,

Menjadi Perempuan Pekerja, Apakah Bukti Tidak Salihah?

/
/

Menjadi Perempuan Pekerja, Apakah Bukti Tidak Salihah?

Neswa.id-Bagi kebanyakan perempuan mungkin tidak asing dengan unggahan bertuliskan, “Setinggi apapun pendidikan perempuan karir terbaiknya adalah diam di rumah, bayaran termahalnya adalah ridho suami, dan prestasi terbesarnya adalah ketika mampu mencetak anak yang salih dan salihah.” Saya sering melihat unggahan tersebut berseliweran di berbagai sosial media. Bagi saya, ajakan untuk perempuan tetap diam di rumah sebagai karir terbaiknya adalah hal yang tidak rasional sama sekali. Bahkan terkesan memenjarakan perempuan sebagai manusia,

Sayangnya, tidak hanya satu atau dua akun di facebook, twitter dan instagram. Tetapi, banyak sekali akun yang bernuansa islami di media sosial yang mengunggah tulisan-tulisan mengenai perempuan muslimah lebih baik di rumah, karena menganggap surganya seorang istri itu terletak pada suaminya. Jika kita menelaah anggapan seperti itu, apakah benar ajaran Islam justru merumahkan dan membatasi ruang gerak  perempuan?

Sebagai contoh, seorang ummul mukminin yaitu Sayyidah Khodijah Al-Kubro. Sebelum menikah dengan Rasulullah, ia merupakan saudagar yang kaya. Sayyidah Khodijah merupakan sosok perempuan yang berdaya. Ketika menjadi seorang istri Rasulullah pun ia sangat setia dan merelakan seluruh hartanya untuk keperrluan dakwah Islam.

Masa kini, banyak sekali perempuan yang seperti Sayyidah Khodijah yaitu menjadi perempuan pekerja dan berdaya. Dalam ajaran Islam sendiri, perempuan sangat dihargai dalam berbagai perannya. Ketika melihat kemandirian dan kehebatan Sayyidah Khodijah, anggapan bahwa satu-satunya karir terbaik perempuan adalah berdiam diri di rumah sangat keliru.

Saya seorang perempuan yang hidup di keluarga dengan mayoritas saudara perempuan. Perempuan di keluarga saya hampir semuanya selain menjadi ibu rumah tangga, mereka juga bekerja dengan berbagai macam profesi. Misalnya, ibu saya seorang pedagang sembako, nenek saya seorang pedagang obat sawah, lalu bibi saya selain menjadi petugas kesehatan beliau juga berdagang apa saja di rumahnya seperti beras dan lain-lainnya.

Dalam ruang lingkup keluarga, Ibu saya menjadi teladan bagi anak perempuannya. Ia menjadi Ibu rumah tangga sekaligus bekerja membantu bapak di Toko. Ibu mengatur keungan dan keperluan-keperluan di Toko. Selain itu, terkadang bapak juga sering menggantikan ibu melaksanakan tugas di rumah seperti menyapu, mencuci piring sampai memasak nasi. Keduanya saling bekerja sama dalam mengurus rumah tangga dan pekerjaan.

Saya juga tinggal di daerah agraris yang mana pekerjaan umum setiap keluarga adalah bertani dan bercocok tanam. Pada musim panen, banyak para petani perempuan ikut bekerja dengan suaminya mengarit padi di Sawah. Bagi kebanyakan masyarakat desa,  perempuan bekerja untuk membantu suaminya karena mereka hidup dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil.

Beberapa kelompok, menyatakan bahwa seorang perempuan muslimah yang salihah adalah perempuan yang berdiam diri di rumah. Pernyataan yang digaungkan oleh kelompok tersebut tidak relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Realitanya, perempuan yang saya lihat di masyarakat bertolak belakang dengan unggahan dan pernyataan tersebut. Perempuan yang memilih bekerja bukan berarti ia tidak salihah, sebaliknya ia adalah muslimah yang shalihah yang bisa memberikan kemaslahatan bagi suami maupun keluarganya.

Persoalan yang terjadi dalam rumah tangga bukan hanya soal siapa yang wajib memberi nafkah, mendidik anak-anak, sampai mengurus rumah. Karena pada kenyataanya, banyak kondisi yang menyebabkan perempuan dan laki-laki harus bekerja sama dan saling membantu satu sama lain. Dalam masalah menafkahi kelurga tidak seharusnya dibebankan hanya kepada laki-laki, begitu juga dalam hal mendidik anak dan mengurus rumah bukan hanya beban dan tugas perempuan. Keduanya bertanggung jawab dalam menciptakan rumah tangga yang mubadalah.

Pada sejarah Islam, banyak menceritakan para perempuan dari kalangan istri dan sahabat Nabi Muhammad yang bekerja dan melakukan banyak kebaikan. Dalam buku 60 Hadis Hak-hak Perempuan Dalam Islam yang ditulis oleh Dr. Faqihhudin Abdul Qadir, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya (no. Hadis 4051 dan 4055), Imam Bukhari dalam Shahihnya (no. Hadis: 2361) dan ImamAhmad dalam Musnadnya (no. Hadis: 12690, 13593, 13757, dan 28005), Rasulullah pernah memasuki kebun kurma milik seorang perempuan muslim yaitu Ummu Mubasyir ra. Kemudian Rasulullah bersabda, “Tidak sekali-kali seorang muslim menanam benih, atau bercocok tanam, kemudian hasilnya dimakan manusia, binatang, atau apapun, kecuali ia akan mendapatkan pahala.

Oleh karena itu, tercatat dalam hadis di atas kebolehan perempuan melakukan aktivitas ekonomi seperti bekerja, bertani, berkebun dan lain sebagainya, dengan tujuan untuk mencari nafkah bagi dirinya dan keluarganya. Sudah seharusnya, perempuan bisa memilih peran yang ia inginkan. Perempuan mempunyai hak untuk mendapatkan pengetahuan, berpendidikan, bekerja maupun melakukan kegiatan-kegiatan yang baik lagi bermanfaat. Dengan begitu, dukungan dari pasangan, keluarga dan lingkungan terdekatnya pun sangat penting bagi perempuan. (IM)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *