Neswa.id-Indonesia merupakan negara majemuk. Penduduknya yang berjumlah sekitar 275 juta memiliki latar belakang agama yang berbeda. Adapun agama yang diakui adalah enam; Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Semuanya memiliki aturan dan etika masing-masing. Berbeda agama berbeda pula prinsip dan hukum-hukumnya. Namun demikian, perihal kemanusiaan, seluruhnya sepakat harus dijaga kerukunannya. Di Indonesia pun begitu, dalam bersosial tak jarang satu orang membutuhkan bantuan orang lain. Misal, dalam acara atau hajatan pribadi mengundang para tetangga dan masyarakat sekitar.
Sampai di sini soal menghormati sudah selesai. Namun menjadi masalah ketika dalam jamuan itu terdapat makanan atau minuman yang haram dimakan oleh penganut agama lain. Katakanlah babi, dalam agama Islam haram mengonsumsi babi, apakah lantas seorang muslim tidak menghadiri undangan yang jamuannya adalah babi?
Dr. Yusuf Qardlawi dalam hal ini berkomentar, jika di Negara Islam (bilād al-muslimīn) maka syariat melarangnya. Tapi di selain negara itu tidak masalah, karena makanan dan minuman semacam itu (babi dan khamar) ada dimana-mana, maka yang patut di warning adalah penganut agama masing-masing. Seorang muslim haram mengonsumsi semua makanan dan minuman yang diharamkan dalam agama Islam. Maka titik tekannya adalah pengendalian diri bukan pada pembatasan sikap toleransi pada umat agama lain. Mengutip 9 nilai Gus Dur yakni: ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesatriaan, kearifan tradisi, menyadarkan kita pada satu kesimpulan bahwa negara kita bukanlah negara yang dihuni umat Islam saja. Nusantara yang kita tempati adalah tempat bersama dengan ummat agama lain. Oleh karena itu, bersosial di negara ini tidak bisa memakai satu lensa agama saja, melainkan harus melirik lensa agama lain selama itu tidak mengganggu atau merusak pondasi agama sendiri. Nilai terpenting sekaligus menjadi dasar adalah ketauhidan.
Imam Nawawi, dalam sebuah kitab kompilasi hadis al-Arba’īn an-Nawawī ada satu hadis yang menurut saya subtantif sekali, التقوى ها هنا يُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ Takwa itu di sini, ia (Nabi Muhammad) menunjuk ke dadanya tiga kali. Bahwa keyakinan, ketakwaan dan iman adalah urusan batin. Sedangkan lahiriah adalah salah satu manifestasi batin, hanya salah satunya. Hal ini bisa jadi senada dengan keadaan batin, ataupun kontradiktif dan disahkan dalam syariat Islam.
Seorang muslim, yang memakai atribut kemusliman seperti peci, gamis, sorban dan semacamnya – yang kerap dijadikan tanda kesalihan, dan anda meyakini syahadat yang anda baca, maka saat itu lahir dan batin anda –secara adat- sedang singkron, senada. Jika seorang muslim mengenakan jubah kuning kasaya, pakaian biksu Budha, itu juga tidak masalah. Asal dada (hati) tetap ada iman pada agama Islam yang kuat. bahkan Gus Dur saat jadi presiden RI menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional di Indonesia dengan menerbitkan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000.
Gus Dur memberikan hak beribadah pada penganut agama Konghucu dengan terang-terangan. Setelah 33 tahun masyarakat Tionghoa merayakan hari rayanya secara tertutup. dan akhirnya mereka menjalankan ritual kebudayaannya secara terbuka. Dan Gus Dur hadir sebagai tamu kehormatan di acara tersebut. Ia menilai bahwa segi kemanusiaan lebih pantas didahulukan. Bukan berarti abai pada formalistis kaidah fikih dan kaidah-kaidah keagamaan. Jika ada yang berkata bahwa Nabi Muhammad memerangi kaum kafir Quraisy karena ketidakimanannya pada Islam, sepertinya ada sejarah yang luput dari ingatannya.
Setidaknya ada tiga alasan sejarah yang melatarbelakangi statement saya. Pertama, setelah Nabi menerima risalah kenabian ia tidak serta merta diperintah menyebarkan dan menyeru penduduk Makkah, melainkan dengan sembunyi-sembunyi, ini untuk menghormati iklim sosial penduduk yang sudah ada sejak dahulu. Jauh sebelum itu (sebelum menerima risalah kenabian, ia membangun kepercayaan dan wibawa dengan sifat jujur dan mempersatukan pemimpin-pemimpin Makkah saat pemindahan Hajar Aswad serta dinilai memiliki kelihaian menajemen konflik masyarakat.
Kedua, dalam Al-quran jelas disebutkan, Nabi Muhammad diutus untuk menjadi rahmat (kasih sayang) untuk seluruh alam. Bukan mengasihi hanya pada umat Islam, melainkan umat agama lain dan lingkungan sekitar. Ketiga, tidak ada peperangan dengan siapapun kecuali dengan tujuan membentengi diri dan umat muslim lainnya. Semua peperangan adalah sikap timbal balik bukan semata permulaan. Maka tidak etis absen dari menghadiri undangan non-muslim karena alasan status agamanya, padahal kita yang justru dituntut untuk memperkuat iman kita sendiri.
Sekian. Wallahu a’lam (IM)
Leave a Reply