Al-Ghazali mempunyai nama lengkap Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi dekat dengan Masyhad Khurasan, pada tahun 450 H/1058 M. Pendidikan awal al-Ghazali dimulai di Thusi, lalu pindah ke Jurjan, dan menekuni bidang hukum (fikih) di bawah bimbingan Abu Nasr al-Ismaili (1015–1085 M). Pada usia ke-20, ia pergi ke Nisabur untuk mendalami fikih dan teologi kepada al-Juwaini yang kemudian menjadi asisten sampai sang guru wafat.
Al-Juwaini adalah seorang tokoh yang mempunyai peran penting dalam memfilsafatkan teologi Asy’ariyah. Menurut Tajuddin al-Subki, al-Juwaini yang mengenalkan al-Ghazali pada filsafat termasuk logika dan filsafat alam lewat disiplin teologi. Selain mendalami fikih dan teologi di Nisabur, al-Ghazali juga belajar dan melakukan praktek tasawuf yang dibimbing langsung oleh Abu Ali al-Farmidzi. Hanya saja, menurut Osman Bakar, saat pertama kali belajar, al-Ghazali tidak berhasil mencapai tingkatan di mana sang sufi menerima inspirasi dari alam.
Pada tahun 1091 M, al-Ghazali diundang oleh Nidham al-Mulk, wazir dari Sultan Malik Syah I (1072-1092 M) untuk menjadi guru besar di Nidhamiyah Baghdad. Masa-masa di Baghdad merupakan periode penulisan paling produktif. Tetapi, di sisi lain, perkenalannya dengan empat madzhab saat di Baghdad justru menyebabkan al-Ghazali mengalami krisis epistimologi yang kemudian memaksa dirinya mundur dari jabatannya lalu mengasingkan diri dan melakukan pengembaraan selama 10 tahun, dimulai dari Damaskus, Yerussalem, Makah, kembali lagi ke Damaskus, dan terakhir di Baghdad. Setelah lama dalam masa pengasingan spiritual, al-Ghazali menyakinkan dirinya bahwa kaum sufilah orang yang menempuh jalan kepada Tuhan secara benar dan langsung.
Setelah kembali lagi ke Baghdad, Fakhr al-Mulk penguasa Khurasan (1095-113 M), meminta dia mengajar di Nisabur (tahun 1105 M). Namun, ia hanya mengajar sekitar 5 tahun karena pada tahun 1110 M ia kembali lagi ke Thusi. Di Thusi inilah al-Ghazali mendirikan madrasah dan sebuah Khanaqaf (biara sufi) dan menghabiskan sisa hidupnya sebagai pengajar agama dan guru sufi yang mencurahkan diri dalam peningkatan spiritual. Di Thusi pula, al-Ghazali meninggal pada hari Ahad, 18 Desember 1111 M pada usia 53 tahun.
Karya–Karya Al-Ghazali
Al-Ghazali banyak meninggalkan karya tulis, setidaknya ada 72 karya tulis yang diwariskan al-Ghazali, yang secara umum dibagi dalam beberapa tema. Karya al-Ghazali yang dianggap paling monumental adalah Ihya’ Ulum al-Din, sebuah kitab yang ditulis untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan antara dimensi eksoterik dan esokterik Islam. Karya lain dalam bidang filsafat dan logika adalah Mi’yar al-‘ilm, Tahafut al-Falasifah, dan Mihak al-Nadzarfi al-Manthiq. Dalam bidang teologi ada Qawa’id al-Aqa’id dan al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Dalam bidang Ushul Fiqh adalah al-Mustashfa min ‘ilm al-Ushul dan al-Mankhuk min ‘ilm al-Ushul. Dalam bidang tasawuf ada al-Kimia al-Sa’adah dan Misykat al-Anwar. Dalam kebatinan adalah Qisthas al-Mustaqim dan al-Mustadzhir.
Pemikiran Filsafat Al-Ghazali
Salah satu pemikiran al-Ghazali adalah tentang eksistensi. Wujud yang terdiri dari aktual, di mana ekstensinya tidak hanya ada dalam mental, konsep, dan pikiran, tetapi konkret, nyata dalam wujud realitas. Wujud potensial yang hanya ada dalam konsep, mental, atau pikiran, pada gilirannya akan bisa mengarah pada kesimpulan bahwa aksiden lebih penting dibanding substansi, karena aksiden itu yang menentukan eksistensi sesuatu. Di sisi lain, dengan konsep wujud potensial aktual berarti bahwa segala yang konkret telah ada gambarannya dalam pikiran, termasuk wujud semesta telah ada gambarannya dalam benak Tuhan sebagai wujud potensial. Al-Ghazali menamakan hal ini dengan nasyiyah al-azaliyah. Hal ini berarti tidak berbeda dengan konsep keqadiman alam dari filsafat al-Farabi bahwa semesta ini telah ada wujudnya dalam pemikiran Tuhan secara azali bersama keazaliannya.
*sumber gambar ilustrasi: kompas.com
Leave a Reply