Oh, Empu Gandring, telah engkau buatkan Ken Arok sebilah keris untuk membunuh Tunggul Ametung. Bisakah kau buatkan aku sebilah pusaka yang bisa membunuh kenangan?
Kalimat pembuka tulisan di atas adalah kalimat penutup dari novel yang berkisah tentang keris; benda pusaka yang dipakai oleh penulisnya untuk mengikat keseluruhan isi novel yang berjudul Wigati; Lintang Manik Woro. Buku ini adalah novel kedua Khilma Anis setelah Jadilah Purnamaku, Ning yang terbit bertahun silam. Mengambil latar tak jauh beda dengan novel pertamanya, kali ini Khilma meramu kembali kehidupan di dunia pesantren salaf dengan lebih intim, subtil, dan mengesan kuat.
Ada tiga tokoh utama dalam novel ini; Wigati, Manik, dan Hidayat Jati. Memakai gaya penuturan si aku tokoh Manik [nama panggilan Lintang Manik Woro], jalan cerita beralur maju. Wigati menjadi pusat dari “ketiga tokoh utama” dan struktur terpenting dari seluruh rangkaian cerita.
“Wigati”, dalam bahasa Jawa bermakna “penting”, “membutuhkan perhatian yang sangat”, dan pada ihwal tertentu kadang dimaknai “genting”. Bisa jadi pemilihan istilah Jawa menjadi nama tokoh sekaligus judul dari novel ini memiliki alasan khusus karena memang “ada sesuatu yang penting” hendak disampaikan penulis. Tokoh ini terkesan penting sebagai pribadi sehingga sang penulis memerlukan ‘orang lain’ untuk mengisahkannya, yakni Manik, sahabat Wigati di pesantren. Manik adalah narator utama meski bukan satu-satunya pembentuk “bangunan penting” seorang Wigati menjadi sangat utuh dan menarik. Manik sendiri adalah penggemar khasanah Jawa yang direpresentasikan oleh minat besarnya terhadap cerita tentang babad tanah jawi, wayang, dan keris pusaka. Alih-alih sebagai santri remaja perempuan jaman kiwari follower Drama Korea, K-POP, gadgetarian, TikTok, atau instastory-an, Manik justru berselera tinggi terhadap budaya Jawa nankolosal itu. Pilihan mondok di pesantren salaf menyuburkan animonya. Lazim diketahui, pesantren salaf lebih dekat dengan tradisi Jawa. Sistem pendidikan mengambil khasanah klasik dari kitab dan ulama salaf, sehingga karakter yang muncul tak jauh dari pengaruh budaya Jawa yang ditransformasikan apik oleh para wali sembilan [Wali Songo] di tlatah Jawa. Menciptakan dialog budaya dengan penyebaran Islam awal di Indonesia. Hal demikian tampak pada kegiatan belajar di pesantren, menelaah kitab kuning melalui tulisan pegon [penulisan Arab yang terbaca bahasa Jawa]. Akan tetapi, Manik tidak belajar khasanah budaya Jawa di pesantren itu secara khusus. Ia membawanya dari tempat asal leluhurnya di Pringgolayan Kotagede.
Adalah sebuah kebetulan belaka, di pesantren DARIS Mojokerto, demikian latar novel ini, Manik bertemu dengan Wigati yang di kemudian hari membawa Manik angslup ke dalam petualangan seru hingga ke paragraf terakhir novel. Lembar pertama novel langsung dibuka dengan blak-blakan siapa Wigati. Sosok misterius, tidak gaul, tidak punya teman, wingit, dan jadug [dalam dunia pesantren, istilah ini jamak dikenal sebagai sebuah kekuatan lebih yang dimiliki tidak sembarang orang, diyakini mampu menyembuhkan penyakit atau orang-orang yang kerasukan makhluk gaib (kesurupan)]. Kisah persahabatannya dengan Manik terjadi secara tidak terduga lantaran Hidayat Jati, seorang tamu dari ruang masa lalu Wigati, datang ke pesantren menyerahkan keris Nyai Cundrik Arum, sebuah keris kecil, keris patrem warisan eyang putri Wigati dari pihak ibu. Wigati tidak mau menemui sang tamu dan meminta Manik yang menemuinya. Lembar cerita berikutnya dilanjutkan oleh ketiga tokoh ini. Menyusuri liku-liku perjalanan ‘menyelesaikan misi khusus’ mempertemukan keris itu dengan pasangannya; keris Kyai Rajamala. Kedua keris ini sengaja dipilih oleh Khilma Anis untuk menjadi ‘tangan takdir’ amat manis yang menautkan misteri masa lalu Wigati dengan masa depannya.
