“Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptaNya.” KH. Abdurrahman Wahid
Neswa.id-Lebih dari satu dekade KH. Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur telah meninggalkan kita. Kendatipun demikian, ia tetap hidup dalam diri bangsa Indonesia melalui buah pikiran dan karya-karyanya. Hingga saat ini pemikiran Gus Dur tak lapuk diterpa hujan, dan tak lekang panas. Bahkan, semakin digandrungi oleh banyak kalangan. Bukan hanya di ruang-ruang akademisi, tetapi juga non-akademisi buah pikirannya banyak dibaca, dikaji dan dituliskan. Apalagi, di tengah kondisi bangsa yang kian mengkhawatirkan belakangan dengan beragam problematika di dalamnya.
Menarik, Gus Dur tak hanya fenomenal di kalangan umat Islam sendiri terutama di Nahdlatul Ulama (NU), tetapi juga di kalangan nonmuslim. Meskipun demikian, tidak sedikit juga yang menolak dan mengecam dikarenakan buah pikirannya yang seringkali dianggap kontroversial. Terlepas dari kekontroversialannya, hal yang pasti adalah Gus Dur merupakan sosok yang mempunyai keistimewaan tersendiri di hati masyarakat. Kuburannya yang tak pernah sepi dari peziarah saban waktu adalah wujud nyata keistimewaan itu. Bahkan, tak hanya diziarahi umat Islam, tetapi juga masyarakat dari berbagai kalangan dan agama.
Keistimewaan yang dimaksud, tentu saja, tidakk bisa dilepaskan dari julukan yang disematkan kepada Gus Dur, yaitu “Bapak Humanisme.” Seperti diketahui bersama, bahwa semasa hidup ia dikenal sebagai sosok yang sangat getol dalam memperjuangkan nasib the other (manusia lain). Bahkan, tidak tanggung-tanggung untuk mengorbankan dirinya demi kepentingan orang lain. Sebab, bagi Gus Dur, merawat dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan merupakan suatu keniscayaan guna melahirkan keharmonisan di antara umat manusia dan umat beragama. Sebaliknya, jika sampai rusak keharmonisan tersebut, akan sangat sulit untuk dipulihkan kembali.
Adalah wajar jika Gus Dur memiliki sikap toleransi yang sangat tinggi dalam dirinya, baik kepada sesama Muslim maupun penganut agama dan keyakinan yang berbeda. Meski memiliki sikap toleransi yang melampaui manusia pada umumnya, namun ia termasuk sosok yang tidak mengenal kompromi terhadap segala bentuk penindasan, diskriminasi dan tindakan yang dapat merugikan kelompok lain. Sebaliknya, Gus Dur, selalu berpihak terhadap kelompok minoritas dan termarginalkan. Bahkan, ia berada di garda terdepan dalam membela mereka.
Keberpihakan Gus Dur terhadap kelompok minoritas dan termarginalkan didasarkan atas ajaran Islam. Di mana Islam sebagai agama sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dengan memberikan status sosial sama, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya di sisi Allah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Alquran surat Al-Hujurat;
يَاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّ خَلَقْنَكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثَى وَجَعَلْنَكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ اَتْقَكُمْ اِنَّ اللَّهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ.
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti”. (QS. Al-Hujurat [49]: 13)
Bagi Gus Dur, lafaz “li ta’arafu” (saling mengenal) tidakk hanya bermakna mengetahui nama, alamat rumah, nomor telepon, atau mengenal dan mengetahui wajah serta bagian-bagian tubuh lain. Akan tetapi, “saling mengenal” ialah memahami kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, pikiran, hasrat-hasrat yang lain, yang berbeda, dan tidak sama. Bahkan, lebih dari itu, “li ta’arafu” berarti agar kalian saling menjadi arif terhadap the other, menjadi bijaksana dan renda hati. (Husein Muhammad, Sang Zahid Mengarungi Sufisme Gus Dur, hal 52)
Oleh karena itu, menurut Gus Dur, keberadaan the other harus dihormati dan dihargai. Sebab, semua manusia adalah sama yaitu sama-sama memiliki harkat dan martabat sebagaimana dirinya dan yang lain. Tidak peduli dari mana latar belakangnya, apa jenis kelamin mereka, warna kulit, suku, agama, ras dan kebangsaannya. Namun, menurutnya, sifat kemanusiaan itu tak hanya dihargai dan dihormati, tetapi juga harus diperjuangkan untuk memperoleh kesejahteraan hidup di tengah masyarakat. Ambillah contoh, ketika pengikut Ahmadiyah diusir dan masjid-masjid mereka dirobohkan, Gus Dur hadir bersama mereka. Begitu pula tatkala gereja-gereja dilempari batu, ia berteriak dengan lantang “jangan”.
Pembelaan Gus Dur itu merupakan wujud konkret dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaimana Tuhan menghormati dan mengasihi makhluk-Nya, Gus Dur pun juga ingin demikian. Namun, hal yang perlu dicatat, bukan berarti Gus Dur tidak paham bahwa ada yang keliru, tidak ia sepakati, dan salah dari mereka yang dibelanya. Tetapi, Gus Dur tetap membela dan menemani mereka. Gus membela tubuh mereka diserang dan dilukai hanya karena baju agamanya berwarna lain, dan kehormatan (kemanusiaan) mereka diinjak-injak. Padahal, mereka tidak melakukan apa-apa yang melanggar hukum.
Akhirnya, kita dapat memahami bahwa gagasan humanisme yang digulirkan Gus Dur tidak hanya berkutat pada tataran teori semata, tetapi juga dalam hal praksisnya. Dengan kata lain, Gus Dur memberi keteladanan langsung sekaligus protes terhadap seseorang yang gemar memasung hak-hak orang lain. Sungguh, sangat sulit mencari sosok seperti Gus Dur ini yang berjuang tanpa embel-embel apa-apa, kecuali demi kesejahteraan umat. Semoga, di bulan Desember (oleh beberapa kalangan, disebut juga bulan Gus Dur), kita mampu meneladani pemikiran dan melanjutkan perjuangannya. Wallahu A’lam (IM)
Leave a Reply