,

Menyelami Hadis Rasulullah: Pengkhianatan Istri kepada Suami

/
/


Rasulullah menyampaikan sabdanya bukan serta merta hanya mengeluarkan kata-kata saja dari lisannya. Sabda Rasulullah mengandung banyak pesan dan hikmah yang bisa dipetik bila pembaca atau pendengar benar-benar menyelaminya. Salah satu hadis yang sering menjadi sasaran kesalahpahaman adalah hadis tentang “Pengkhianatan Istri Kepada Suami”. Dalam hadis tersebut terdapat kata “khianat” yang sesuai konteksnya mengarah kepada istri. Hadis tersebut berbunyi.

أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، أَنَّ أَبَا يُونُسَ، مَوْلَى أَبِي هُرَيْرَةَ، حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَوْلَا حَوَّاءُ، لَمْ تَخُنْ أُنْثَى زَوْجَهَا الدَّهْرَ»

Telah mengabarkan kepada saya ‘Amr ibn al-Harits, sesungguhnya Aba Yunus (maula Abu Hurairah) menceritakannya dari Abu Hurairah, dari Rasulullah bersabda: “Seandainya bukan karena Hawa, niscaya para istri tidak mengkhianati para suami”. (Shahih Muslim, 2:1092)

Hadis di atas seakan menggambarkan bahwa asal mula pengkhianatan seorang istri terjadi karena apa yang sudah dilakukan oleh ibu para kaum perempuan yakni Sayyidah Hawa. Peristiwa di mana Sayyidah Hawa membujuk Nabi Adam untuk memakan buah terlarang, yakni khuldi, sehingga Nabi Adam dan Sayyidah Hawa diperintahkan untuk turun ke bumi dan dikeluarkan dari surga.

Para ulama sepakat bahwa pengkhianatan yang dilakukan oleh Sayyidah hawa dan istri-istri Nabi setelahnya bukan berupa pengkhianatan yang fahishah (perbuatan tercela), seperti zina, namun pengkhianatan yang dilakukan berkaitan dengan keimanan yang tidak sempurna.

Jika hadis ini tidak betul-betul diselami, maka yang terjadi adalah adanya anggapan perempuan sebagai biang keladi terjadinya keretakan dalam rumah tangga, hancurnya sebuah negara, pertikaian muncul akibat ulah perempuan, bahkan sampai kepada vonis bahwa perempuan dianggap sebagai sebab terjadinya dosa.

Islam tidak seperti itu, justru lahirnya Islam untuk mengangkat kemuliaan perempuan. Islam memandang perempuan sebagai sosok yang indah, perempuan laksana mutiara yang berharga. Islam melarang sembarangan orang untuk melihatnya, menyentuh bahkan memilikinya. Islam memiliki ukuran dan aturan demi menjaga keindahannya.

Dalam konteks larangan Rasulullah dengan menggunakan kata لَوْ sebab akan membuka pintu setan dalam merusak iman pada Qadha dan Qadar, adapun bahasa لَوْلَا digunakan karena berkaitan dengan suatu peristiwa yang telah terjadi (Abu ‘Abbas ibn Ahmad ibn Ibrahim).

“Seandainya bukan karena hawa “berkonotasi pada suatu peristiwa yang sudah terjadi dan berdampak pada kehidupan kaum perempuan setelahnya. Kata khianat merupakan antonim dari kata amanah; apabila seseorang dikatakan mengkhianati janji, maka berarti dia tidak melaksanakannya dan itu identik dengan tidak amanah.

Sedangkan kata الدَّهْرَ bermakna masa yang tiada batas dan digunakan untuk menunjukkan masa ribuan tahun (Ibnu Mansyur). Maka dari itu, konteks masa yang tanpa batas ini jika ditarik dalam peristiwa pengkhianatan Sayyidah Hawa ialah sepanjang hidup manusia yang berkaitan dengan pengkhianatan istri terhadap suami berawal dari ibu pertama. Kalimat “niscaya tidak akan ada istri yang berkhianat kepada suami” tidak akan pernah ada, jika istri Nabi Adam tidak berkhianat.

Secara tekstualis, hadis di atas memiliki beberapa poin penting yang nantinya dapat memberikan pemahaman besar bagi para istri, lebih-lebih pelajaran yang dapat diambil pula oleh suami. Beberapa poin tersebut di antaranya:

Pertama, apa yang dilakukan Sayyidah Hawa pada saat itu merupakan kesalahan, kesalahan tersebut berupa pengkhianatan. Sekali lagi, pengkhianatan yang dilakukan tidak sampai kepada menjatuhkan ‘iffahnya sebagai perempuan. Hal ini dijadikan landasan argumentasi bahwasannya para istri mewarisi sifat “khianat” atas suami dari ibunda pertama manusia.

Kedua, sifat “khianat” yang dimaksud ialah tabiat yang telah melekat pada diri setiap perempuan. Yakni membangkang, menyebarkan rahasia, berdusta (menambah-nambahi perkataan yang semestinya tidak ada dan mengurangi perkataan yang sudah ada). Seperti contoh; Istri Nabi Luth yang menyebarkan rahasia mengenai keberadaan tamu-tamu Nabi Luth kepada kaumnya; Istri Nabi Nuh yang menceritakan rahasia-rahasia Nabi Nuh kepada orang-orang yang tidak beriman kepada risalahnya dan ikut dalam olokan itu.

Ketiga, jika mengaca pada poin pertama dan kedua, ini tidak senada dengan Firman Allah yang berbunyi;

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۚ وَإِن تَدۡعُ مُثۡقَلَةٌ إِلَىٰ حِمۡلِهَا لَا يُحۡمَلۡ مِنۡهُ شَيۡءٞ وَلَوۡ كَانَ ذَا قُرۡبَىٰٓۗ

“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. (Q.S Fatir ayat 18).” Sehingga tidak ada istilah dosa turun temurun, seperti halnya kesalahan yang dilakukan Sayyidah Hawa dapat pula dilakukan oleh generasi perempuan setelahnya.

Keempat, Rasulullah mengatakan kata khianat pada hadis tersebut memiliki maksud untuk menentramkan hati suami agar senantiasa bersabar dan selalu menasihati istrinya dengan kebaikan. Hadis di atas mengingatkan siapa saja yang membacanya bahwa Istri Nabi sekalipun pernah berbuat salah, oleh sebab itu para suami hendak dapat memahami dan mengarahkan sang istri agar menjadi perempuan yang shalihah.

Wallahu A’lam



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *