Objektivitas merupakan sebuah mimpi yang selalu didambakan Bintu Syati’ dalam upayanya menafsirkan Kalam Tuhan. Sikap yang diambilnya-pun terkadang elastis, terlebih ketika menilai bahwa al-Qur’an tidak dapat ditafsirkan dengan hanya mengandalkan satu metode saja. Bintu Syati’ kemudian menggunakan tawaran hermenetik sebagai salah satu media penafsiran.
Menurutnya metode ta’wil memang dibutuhkan terutama dalam rangka menghubungkan teks itu sendiri dengan konteks (siyāq al-kalām) yang selanjutnya berkembang menjadi sebuah metode baru objective comprehension (al-tanāwul al-maudlū’i), yaitu mengumpulkan seluruh ayat al-Qur’an yang mempunyai keterikatan tertentu dengan sebuah tema pembahasan, maka dengan sendirinya ayat-ayat tersebut akan berbicara tentang apa dan bagaimana, serta sebab utama ayat tersebut diturunkan.
Pendekatan ini berbeda dengan metode maudlū’i yang hanya membahas per-surat saja. Keuntungan yang didapatkan dari metode baru ala Bintu Syati| ini adalah pengembalian makna asli sebuah ayat (al-ma’āni al-aṣīla dan al-mabādiʿ al-Qurʿan al-ashīla ), seperti yang diistilahkan al-Syatibi dengan murādullah. Keuntungan lainnya yaitu dapat memberikan penjelasan retorika pembahasan sesuai dengan tema al-Qurʿan, sehingga dari sini lafadz al-Qurʿan dapat dimengerti sebagai lafadz yang multimakna. Artinya, sebuah lafadz tidak dapat digunakan untuk menafsirkan ayat lain dengan arti yang sama.
Untuk mengaplikasikan metode tersebut, Bintu Syatiʿ menguraikan beberapa poin yang harus dipenuhi sebagai pengantar. Pertama, memaknai lafadz secara leksikografis. Hal ini sangat membantu mufassir dalam mencari artikulasi lafadz dalam bentuknya yang tekstualis. Kedua, mengumpulkan semua ayat yang berkaitan dengan sebuah tema. Ketiga, yaitu dengan mengklasifikasikan ayat tersebut ke dalam rumusan yang lebih spesifik yaitu siyāq al-khāṣ dan siyāq al-ʿām, seperti yang diistilahkan Bintu Syatiʿ. Dalam penggunaan sebuah metode, pastinya mufassir mempunyai maksud tertentu sesuai maksud dan tujuan penafsiran. Begitu halnya Bintu Syatiʿ, dengan metode ini diharapkan mampu menguraikan beberapa diskursus yang terkandung dalam al-Qurʿan, dan selanjutnya dapat mengeksplorasi lebih jauh artikulasi makna yang menghubungkan lafadz dengan surat.
Pendekatan hermenetika yang banyak dijumpai dalam penafsiran beliau merupakan sebuah pilihan. Meskipun sebelumnya Bintu Syati’ termasuk mufassir yang menolak beberapa taʿwilan, dengan catatan hal tersebut memang jauh dari konteks ayat. Menurutnya hermenetika berpotensi untuk menggapai makna yang terdapat pada al-ahruf al-muqatha’ah, serta dapat memfungsikan kembali peran fāʿil di dalam kalimat yang majhul. Karena di dalam al-Qurʿan banyak sekali ditemukan ayat-ayat tanpa fāʿil, seperti hilangnya faʿil dalam perbincangan kiamat yang terdapat pada (QS. Al-Hāqah; 13-14), (QS. Al-Naba’; 18-20) serta (QS. Al-Fajr; 21).
Pada dasarnya sinonimitas al-Qurʿan merupakan terma lampau yang juga banyak dibahas para sarjana bahasa, tidak hanya oleh Bintu Syathiʿ. Yang termasyhur adalah Ibnu Faris dan Ibnu Jinny dengan anti sinonimitas-nya. Bahwa dalam memahami al-Qurʿan pemisahan lafadz sangat penting, tidak berarti kesamaan lafadz mempunyai kesamaan arti. Banyak kemungkinan terjadinya perbedaan makna di setiap ayat dengan lafadz yang sama.
Disinilah Bintu Syatiʿ mulai membedakan beragamnya lafadz yang mempunyai sinonimitas. Aspek-aspek kultural dalam hal inipun juga cukup berperan, yaitu dengan perbedaan lahjah dan bahasa di setiap kabilah Arab. Namun, beberapa ulama klasik pun juga ada yang sepakat dengan sinonimitas, sebut saja Fakhru Razi, al- Taaj al-Subki dan Suyuti. Sebagai contoh, Bintu Syatiʿ membedakan antara lafadz al-ruʿya dan al-hulm, yang secara leksikografis kedua lafadz itu adalah sepadan, namun berbeda halnya ketika diterapkan dalam al-Qurʿan.
Al-hulm digunakan dalam al-Qurʿan sebanyak tiga kali dalam bentuk jamaʿ yang ditafsirkan sebagai mimpi-mimpi kacau atau sulit ditafsirkan. Sedangkan al-ruʿya digunakan sebanyak tujuh kali dalam al-Qurʿan diartikan sebagai mimpi-mimpi yang benar dan nyata. Dan dalam bentuk mufrad, hal ini menandakan bahwa ruʿya sejatinya adalah yang nyata, jelas dan murni tanpa tercampur dengan prasangka dan anggapan. Menurut Bintu Syatiʿ sebenarnya masih banyak lagi beberapa lafadz yang harus dikaji ulang maknanya, seperti al-na’y wa al-bu’d, anasa wa absara, tasada’a wa tahattama, al-khusyu’ wa al-khudlu’, al-khasya wa al-khawf, zawj wa imra’a, ashtat wa shatta, al-ins wa al-insan, kemudian al-ni’ma wa al-na’īm dan seterusnya, guna meminimalisir kesalahan-kesalahan interpretasi terhadap Al-Qurʿan.
(Bersambung…)
Leave a Reply