,

Menggugat Superioritas Laki-laki dalam Tafsir Surah An-Nisa:34

/
/


Neswa.id- Di pesantren, semua kajian ilmu agama berdasarkan kitab klasik diajarkan kepada santri. Sayangnya, salah satu nilai yang sampai saat ini mengakar di pesantren adalah tafsir yang mengandung nilai-nilai patriarki di dalamnya terus diajarkan. Argumen ini bisa dilihat dalam kajian perihal seorang istri yang tidak boleh keluar tanpa izin suami, bahkan jika ada keperluan mendesak. Selain itu, suami dianggap berhak menghukum istri jika melanggar perintahnya, dengan merujuk pada konsep nusyuz dalam ajaran Al-Quran. Bahkan, dalam beberapa tradisi Jawa, perempuan seringkali diidentifikasi sebagai “Konco Wingking” (teman belakang), membatasi peran mereka dalam tiga bidang: dapur, kasur, dan sumur. Dimana dapur diinterpretasikan memasak, kasur: melayani kebutuhan biologi suaminya, dan sumur: bagian mencuci baju keluarga. Pandangan semacam ini secara tidak langsung dapat mereduksi hak asasi perempuan sebagai manusia.

Tidak hanya di lingkungan pesantren tradisional, tetapi juga di kalangan ulama-ulama klasik, banyak penjelasan yang mendukung tradisi patriarki. Namun, di sisi lain, gerakan feminisme menunjukkan usaha untuk menyuarakan kesetaraan peran perempuan dan laki-laki, baik dalam ranah domestik maupun publik, dengan upaya untuk menggoyahkan pemahaman patriarki yang telah lama mengakar.

Dalam menyikapi isu kesetaraan gender, banyak penjelasan yang dapat ditemukan dalam khazanah klasik Islam, termasuk ayat-ayat Al-Quran dan Hadis. Namun, penulis mencoba menelaah dan menginterpretasikan satu ayat Al-Quran tertentu, yaitu Q.S. An-Nisa ayat 34, dengan merinci asbabun nuzulnya.

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍۢ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّـٰلِحَـٰتُ قَـٰنِتَـٰتٌ حَـٰفِظَـٰتٌۭ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّـٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّۭا كَبِيرًۭا

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul ayat tersebut, melalui periwayatan Ibnu Abi Harim dari Hasan menceritakan bahwa turunnya ayat tersebut terkait dengan keluhan seorang perempuan kepada Rasulullah atas perilaku kasar suaminya. Rasulullah awalnya memberi izin pada perempuan tersebut untuk membalas perbuatan suaminya, namun kemudian ayat tersebut diturunkan oleh Allah sebagai pedoman dalam menangani situasi semacam itu.

Pandangan Pro-Patriarki dan Pro-Kesetaraan Gender

Teks kemudian memaparkan dua interpretasi pro-patriarki dan pro-kesetaraan gender terhadap ayat tersebut.  Interpretasi pro-patriarki dalam penjelasan tafsir Ibnu Katsir menyoroti lafal “Ar-Rijalu Qowwamuna ‘ala An-nisa” yang diartikan sebagai pemimpin atau pengurus bagi perempuan. Pemimpin dalam hal ini dijelaskan sebagai sosok yang memiliki hak untuk menguasai dan mendidik perempuan jika diperlukan. Penjelasan ini memperkuat gagasan bahwa laki-laki memiliki keutamaan atas perempuan. At-Thabari menjelaskan bahwa ayat “ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ” menunjukkan peran laki-laki sebagai pemimpin dan pembimbing bagi istri-istri mereka sesuai perintah Allah.

Menurut At-Thabari, laki-laki memiliki tanggung jawab memberikan mahar dan nafkah kepada istri sebagai bentuk kelebihan yang diberikan Allah. Dalam konteks ini, kelebihan laki-laki atas perempuan terlihat dari pemberian mahar dan tanggung jawab memberikan nafkah. Keafdhalan suami atas istri dipahami dari kepemilikan suami terhadap kewajiban tersebut, menciptakan dinamika dalam hubungan suami-istri.

Di sisi lain, interpretasi pro-kesetaraan gender yang dikatakan Al-Hibri, menyoroti makna kata “qowwamuna” sebagai pembimbing dan penyayang, tanpa menekankan superioritas satu gender atas yang lain. Konsep faddala (keutamaan) dianggap sebagai perbedaan yang dapat diterima, bukan sebagai indikator superioritas laki-laki.

Pemahaman Secara Kontekstual

Dalam melihat konteks tafsir di atas, penulis mencoba merangkai interpretasi yang ada. Beberapa pemikir menekankan bahwa penafsiran tidak hanya dapat berdasarkan teks semata, tetapi juga memperhitungkan asbabun nuzul atau situasi ketika ayat diturunkan. Asghar Ali Engineer, seorang pemikir, berpendapat bahwa konteks sosial yang dinamis harus diperhitungkan. Penekanan pada peran laki-laki sebagai pemimpin dan pengawas perempuan dapat dianggap tidak relevan dalam situasi sosial modern, di mana banyak perempuan yang bekerja dan banyak laki-laki yang terlibat dalam pekerjaan rumah tangga.

Engineer juga menekankan bahwa Islam memberikan hak kepada perempuan, dan kesetaraan gender bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan, melainkan dapat didiskusikan melalui musyawarah dalam keluarga. Tujuan Islam dalam pernikahan diartikan sebagai menciptakan harmoni antar anggota keluarga, dengan saling membantu antara suami dan istri.

Dengan menyusun ulang teks dan merinci berbagai sudut pandang, diharapkan pembaca dapat lebih mudah memahami kompleksitas isu kesetaraan gender dalam konteks agama Islam. Kesetaraan gender menjadi semakin relevan dalam menghadapi perubahan sosial dan tuntutan masyarakat modern. (IM)


Aditya Firmansyah Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *