Neswa.id-Perempuan itu mengernyitkan dahi kala tak sengaja menjumpai unggahan foto pernikahan koleganya. Mereka seusia, namun bedanya, yang satu telah mengayuh bahtera pernikahan, dan yang satu masih sibuk menggerutu sebab belum jua dipertemukan dengan sang pangeran berkuda. Lebih-lebih, di usia yang kata orang-orang ‘kritis’, perempuan itu justru harus berpisah dengan seorang yang selama bertahun-tahun ia yakini akan menjadi pasangan hidupnya. Kuping kanan dan kiri perempuan itu serasa disulut api ketika orang-orang bertanya kepadanya perihal misteri Ilahi tersebut. Ia pun tak jarang bergumam, “media sosial agaknya perlu menambahkan fitur dislike, agar dapat saya gunakan manakala menemui konten-konten bucin (budak cinta) pernikahan, hahaha”.
Perempuan itu sebetulnya tidak benar-benar membenci pernikahan atau orang-orang yang sudah menikah. Ia menyenangi topik maupun kisah-kisah pernikahan yang ia peroleh dari orang-orang terdekat atau yang berseliweran di jagat maya. Ia kerap berandai-andai dan memimpikan hal serupa, serta percaya bahwa pernikahan juga akan menjadi takdirnya. Namun demikian, ia seperti dibentur realita hingga mendekati usia kepala tiga, hilal pernikahan tak kunjung terlihat. Keluarga, sahabat, serta sejawatnya mulai panik memikirkan nasib perempuan itu, yang tentu saja menurut konstruksi sosial, tak lazim perempuan seumurannya belum melenggang ke pelaminan. Kepanikan orang-orang di sekitarnya ia yakini sebagai doa baik, yang akan terwujud entah kapan nanti.
Kendati begitu, perempuan itu kemudian merasa bahwa tekanan tidak lagi bersumber hanya dari orang-orang terdekatnya, melainkan juga dari orang-orang yang nun jauh di sana, yang bahkan ia tak kenal di media sosial. Lantas, bagaimana sebetulnya pernikahan sebaiknya dimaknai, dan bagaimana fenomena ini direfleksikan dengan teori komunikasi?
Menikah Itu Kesadaran
Tulisan ini bukanlah tulisan yang hendak menggurui, lantaran terdapat diksi ‘teori’ yang acapkali dipandang serius dan membosankan. Akan tetapi, teori yang akan diusung di sini kiranya mampu menjadi bahan refleksi, khususnya dalam memahami tiga aspek yang saling berkelindan yakni perempuan, usia, dan pernikahan. Dalam kurun waktu yang tidak sebentar, pernikahan telah diposisikan sebagai sesuatu yang esensial dan sakral dalam masyarakat Indonesia. Beragam faktor telah menjadikannya kultur, bahwa pernikahan adalah momen krusial terutama ketika menginjak usia 20-an ke atas.
Pemahaman ini telah terinternalisasi secara turun menurun, diamini, serta dipraktikkan oleh sebagian besar orang. Tak khayal jika orang tua atau saudara mulai mempertanyakan apabila di usia 20-an belum memperkenalkan calon pasangan, terlebih bagi perempuan yang kerap dilekati dengan stigma kurang menyenangkan. Fenomena ini bisa dipahami melalui apa yang disampaikan oleh George Herbert Mead tentang interaksionisme simbolik, dimana orang-orang cenderung bertindak sesuai dengan simbol atau tatanan sosial yang terus direproduksi.
Seringkali orang-orang mengasosiasikan perempuan dan usianya dengan pernikahan, maka tak heran setiap momen lebaran, jamak pertanyaan muncul, “kapan menikah?”. Seringkali pula sebelum lebaran, perempuan sudah menyiapkan serangkaian jawaban guna mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan soal pernikahan. Pertanyaan yang bertubi-tubi ditujukan kepadanya lambat laun dapat membuat perempuan merasa telah menyalahi aturan, sehingga membuat ia gusar.
Namun kabar baiknya, perspektif ini juga menyebutkan bahwa individu mempunyai kendali atas aturan atau kultur tersebut. Pertama-tama, pertanyaan yang dilontarkan oleh orang-orang terdekat mungkin saja karena proses sosial yang terlampau mengakar yaitu perempuan dan usianya sering dikaitkan dengan pernikahan.
Perempuan mempunyai kesempatan untuk menegosiasikannya melalui interaksi sosial agar tumbuh pengertian bahwasannya pernikahan tidak sesederhana membalikkan telapak tangan. Secara sederhana, perempuan dapat memitigasi pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menjelaskan dan mengkomunikasikan kondisinya agar sudut pandang orang-orang terdekatnya dapat berubah. Sebab pada dasarnya pernikahan itu adalah sekumpulan kesadaran; menyadari siap atau tidaknya diri untuk melangkah ke pernikahan, menyadari waktu yang tepat untuk menikah, menyadari pernikahan berisikan suka dan bisa juga duka, menyadari pernikahan adalah tanggung jawab yang besar, termasuk juga menyadari bahwa menikah semestinya bukan karena distraksi dari pertanyaan orang-orang sekitar yang mana pertanyaan tersebut hanyalah luaran konstruksi sosial, melainkan karena keinginan dan keyakinan diri sendiri.
