua mengeluhkan anaknya yang kurang benar, satu-satunya tempat yang bisa menjadi sasaran adalah di masukkan ke pendidikan berasrama, ke dalam pesantren.
Subjektivitas tersebut akan bertolak belakang jika ada keinginan untuk mau mengecek lebih dalam kondisi dan sistem pembelajaran di pesantren yang jauh lebih integral dari pendidikan formal. Bagaimana tidak, pesantren pada lanskap pergolakan sejarahnya telah banyak mengambil peran dalam mengkader produk-produk unggulan bangsa.
Kalau dibilang sebagai tempat observasi murid-murid yang nakal memang sedikit ada benarnya, namun tak sepenuhnyaa begitu. Karena kenyataannnya, banyak juga yang masuk ke pesantren sebagai murid yang pada dasarnya sudah baik dan bahkan memiliki kualitas. Orang tuanya memasukkan anaknya ke pesantren sebab tahu dan yakin bahwa pendididkan pesantren akan menjaga dan membentuk karakter kepribadiannnya secara baik dengan wawasan keilmuan yang juga luas.
Pesantren memiliki keketatan dalam peraturan dan memiliki kedisiplinan yang hampir mirip dengan sistem militer. Namun ada juga beberapa hal yang menjadi pembeda diantara keduanya. Misalnya dalam hal pakaian. Kalau militer diwajibkan berseragam lengkap dengan segenap persenjataan yang menyertainya, namun kalau di pesantren cukup mengenakan pakaian seadanya saja yang penting menutup aurat. Dan satu hal lagi, kalau di pesantren tidak pernah diajarkan untuk membunuh, namun kalau militer, dipelajarai bagaimana cara membunuh yang sistematis dan efektif.
Maka agak terlalu berlebihan jika pesantren disebut sebagai “penjara suci” oleh awam. Sekalipun di pesantren sistem peserta didiknya dibuat agar taat terhadap peraturan, bukan berarti pesantren adalah penjara bagi para penghuninya. Pernyataaan tersebut pernah diterangkan oleh Abdul A’la dalam bukunya “Pembaharu Pesantren”. Ia menyebut pesantren sebagai “laboratorium” alih-alih disebut “penjara”. Sebab layak dipastikan bahwa para penghuni pesantren dapat diuji dan diaplikasikan untuk terjun ke tengah komunitas masyarakat.
Santri atau dalam adaptasi dari tradisi cantrik Hindu adalah ”Shastri” adalah berasal dari bahasa Sansekerta. Merupakan orang atau murid yang mempelajari Shastra (Kitab Suci) di pe-Shastri-an atau kemudian jamak disebut pesantren. Khazanahnya telah lama diakui sebagai cakrawala yang tak bertepi. Sekian disiplin keilmuan yang dikaji lewat kekhasan literatur kitab kuningnya bersatu padu dengan khazanah spiritualitas dari bermacam madzhab.
Hal-hal tersebutlah yang kemudian lebih diperjelas lagi oleh Ahmad Khadafi, seorang jurnalis santri yang cukup telaten dan memahami seluk beluk kepesantrenan. Lewat karyanya berjudul “Dari Bilik Pesantren”, ia menyingkap lebih detail keunggulan-keunggulan lain soal pesantren.
Cerita-cerita yang memang sudah cukup dekat dengannya, ia bubuhkan lewat karya tulisnya bergaya esai tersebut. Selain untuk bernostalgia kembali dengan pengalaman-pengalamannya sewaktu mesantren dulu, buku ini juga menyampaikan catatan –catatan ringan seputar Islam.
Di buku kumpulan tulisan Ahmad Khadafi (Dafi) tak sedikit pula diantaranya adalah berbentuk anekdot-anekdot. Baik dari pimpinan pesantren, santri, maupun dari kiai-kiai atau tokoh kharismatik kita. Cerita-cerita lucu Dafi yang muncul dari pesantren, memberikan gambaran bahwa betapa mengental anekdot yang ada sebagai dimensi kulturalnya.
Selain anekdot-anekdot yang Dafi tulis, beberapa di antaranya juga terdapat tulisan seputar refleksi sejarah dan paham keislaman yang informatif. Seperti tulisan Dafi yang membahas tentang peristiwa Isra’ Mikraj. Dalam refleksi sejarah yang ia tangkap, ia menyampaikaan bahwa daripada kejadian ini dinilai sebagai peristiwa supranatural yang masih panjang diperdebatkan, justru seharusnya perlu dipandang sebagai peristiwa yang memiliki konsekuensi politik yang sangat besar.
Secara politisi, peristiwa Isra adalah upaya rekonsiliasi sejarah asal-usul agama Islam. Sebab, “kunjungan” Nabi Muhammad ke Yerusalem bisa dipandang sebagai upaya “merapatnya” agama Islam pada bentuk monotesime/ketauhidan yang juga diajarkan oleh agama Yahudi, agama yang jauh lebih tua daripada agama kepercayaan miliki suku Qurays yang saaat itu sangat mengancam keberlangsungan Islam. Hal itu menegaskan watak monoteistik Islam dan akan dipersonifikasikan sebagai agama yang punya riwayat panjang yang berakar dalam tradisi tua. (hlm.154)
Maka terang Dafi, periode setelah Isra’ Mikraj Rasulullah SAW tidak lagi memaksakan ka’bah sebagai arah kiblatnya. Dan secara bertahap Makkah tak lagi menjadi pusat syiar Islam pada era itu. Maka dengan rentetan peristiwa inilah hijrahnya Rasulullah ke Madinah kemudian menjadi latar belakang peperangan antara kaum Muslim dengan kaum kafir Qurays.
Dan setelah 12 tahun Hijrah, tepatnya pada bulan Rajab, turunlah perintah (surat Al-Baqarah 142-145) untuk memalingkan arah kiblat shalat dari Masjidil Aqsha di Yerussalem ke Masjidil Haram di Makkah. Turunnnya perintah tersebut pun memiliki kosekuensi pilitik yang besar, bahwa Islam memisahkan diri dari rumpun agama Yahudi. Perpindahan ini mempertegas Islam tentang perbedaannya dengan agama Yahudi, juga perbedaannya dengan agama nenek moyang suku Qurays.
Dan seperti itulah Dafi menyusun bukunya. Buku setebal 254 halaman ini cocoklah untuk dinikmati secara berseries maupun sekali gebut. Namun alangkah baiknya, saya sarankan agar sebaiknya buku ini dibaca sedikit demi sedikit saja dan tidak perlu terburu-buru mengkhatamkannya. Karena sekalipun ringan bahasanya, buku ini sebetulnya memiliki muatan isi yang berbobot. (IM)
Leave a Reply