Perjumpaan Kiai dan Empu
Titik awal yang memantik minat baca saya terhadap novel Khilma Anis ini adalah perjumpaan pesantren dengan keris pusaka. Meminjam kacamata hari ini, barangkali akan menyorot ini sebagai barang langka, kalau tak boleh dibilang aneh. Keris pusaka adalah benda keramat [dikeramatkan] oleh kalangan tertentu terutama dalam tradisi masyarakat Jawa yang dilekatkan dengan kalangan keraton, kaum ‘abangan’, dan kejawen yang dalam proses pembuatan sekaligus perawatannya melalui serangkaian prasyarat khusus yang tak selaras [kontraproduktif malah] dengan khasanah Islam yang dibawa pesantren. Nuansa pemilihan hari-hari tertentu seturut almanak Jawa, kembang, kemenyan, dupa, dan mantra tertentu membuat saya bertanya-tanya bagaimana bisa berjumpa dengan khasanah ketauhidan Islam di pesantren? Eh!
Jika menilik sejarah pesantren di Jawa akan ditemui kisah masyhur bahwa kiai-kiai jaman dulu banyak yang memiliki gaman [senjata] yang ditengarai keramat dan ampuh untuk menghalau musuh. Biji tasbih milik Kiai Abbas Buntet Cirebon selalu menjadi kisah populer turun-temurun di kalangan pesantren NU, yang konon mampu menembak jatuh pesawat Sekutu kala terjadi pertempuran 10 November Surabaya hanya dengan dilemparkan ke udara. Belum lagi bambu runcing Kiai Subkhi Parakan Temanggung yang juga dikenal sebagai gaman sakti. Melalui novel ini, Khilma Anis menampilkan sosok “Kiai Sepuh”, seorang pengasuh pesantren besar berpengaruh di Jawa Timur, yang ‘terobsesi’ oleh keris deder Rajamala dan meminta agar dibuatkan oleh seorang Empu [pembuat keris] kenamaan, Ki Suronggono [kakek Wigati]. Konon, keris itu bisa membuat pemiliknya tampak berwibawa dan menambah aura kuat pengaruhnya. Hal yang wigati [penting] terkait pengaruh kekuasaan subaltern bernama pesantren dalam misi dakwah Islam di tanah Jawa. Khilma Anis mengemas babagan keris pusaka ini dengan membabar sejarah pakeliran wayang, berikut kisah Perang Bubat antara Majapahit dan Pasundan, melalui dialog romantis antara Manik dan Hidayat Jati.
Nikah Sirri
Muara paling wigati dari novel ini sesungguhnya adalah perihal nikah sirri. Berawal dari peristiwa nikah sirri inilah cerita di dalam novel ini berkembang membalut misteri sekaligus tragedinya. Saya menangkap kesan kuat nuansa feminisme sengaja ditampilkan agak ‘halus’ oleh Khilma Anis, lantaran di beberapa kalangan isu ini masih sensitif. Adalah perihal yang tak baru sebenarnya kasus nikah sirri bergulir di dunia pesantren, apalagi pada sistem poligami. Namun yang menguak dalam novel ini adalah tragis, lantaran pernikahan sirri itu tidak diakui, termasuk anak yang dilahirkan darinya. Perempuan selalu menjadi pihak paling nelangsa sebagai korban. Termasuk Wigati, si anak perempuan hasil nikah sirri. Saya tidak punya cukup data untuk menyasar realitas di kalangan pesantren yang menopang nikah sirri yang tak diakui oleh kalangan dzurriyah ini. Tak hanya itu saja, di novel ini mengisahkan mudahnya pernikahan dini, antara ibu Wigati dan ayah kandungnya. Tak ada kesiapan mental material, selain semua ‘dibalut’ wilayah tafsir agama, stereotipe terhadap perempuan, serta kolotnya pemikiran orang tua.
Ada pertanyaan-pertanyaan yang berkesan dalam benak saya, tentang begitu kuatnya subaltern dalam menjaga bibit bebet bobot [nasab] darah biru dzurriyah (keluarga). Tentu saja ada banyak sebab mengitarinya, namun cengkraman patriarki itulah yang berandil besar menjatuhkan perempuan sebagai korban. Novel ini menguak getirnya masa lalu bernama nikah sirri, menghantui sepanjang hidup baik Wigati maupun ibunya, ditambah ‘beban’ atas perintah leluhur untuk menyatukan dua keris pusaka. Sebagai sosok santri remaja perempuan yang jadug, Wigati sejatinya pemurung bersebab masa lalunya itu. Jiwanya bergolak oleh dendam. Khilma Anis sengaja menyembunyikan Wigati dalam narasi utama Manik yang bergulung-gulung penuh asumsi menggemaskan.