Penulis memahami bahwa pergulatan melawan konstruksi serta struktur sosial ini tidaklah mudah, karena sifatnya sistemik. Namun demikian yang ingin ditekankan disini ialah pertanyaan, dorongan, maupun tekanan pernikahan tidak sedikitpun mengurangi keberhargaan seorang perempuan. Dalam situasi yang cenderung memojokkan, perempuan memiliki celah untuk mengurai serta mengubah keadaan tersebut dengan mengkomunikasikan kondisi dan pengalamannya.
Menikah Tak Selayaknya Bumbu-bumbu Media
Kekhawatiran berlarut-larut soal pernikahan bisa dipicu pula oleh adanya media yang terus membombardir perempuan dengan konten-konten pernikahan. Bila ditelisik menggunakan pendekatan kajian budaya (cultural studies), konten pernikahan ini kadang kala bukannya informatif, tetapi justru menjadi representasi dari suara dominan. Tidak jarang, suara tersebut menyudutkan perempuan sebagai kelompok minoritas.
Media yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi audiensnya ini kemudian turut melanggengkan anggapan bahwa perempuan seharusnya menikah, terlebih jika sudah memasuki kepala tiga. Stigma yang menggambarkan perempuan bak barang seperti, “kadaluwarsa”, “tidak laku”, dan seterusnya dikemas dalam produk-produk media yang membuat perempuan semakin risau. Keinginan menikah tidak lagi lahir dari dalam diri, melainkan dari media yang berlagak mewakili keresahan seluruh perempuan.
Namun demikian, dominasi ini bisa dilawan seperti yang disampaikan oleh Stuart Hall dalam konsep audience decoding-nya. Secara singkat, konsep ini menyebutkan bahwa audiens dapat memproses pesan media berbeda dari yang dimaksudkan oleh media itu sendiri. Dengan kata lain, audiens tidak serta merta menyetujui bahwa yang disampaikan media adalah mutlak benar, tetapi audiens juga menyandingkan konten dengan pengalamannya. Jika disuguhi konten-konten pernikahan yang kurang realistis serta tidak inklusif, perempuan tidak perlu menelan mentah-mentah apa yang disampaikan oleh media tersebut.
Sadarilah bahwa yang disajikan media tidak perlu diserap begitu dalam, karena tentu saja media tidak akan menceritakan keunikan tiap perempuan yang bagi media tidak semua memiliki nilai jual. Media sejatinya tidak merangkul pengalaman semua perempuan. Gemerlap pernikahan yang ditampilkan media tidak diikuti dengan cerita mengenai proses panjang bagaimana akhirnya pernikahan terlaksana, oleh karena itu gambaran pernikahan tidak dapat diperoleh secara utuh.
Media juga sarat dengan framing, atau menampilkan informasi hanya sepenggal-sepenggal. Di era media digital, orang-orang juga akan cenderung membagikan momen-momen bahagia kepada khalayak, bukan momen saat mereka terpuruk. Momen-momen berat dalam pernikahan jarang mendapatkan tempat di media. Tak perlu berkecil hati jika melihat kolega mengunggah foto atau video pernikahannya, karena mungkin sebelum menapaki tahap tersebut, ia telah dihadapkan dengan jatuh bangun dan pahitnya percintaan. Hanya saja masyarakat kita tidak terbiasa merayakan kesedihan, khususnya di ruang publik.
Selain itu, tidak perlu terburu-buru menikah karena unggahan teman, sebab seperti yang disampaikan Erving Goffman tentang dramaturgi, bahwa media ibarat panggung sandiwara, berisikan individu maupun kelompok yang ingin menampilkan sisi-sisi terbaiknya.
Jadi Menikah atau Tidak?
Kata orang-orang, menikah itu ibadah terpanjang, bahkan seumur hidup. Jika demikian, maka pertimbangan menikah hendaknya juga tidak singkat, dan perlu dipikirkan masak-masak. Soal menikah atau tidak, belum atau sudah, adalah kembali pada keputusan perempuan, sebab perempuan lah yang paling mengenal dirinya. Menginjak usia 30 dan belum menikah bagi perempuan kerap menjadi genre horor kehidupan. Orang-orang mulai mendefinisikan hidup perempuan berdasarkan apa yang umum di masyarakat serta menyamaratakan kondisinya, padahal tiap perempuan memiliki pengalaman khas masing-masing.
Tindak tanduk orang lain tidak bisa dikontrol, sehingga perempuan sebaiknya fokus pada apa yang bisa ia lakukan. Berkaca dari paparan di atas, sadarilah bahwa pertanyaan maupun keluhan orang-orang akan status lajang perempuan di usia kepala tiga tidak berarti apa-apa. Perempuan adalah pemegang kendali penuh atas keputusan-keputusan penting di hidupnya.
Anggap saja pertanyaan, ungkapan, celotehan soal pernikahan sebagai doa yang senantiasa mengalir agar segera dipertemukan dengan jodoh terbaik. Begitu juga saat menjumpai konten-konten di media tentang pernikahan, anggap sebagai proses belajar sebelum benar-benar sampai ke jenjang pernikahan. Usia 30 tahun dan belum menikah, perempuan tetaplah berharga. (IM)
Leave a Reply