Selalu saja ada yang baru dalam perbincangan netizen. Setelah statement Pandji, eh muncul lagi tentang sekarang sepatu syar’i. Sepatu syar’i ini merupakan produk terbaru dari salah satu artis mantan anggota Cherry Bell yang sekarang sudah berhijrah, Anisa Rahma.
Kalem gengs, jangan pura pura tidak tau lah seolah kita baru mendapati barang barang berlabel syar’i kemaren sore? Helloooww, bahkan sejak tahun 2015 saya sudah menemukan beberapa panci berlabel halal, kulkas halal, baju syar’i dan ribuan produk lainnya yang memakai label syar’i.
Yah memang seperti itulah strategi marketing saat ini. Bersaing. Apalagi sepatu itu memang ditujukan untuk muslimah penggemar gamis syar’i yang panjangnya bukan main, dan seringkali nyeret² tanah. Rahma kemudian berinisiatif membuat sepatu dengan lapisan bawah super tebal nan tinggi agar gamis gamis tersebut tak mudah menyeret kotoran dan menjadi najis. Begitu jelasnya dalam wawancara di berbagai media.
Lantas, apa bedanya dengan sepatu wedges? Ya tentu saja tidak ada bedanya. Ini kan cuma perkara label marketing. Jadi mau sepatu syar’i kek, sepatu hijrah, sepatu taubat atau apapun label dan istilahnya, ya anggap saja sebagai sesuatu yang biasa saja dalam dunia bisnis. Namanya juga label, suka suka dia donk. Jadi ga usah jauh jauh beranggapan ini upaya islamisasi, karena ini hanyalah perihal nasi, uhuk.
Kayak sampean misal mau bikin label sepatu romantis, sepatu kinyis-kinyis atau sepatu manis, yah silahkan saja. Karena pada intinya apapun label produknya, yang penting laku. Betul?
Nah disinilah poin pentingnya. Kenapa belakangan semakin banyak produk yang membubuhkan label syar’i nan halal dan menggunakan diksi serta narasi kesalehan justru semakin laku dan berkembang di masyarakat?
Modern dan Islami
Saya jadi ingat salah satu kawan baik saya. Dia ngedumel habis habis an karena produknya bersaing dengan produk baru yang muncul dengan memakai label kesalehan. Dia menganggap hal itu sangat konyol dan kontradiktif dalam agama. Masak agama diperjual belikan? Begitu katanya.
Well, bagi kita yang terus menerus menganggap hal ini sebagai sebuah bentuk yang kontradiktif, sepertinya kita juga perlu sejenak saja untuk membuka mata dan menerima realita hari ini di mana materialisme dan spiritualisme nyatanya juga bisa saling berhubungan. Bahkan semakin romantis.
Paling tidak hal ini tercermin dari maraknya brand brand ternama yang mengusung label relijiusitas tersebut. Ada odol halal, kulkas halal, wisata halal, kosmetik syar’i, dll. Tentu saja demand dari konsumen juga tinggi, buktinya produk produk itu kan masih survive malah cenderung laris manis.
Hal ini diramaikan juga dengan munculnya otoritas otoritas keagamaan baru yang populer di media sosial. Khususnya dengan kehadiran para influencer dakwah dan da’i populer yang muncul dalam ‘package’ tertentu dan cukup mempengaruhi bagaimana karakter masyarakat Muslim perkotaan belakangan ini.
Personal branding yang relijius, modern dan eye-catching karena selalu memakai brand brand ternama, akan semakin diburu para religious seeker dari kalangan Muslim perkotaan. Karena cita cita idealnya adalah bagaimana mereka tetap bisa hidup dalam kenyamanan (kelas, fasilitas dll) namun juga menjadi saleh.
Tentu saja bagi sebagian kalangan Muslim perkotaan ini kebanyakan tidak akan cocok dengan dawuh dawuh kyai NU misalnya, atau ustadz ustadz langgar di kampung saya yang menekankan untuk hidup sewajarnya, sederhana dan tidak berlebihan.
La gimana mau cocok, mereka ini lahir dari kelompok kelas menengah yang terbiasa hidup dengan fasilitas nan nyaman dan menganut gaya hidup modern. Di lain hal, mereka juga menginginkan untuk menjadi Muslim yang saleh nan taat sebagai bentuk pencarian nilai nilai spiritualitas.
