Tulisan ini mencoba menganalisis buku Metodologi Fatwa KUPI: Pokok-Pokok Pikiran Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Penulis mendapatkan buku ini dari Tim Redaksi KUPI yang tak terlepaskan dari pelatihan/seminar Rumah KitaB di Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy Cirebon pada September 2019. Seminar saat itu membahas konsep tentang qiwammah dan wilayah yang dihadiri oleh narasumber utama Profesor Amina Wadud (USA), Kyai Hussein Muhammad dan Ibu Lies Marcoes.
Buku Metodologi Fatwa KUPI terbit pada Januari 2022 yang ditulis oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dan diberi prolog oleh Dr. Nur Rofiah serta epilog oleh Prof. Euis Nurlaelawati. Dalam hal ini, penulis (author) dari sebuah karya penting untuk disebutkan, karena melalui penulis memungkinkan terciptanya unsur kepentingan dan subjektivitas yang dihadirkan melalui karyanya untuk tujuan tertentu. Menulis merupakan langkah awal dari terciptanya diskursus dalam setiap komponen ruang publik. Termasuk alasan saya sendiri sebagai penulis mencoba untuk mengulas tema tentang Kongres Ulama Perempuan Indonesia.
Konsep subjektivitas dan pengalaman inilah yang dihadirkan KUPI dalam membentuk metodologi fatwa yang berpijak pada pengalaman empiris (istiqrar). Terlihat dari penyebutan KUPI melalui konsep “ulama perempuan” sebagai subjek yang datang dari perempuan maupun laki-laki. Ulama perempuan tidak menggunakan kaidah oposisi biner dengan pembeda jenis kelamin yang tegas. Penekanan konsep “ulama perempuan” lebih pada kapasitas ilmu pengetahuan yang dimiliki ulama (baik perempuan maupun laki-laki) dengan perspektif gender yang digunakan dalam aktivisme dakwah/sosialnya. Sementara KUPI membedakannya dengan “perempuan ulama” yang berkonotasi ulama berjenis kelamin perempuan namun belum memiliki perspektif gender (KUPI, 2017)
Tauhid sebagai Metodologi dalam Lingkar Kongres Ulama Perempuan Indonesia
KUPI pada tahun 2017 menghasilkan tiga buah keputusan fatwa utama, yakni tentang pengharaman kekerasan seksual, pernikahan anak, dan pengrusakan terhadap lingkungan alam. Fatwa tersebut dihasilkan melalui proses panjang kajian untuk merespons kondisi sosial melalui kajian fikih. Proses tersebut digarap melalui penelaahan penggunaan paradigma, kerangka berpikir, dan pendekatan yang digunakan sebagai metodologi perumusan fatwa musyawarah keagamaan KUPI.
Paradigma tersebut memiliki sembilan nilai utama: ketauhidan, kerahmatan, kemaslahatan, kesetaraan, kesalingan, keadilan, kebangsaan, kemanusian, dan kesemestaan. Pondasi pertama yakni paradigma Tauhid sebagai dasar nilai ketuhanan, melimpah (proses emanasi) menumbuhkan visi kerahmatan (rahmatan lil alamin)dibarengi dengan misi kemaslahatan dan akhlakul karimah, bergerak menuju limpahan nilai kesetaraan, kesalingan, dan keadilan (nilai maslahat) sehingga membentuk nilai/norma yang diimplementasikan dalam semangat kehidupan kebangsaan, kemanusiaan, serta kesemestaan.
Tauhid dari sifat Allah, yakni Tuhan yang memiliki sifat Rahman dan Rahim memberikan manifestasi cinta dan kasih kepada alam semesta melalui manusia sebagai khalifah fii al-ardh. Sehingga perempuan dan laki-laki dalam paradigma ini memiliki legitimasi sebagai subjek yang utuh dan memiliki martabat sebagai wakil-wakil Tuhan di bumi.
Tauhid memberikan pengertian bahwa tidak ada manusia yang menuhankan selain kepada-Nya, serta memberikan manifestasi tidak ada manusia yang lebih tinggi posisinya dibanding manusia yang lain. Tauhid memberikan pijakan perempuan/ istri memiliki posisi yang sama dengan laki-laki/suami, istri bukan sebagai warga kelas dua (second class). Kepatuhan mutlak perempuan adalah kepada Tuhan sebagai dzat yang Maha Tinggi, bukan di bawah kuasa atau dominasi seorang laki-laki. Konsekuensi ini mendelegitimasi anggapan umum yang mengatakan jika perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki, perempuan harus tunduk mutlak kepada laki-laki, yang pada akhirnya tujuan Tauhid adalah memposisikan perempuan dan laki-laki sebagai makhluk setara sebagai khalifah fii al-ardh.
Paradigma Tauhid dikerangkai dengan maqashid asy syari’ah (tujuan-tujuan syari’ah Islam) untuk mengkaji isu kekerasan seksual, pernikahan anak, dan kerusakan lingkungan. Kerangka ini melihat sebuah teks (matan) bukan secara atomtik, melainkan secara holistik dengan pembacaan intertekstualitas antara sumber hukum Islam dan realitas sosial. Tujuan dihadirkannya maqashid asy syari’ah adalah sebagai dasar bagi keputusan fikih/fatwa agar tidak keluar atau berlawanan dengan tujuan dibuatnya syariat Islam tersebut. Di antara tujuan syariat diantarnya: al-kulliyat al-khams (prinsip yang lima), yaitu perlindungan jiwa (hifz an-nafs), akal (hifz al-aql), harta (hifz al-mal), keluarga (hifz an-nasl), dan agama (hifz ad-din). Kerangka maqashid dinilai mampu bersiergi dengan prinsip hukum kontemporer, seperti rationality, utility, justice, dan morality.
Visi-Misi Tauhid dan kerangka Maqashid asy syari’ah selanjutnya dianalisis dengan model tiga pendekatan: makruf, mubadalah, dan keadilan hakiki. Makruf dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mengandung nilai kebaikan, kebenaran yang sesuai dengan syari’at dan kepantasan masyarakat dengan akal sehat. Pendekatan makruf menjembatani teks yang otoratif bersifat kewahyuan dengan kondisi dialektis dari realias sosial di masyarakat.
Model mubadalah sebagai cara pembacaan kesalingan terhadap sebuah teks Quran dan Hadis, digunakan untuk merespons struktur teks hukum Islam yang selama ini banyak berbicara hanya kepada laki-laki. Sementara perempuan dalam teks, tidak diposisikan sebagai subjek yang terkena dari hadirnya sebuah teks. Teks dalam pembacaan mubadalah dapat diartikan, “apabila dalam sebuah teks berbicara kepada subjek laki-laki, teks tersebut juga memungkinkan menyapa/ berlaku kepada subjek perempuan”. Namun perlu ditegaskan jika tidak semua teks bisa diimplikasikan secara langsung melalui mubadalah. Pembacaan mubadalah bisa secara langsung melihat teks dibaca secara tekstual dan dengan cara pembacaan melampaui teks (matan) untuk menuju prinsip utama yakni tentang implementasi Tauhid (Kodir, 2019).
Sementara model pembacaan keadilan hakiki digunakan untuk memperhatikan pengalaman (biologis dan sosial) dari perempuan dan laki-laki sebagai bahan pertimbangan rumusan fatwa. Misalnya dengan pengalaman biologis perempuan ketika haid, hamil, melahirkan, dan nifas hingga menyusui, harus menggunakan keutusan-keputusan yang melibatkan perempuan. Pengalaman perempuan ini menjadi sesuatu yang penting untuk membentuk otoritas subjek yang berbicara, sehingga apabila dihilangkan maka pengertian dalam pendektan makruf tidak akan tercapai.
Diskursus Pengarusutamaan Gender (gender mainstreaming)
Diskursus pengetahuan Islam menjadi sebuah fenomena sosial yang hadir di publik Indonesia secara massif terjadi saat ketika Reformasi. Hadirnya teknologi informasi dan komunikasi terbarukan juga turut membentuk kesadaran baru tentang wacana perempuan dalam Islam. Era sosial media membentuk gelembung ruang agama yang menjadi konsumsi kalangan luas.
Jaringan KUPI memiliki beberapa kanal-kanal informasi wacana gender yang dapat diakses melalui website maupun sosial media. Kanal ini misalnya hadir melalui Fahmina, Swara Rahima, mubadalah.id, Rumah KitaB dan yang terbaru adalah pembentukan semacam wikipedia dengan nama Kupipedia.
Penelitian dari Eva F Nisa tahun 2019 yang berjudul “Muslim Women in Contemporary Indonesia: Online Conflicting Narratives behind the Women Ulama Congress”, menunjukkan jika media lingkar KUPI belum secara signifikan mendapat perhatian luas seperti media lingkar tarbiyah movement dan muslimah HTI. Media yang mendapat perhatian luas tersebut memiliki pandangan kontra dengan agenda KUPI tentang perempuan dalam Islam. Misalnya tentang RUU-TPKS, KUPI sangat mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
Walaupun demikian, ruang publik sebagai pengarusutamaan gender dapat ditempatkan sebagai sarana dalam penyampaian aspirasi, termasuk wacana perempuan. Rezim pengetahuan yang menjadi dominan dalam masyarakat dapat dilihat sebagai hasil pertarungan dari berbagai wacana. Misalnya Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI) yang digagas oleh Nyai Dr. Nur Rofiah sebagai inisiasi pengarusutamaan gender kepada khalayak luas. KUPI juga memiliki kesempatan untuk membentuk wacana yang signifikan, salah satunya melalui lembaga pendidikan pesantren. Jaringan KUPI yang datang banyak dari pengurus pesantren, memiliki potensi untuk menciptakan pengetahuan pengarusutamaan gender (sejak dini) kepada santri/ santriyah.
Referensi
Kodir, F. (2019). Qira’ah mubadalah. IRCiSoD. Yogyakarta.
Kodir, F. A. (2022). Metodologi Fatwa KUPI: Pokok-pokok pikiran Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (M. Wahid (ed.)). KUPI.
KUPI, T. (2017). Dokumen Resmi Proses dan Hasil Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Kongres Ulama Perempuan Indonesia.
Leave a Reply