Pengaruh pemikiran Amin Khuli yang merupakan suami Bint Syathi’ turut mewarnai penafsiran beliau, salah satu contohnya yaitu ketika menafsirkan Surat Al-Ashr dengan perspektif Hurriyatul al-ʿAqīdah. Al-Manhaj al-Istiqrāʾī (metode induksi) yang kemudian ia pilih sebagai alat menganalisa kajian tafsir.
Keduanya, baik Bint Syathi’ dan Amin Khuli, termasuk sekian mufasir yang menolak metode tafsir ‘ilmi, misalnya saja dalam QS. AlʿAlaq: 2, tentang penciptaan manusia dari berupa gumpalan darah. Menurut Bintu Syatiʿ hal ini sangat jauh hubungannya jika dikaitkan dengan siyāq al-kalām ayat sesudah dan sebelumnya. Terlebih ayat tersebut diturunkan bukan sebagai penjelasan tentang susunan embriologi namun lebih kepada dalil-dalil keagungan Tuhan atau sebagai hikmah penciptaan.
Bintu Syathiʿ juga menaruh perhatian dalam kesinambungan antara ayat dan surat (irtibāth) dan juga mengenai asbāb al-nuzūl yang diistilahkan sebagai mā haula al-Qur’ān. Ada beberapa hal menarik lainnya dari corak penafsiran beliau yaitu ketika Bintu Syatiʿ merubah haluan dari gaya tafsir ke taʿwil (hermenetik). Tak heran, jika dalam karya selanjutnya “al-Qurʿān wa al-Qadlāya al-Insān” beliau menjelaskan dan mendefinisikan antara tafsir dan taʿwil.
Bahwa Tafsir merupakan penjelasan dan pemaknaan al-Qurʿān yang dilihat dari teks, baik berupa sinonim atau antonimnya. Tafsir semacam ini hakekatnya sudah banyak dipraktekkan pada periode pertama. Dan ta’wil, lebih kepada pembebasan ayat, artinya makna yang terkandung tidak melulu berkaitan dengan makna lafadz serta sangat tergantung dengan subjektivitas mufasir.
Penekanan selanjutnya yang dijelaskan Bintu Syatiʿ yaitu tentang isrāiliyyāt. Merupakan sebuah fakta, bahwa sejarah al-Qurʿān sangat banyak terpengaruh dari riwayat-riwayat ahl al-Kitāb yang tak lepas dari kultur keyakinan masyarakat ketika itu, terutama dalam Taurat dan Injil.
Imam Tabari (310/923) dalam Jāmiʿ al-Bayān memaparkan beberapa isrāiliyyāt yang banyak dijadikan referensi penafsiran bahkan dikutip oleh beberapa mufasir. Begitu pula yang dilakukan beberapa mufasir lainnya semisal al-Zamakhsyari (538/1144), Abu al-Hayyan (754/1344), al-Razi (606/1210), Muhammad Abduh (1905).
Berita-berita isrāiliyyāt yang mereka suguhkan sangat berbeda terutama kisah kaum ʿAd dan Tsamud yang kontroversial. Keterikatan yang seakan-akan tidak mungkin lepas menyebabkan beberapa kisah harus tunduk dengan berita orang-orang Yahudi dan Israel. Bintu Syatiʿ dalam hal ini mempunyai statement menarik bahwa berita isrāiliyyāt sesungguhnya telah banyak mewarnai penafsiran al-Qurʿan. Berawal dari hal itulah kemudian Bintu Syatiʿ dengan sangat lugas mengkritisi para mufasir terdahulu dalam metode penafsiran terutama israiliyyat.
(Bersambung)
Leave a Reply