Jadi mau ga mau kelompok ini akan mencari figur lain yang sejalan dengan gaya hidup mereka. Yang modern sekaligus islami. Kalau bisa menyandingkan keduanya, kenapa tidak?
Teologi Kemakmuran
Jika dulu saya menganggap bahwa seorang da’i atau ustadz seringkali mencerminkan kehidupan nan sederhana dan menekankan nilai nilai spiritualisme, namun hal ini sangat berbeda dengan ustad seleb dan para influencer dakwah saat ini, meskipun tentu saja tidak semua.
Coba saja tengok beberapa akun influencer dakwah dan ustadz seleb di platform instagram. Kita disuguhi quote quote dan juga dalil keagamaan yang diramu sedemikian rupa dengan tampilan kehidupan modern yang berkelas dan mewah.
Teks teks keagamaan yang biasanya diambil dari alquran dan hadis ditafsirkan sendiri dan dijadikan justifikasi untuk menguatkan aktivitas dan gaya hidupnya yang modern.
Bahkan tak jarang seorang ustadz seleb atau para influencer dakwah memposting perjalanan dakwahnya dengan menggunakan fasilitas moncer macam motor gede mewah atau mobil merk ternama nan mentereng.
Paling tidak, hari ini kita sudah tidak lagi terkejut dengan fenomena kehidupan modern yang menyatu dengan agama. Dan kita tak lagi menganggapnya sebagai antitesa dari pesan utama spiritualisme agama.
Kita melihatnya sebagai suatu ekspresi keberagaman kelompok Muslim urban yang berbeda dengan cara beragama masyarakat pinggiran. Yah meskipun saat ini budaya populer ini juga mulai mempengaruhi kelompok kelompok masyarakat di wilayah pinggiran.
Maka tak heran jika kemudian di berbagai pengajian yang diadakan oleh beberapa pegiat dakwah, agenda dan juga kegiatan berjejaring dalam bisnis menjadi satu paket yang ditawarkan. Karena mayoritas konsumennya adalah kelas menengah, acaranya pun dilaksanakan di hotel hotel berbintang atau hall hall ternama yang luxurious.
Dengan pesan utama yaitu untuk menjadi kaya. Kekayaan ini membuat seorang dapat bersedekah sebanyak banyaknya agar dilimpahkan rezekinya dengan takaran yang berlipat lipat. Tak heran jika event event ini menjadi daya tarik yang sangat memikat bagi beberapa masyarakat Muslim.
Ustadz ustadz populer tersebut tak lagi memberikan wejangan bagaimana menjalani kehidupan dengan secukupnya dan sederhana. Namun sebaliknya, mereka memberikan suntikan semangat kepada jamaahnya bagaimana menjadi kaya. Dan seberapa banyak nominal sedekah yang mereka bisa jamaah berikan.
Teologi kemakmuran inilah yang menjadi warna baru dalam model dakwah akhir akhir ini. Terlebih dengan semakin berkembang pesatnya sosial media yang menjadi jalan mulus untuk dapat dengan mudah membranding dan terus mewacanakan bahwa menjadi Muslim hari ini haruslah kaya.
“Karena dengan kepemilikan materi akan mudah membantu saudara saudara Muslim lainnya, dan semakin membuka peluang untuk dapat bersaing dengan kelompok masyarakat lain dalam bidang ekonomi”. Begitu kira kira ungkapan salah satu ustadz seleb yang saya sarikan dari ceramahnya di beberapa platform media sosial.
Jika menjadi Muslim haruslah kaya, maka simbol dan juga figur sentral dalam kajian muslimah yang juga kerapkali dipakai adalah dengan mengangkat figur Khadijah.
Sayyidah Khadijah menjadi prototype muslimah hari ini yang kerapkali digambarkan sebagai pebisnis Muslimah ulung dan pedagang yang kaya.
Seperti sebuah pamflet yang baru saja saya lihat di salah satu akun kajian muslimah populer di Jogja tentang bagaimana menjadi muslimah pebisnis nan kaya, yang berbunyi,
“Yuk ukh, Khadijah-kan dirimu. Tips menaikkan omzet bagi pebisnis pemula. Akhwat only “…
**
Leave a Reply