Saat remaja, biasanya seseorang dapat dengan mudah dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran baru, termasuk pemikiran radikal, apalagi jika tidak diberi pondasi pemahaman agama dan pola pikir kritis sejak dini. Dampaknya bisa berujung pada tindakan ekstrimisme dan terorisme. Sebagaimana kasus belum lama ini terkait gerakan terorisme yang mengatasnamakan agama, padahal dalam agama tidak ada ajaran tentang kekerasan apalagi sampai merugikan banyak orang. Kasus tersebut terjadi pada mahasiswa UB dengan inisisal IA yang diduga tergabung dalam jaringan ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria). Mahasiswa tersebut ditangkap di kos-kosannya oleh tim Densus 88. IA diduga menyebarkan ajaran ISIS melalui media sosialnya juga mengumpulkan dana untuk membantu ISIS di Indonesia (kompas.com, 26 Mei 2022). Kasus tersebut tak luput dari pengaruh media sosial dan kurangnya pengetahuan terkait keislaman yang rahmatan lil’alamin.
Usia remaja yang haus akan ilmu agama tetapi belajar dengan sumber yang kurang tepat adalah hal yang sangat disayangkan. Menurut saya, ini adalah problematika kita bersama, di mana, ada banyak orang yang haus akan agama, tetapi belajar dengan sumber yang kurang tepat. Apalagi, mereka memiliki motto yang mendasari gerakan mereka, yakni “dakwah Islam” yang terus memperluas jaringannya dengan kajian-kajian yang diadakan. Saya teringat dengan salah satu teman yang saya jumpai ketika webinar tentang “Khilafah” (satu tahun lalu) yang pada akhirnya membawa saya pada grup whatsapp dengan berbagai kajiannya. Ketika saya dihubungi melalui whatsapp oleh salah satu anggota grup tersebut, dia sudah memakai dialek ala Arab seperti antum dan ana, saya iseng bertanya “sejak kapan kamu belajar agama?” jawabnya “satu setengah tahun”. Kemudian dia menasihati saya untuk terus berdakwah.
Belajar agama dengan waktu yang cukup singkat sudah melakukan dakwah, bagi saya adalah hal yang tidak tepat. Apalagi, jika melihat model dan topik di dalam diskusinya, pembahasan yang diusung kebanyakan tentang khilafah dan kedudukan perempuan yang sumbernya masih sangat simpang siur. Selain haus akan ilmu agama, pengaruh paling kuat yakni media sosial (internet). Entah disadari atau tidak, media sosial sudah menjelma menjadi kebutuhan primer. Media sosial seperti facebook, instagram, whatsapp, dan tiktok agaknya sudah menjadi kebutuhan harian setiap orang khususnya masyarakat urban. Pembelajaran yang diperoleh dari internet sangat random karena siapa pun bisa menulis dan menerbitkannya. Bagi seseorang yang sudah paham mengenai hukum-hukum, isu, atau pengetahuan mungkin tidak mudah untuk mempercayainya, namun bagaimana dengan seseorang yang baru belajar? Bisa jadi dia menerima dan mempercayai unggahan-unggahan di internet itu begitu saja.
Pengaruh media sosial bagi remaja secara umum adalah tentang hijrah yang dimaknai sebagai perpindahan. Namun, perpindahan di sini banyak yang masih terfokus pada penampilan dzohiriah atau pada sesuatu yang tampak saja, seperti pakaian dan perubahan dialek saat berbicara. Perubahan pakaian untuk perempuan seperti memakai jilbab yang ukurannya lebih besar dan panjang. Sementara untuk laki-laki memakai pakaian yang anti isbal atau celana yang panjangnya sampai di atas mata kaki. Jika dilihat dari pemakaian kata dalam berbincang, terdapat kata-kata yang menggunakan bahas Arab, seperti na’am (iya), syukron (terima kasih), dan lain sebagainya.
Ada yang luput dari pemahaman hijrah, yakni perpindahan perilaku dari yang kurang baik menjadi perilaku baik. Ditambah lagi dengan pemahaman-pemahaman keagamaan dengan sanad yang jelas. Perubahan yang seharusnya ditekankan bukan masalah dzohiriah (sesuatu yang tampak) semata, namun batiniah (hati). Ketika substansi Islam sudah tertanam dalam diri, maka ketenteraman dalam menjalankan hidup dan berdakwah akan membersamai langkah.
Atas beberapa problematika tentang pemahaman keislaman di atas, maka kita dapat mengambil pelajaran bahwa, kita tidak bisa mengontrol informasi baik berita, bahan bacaan sampai trend yang masuk dalam kehidupan kita, melainkan kita sendiri yang harus pandai-pandai dalam memilah informasi yang masuk. Selain itu, peran lingkungan sekitar dalam memerangi kasus-kasus pemikiran radikal terhadap Islam sangat diperlukan, demi menjaga generasi-generasi muda agar tidak mudah terpengaruh oleh pemikiran tersebut. Agama Islam adalah rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam), yang harus diamalkan nilai-nilainya dengan pedoman amar ma’ruf nahi mungkar (memerintah berbuat baik, melarang kemungkaran).
Wallahu a’lam bishshawab.
Leave a Reply