Perempuan Pesantren Bicara tentang Perempuan Pesantren dalam Balutan Fiksi
Saya musti mengakui bahwa seluruh plot novel ini ‘dikuasai’ perempuan, terutama direpresentasikan oleh tokoh Manik yang haus ilmu pengetahuan sekaligus agresif saat mempresentasikan pengetahuannya. Ada naluri pemberontakan yang terekam kuat dalam pikiran-pikiran Manik, juga tindakannya menghadapi laki-laki yang diyakininya hanya menindas, lantaran hanya melihat dirinya semata material fisik yang bakalan menjadi properti. Manik secara blak-blakan mengatakan kepada Wigati bagaimana dia tidak bisa membayangkan dikeloni Kang Makhrus, laki-laki yang mencintainya namun tidak membuatnya bergairah. Ada terma relasi kuasa yang timpang dirasakan oleh Manik.
Manik adalah santri dan Kang Makhrus seorang ustadz berpengaruh. Maka Manik menggunakan kecerdikan akalnya bersiasat, untuk memaksa relasi itu menjadi seimbang. Kang Makhrus menggunakan pengaruhnya untuk ‘menguasai’ Manik melalui serangkaian alasan yang dirasionalisasi bahwa hubungan ustadz dan santrinya membolehkan mereka bertemu secara khusus di kantor madrasah diniyah, sementara Manik menggunakan ‘pesonanya’ untuk memanfaatkan Kang Makhrus agar membantu misinya, mempertemukan Manik dengan Hidayat Jati, laki-laki pujaannya.
Karya sastra genre novel yang mengisahkan tentang perempuan pesantren dan ditulis oleh perempuan pesantren sendiri, dalam jagad sastra Indonesia terhitung masih sedikit dibandingkan dengan sebaliknya. Perempuan pesantren seolah senyap dan membutuhkan mulut orang lain untuk bersuara. Apalagi novel yang bertema perempuan pesantren kaitannya dengan khasanah Jawa, saya tidak tahu adakah selain Khilma Anis ini yang pernah menuliskannya. Terlepas dari apapun motif dan tema, perempuan pesantren dalam balutan fiksi lebih gurih dan berdenyar jika ditulis oleh perempuan sendiri. Selalu ada perasan rasa begitu pekat yang sering kali hanya dipahami oleh perempuan. Isu-isu perempuan contohnya. Nikah sirri, poligami, relasi kuasa, dan kekerasan memiliki daya sengat lebih kuat jika disundut dari arah kacamata perempuan. Khilma Anis pintar menatanya dalam fiksi ini.
Wigati juga menyajikan sesuatu yang kurang populer di luar pesantren, yakni pengetahuan santri perempuan. Asumsi yang menjalar selama ini rata-rata adalah gambaran yang sunyi dari pesantren salaf yang dihuni santri perempuan. Mereka tak lepas dari stereotipe sebagai subordinat sebuah sistem yang lestari ratusan tahun. Pesantren salaf semata diasumsikan sebagai produsen calon istri, calon bu nyai masa depan yang saleha, tunduk, dan hangat di bawah patriarki tanpa ada ruang progresivitas yang berdaulat sebagai manusia. Wigati menghadirkan kisah lain. Aneka siasat memecahkan misteri, kritisnya pemikiran Manik akan ketimpangan gender dalam kasus nikah sirri, kritiknya terhadap patriarki yang ditopang mapan oleh dzurriyah, serta wawasan dan penghormatan terhadap khasanah Jawa adalah sekelumit yang mumbul dari novel ini. Wigati juga berani menyuguhkan ‘keterbukaan’ yang cukup romantis dan dewasa. Manik melalui narasinya sendiri tak malu-malu mengungkapkan ketertarikan dirinya sebagai ‘perempuan dewasa’ terhadap ‘laki-laki dewasa’. Menjalar dalam kalimat-kalimat yang tersusun mendebarkan. Hal yang saya rasa agak sulit terjadi di dalam matra patriarki dunia pesantren.
Akhirul kalam, novel ini diakhiri dengan limbungnya sosok Manik oleh asumsinya sendiri yang memerosokkan ke dalam lubang kemungkinan ‘takdir kedua’ dari tragisnya sebuah asmara yang harus kandas oleh ‘kuasa’ dzurriyah. Manik bersiap melompat ke jurang kenangan.
Dan Empu Gandring tak pernah tercatat dalam sejarah pernah berhasil membuat sebilah pusaka yang mampu menghunus kenangan; mematikan cinta dan ingatan!
—
*tulisan ini pernah dimuat di linimasa facebook penulis tahun 2017
Leave a Reply