,

Mengenal Mamuli: Perhiasan Orang Sumba yang Menyerupai Vagina dan Rahim Perempuan

/
/

mamuli

Neswa.id-Apa yang bisa kita bayangkan pertama kali ketika melihat gambar vagina perempuan? Barangkali perlu kita sepakati bahwa, seluruh anggota tubuh posisinya sama. Sehingga ketika menyebut nama vagina, tidak perlu di politisasi dengan nama lain. Keberadaan gambar vagina ini akan menimbulkan makna yang cukup beragam hingga memiliki perspektif negatif.

Meskipun demikian, sebagai orang yang terlahir dari Sumba, simbol tersebut menjadi bagian dari kehidupan yang saya temui. Simbol vagina dan rahim justru bukan sebagai bentuk pelecehan, melainkan sebuah penghargaan kaum ibu yang sudah memberikan kehidupan. Penghargaan tersebut nyatanya diabadikan dalam bentuk perhiasan yang bernama ‘mamuli’.

Mamuli adalah perhiasan orang Sumba yang bentuknya menyerupai rahim perempuan. Mamuli biasanya digunakan sebagai anting, mata kalung, bros, dan lain-lain. Mamuli juga sering digunakan sebagai pemberian dalam acara-acara penting seperti perkawinan dan ritual agama Marapu orang Sumba.

Karena sakralitasnya, mamuli selalu dibuat dari emas atau perak. Dalam mitologi orang Sumba, bulan dan bintang terbuat dari perak dan matahari terbuat dari emas. Emas dan perak kemudian mengendap ke bumi ketika matahari dan bulan terbenam dan bintang jatuh.

Mamuli yang sakral ini menjadi simbol kesuburan bagi orang Sumba dan merepresentasikan penghargaan terhadap perempuan sebagai pemberi kehidupan. Bukan hanya lewat mamuli, penghargaan terhadap perempuan Sumba juga dapat dilihat dalam berbagai unsur dari sistem pengetahuan dan sistem kehidupan masyarakat Sumba. Penamaan pulau Sumba sendiri misalnya diambil dari nama perempuan pertama di Sumba. Nama itu diberikan oleh Umbu Walu Mandoku, manusia pertama di Sumba, sebagai penghargaan terhadap istrinya yang bernama Humba. Karena itulah, dalam bahasa Sumba, pulau ini disebut sebagai Tana Humba, artinya Tanah Sumba.

Selain itu, penghargaan terhadap perempuan juga dapat dilihat dalam tradisi belis atau mahar pernikahan yang mesti diberikan oleh pihak laki-laki dalam bentuk hewan, kain, parang, dan lain-lain. Belis sering disalahartikan sebagai bentuk objektifikasi perempuan karena terkesan ‘mematok’ jumlah belis tertentu yang dianggap sangat mahal. Namun demikian, tradisi ini sebenarnya dapat dilihat sebagai tanda betapa tingginya penghargaan terhadap seorang perempuan dalam keluarga. Belis yang tinggi tentu saja tidak dapat dinilai secara materialistis saja, melainkan sebagai simbol penghargaan dan keseriusan pihak laki-laki dalam menikahi seorang perempuan yang mesti selalu dihargainya sepanjang hidupnya.

Penghargaan yang tinggi terhadap perempuan tentu saja tidak dapat dipisahkan dari signifikansi perempuan itu sendiri mulai dari kehidupan dalam keluarga, sistem sosial dalam masyarakat, dan bahkan dalam hal interrelasi ekologis manusia dan alam.

Dalam keluarga, sebagaimana yang sebenarnya juga ditemukan dalam masyarakat urban, perempuan memiliki peran signifikan yang tak tergantikan. Perempuan, baik yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga atau yang memiliki profesi lain, hampir selalu menjalankan yang disebut multitasking. Mengurus rumah, anak, suami, dan bahkan juga urusan tani-ternak. Dalam hal ini, perempuan berperan dalam mengatur (managing) urusan ekonomi rumah tangga yang berkenaan dengan urusan “produksi” dan konsumsi.

Dalam konteks kehidupan masyarakat lokal, perempuan seperti di Sumba memiliki peran dalam “menghubungkan” dimensi sosial, ekonomi, dan ekologis – yang sekaligus menjadi basis komunitas. Mereka yang menentukan apa yang dikonsumsi oleh keluarga dan dengan demikian komunitasnya. Upaya perempuan dalam hal ini bukan hanya soal kepentingan keberlanjutan keluarga dan komunitasnya (manusia), tetapi juga lingkungan yang padanya mereka -dan sesungguhnya semua manusia- bergantung. Dengan demikian, mereka adalah subjek penentu dalam sistem jejaring kehidupan (web of life), mulai dari benih apa yang ditanam, bagaimana mengelola hasilnya, bagaimana biodiversitasnya dilestarikan, dan bagaimana keberlanjutannya dijaga demi kehidupan bersama.

Walaupun signifikansi mereka dalam rumah tangga (keluarga, sosial, dan ekologi) tidak direkognisi oleh paradigma modern yang terbatas dalam melihat peran produksi, perempuan sesungguhnya aktor utama dalam pengelolaan sistem kehidupan yang berkelanjutan. Alih-alih melihat produksi dengan prinsip surplus material sebagaimana paradigma modern, perspektif perempuan -yang sangat ekologis- melihat produksi sebagai pemenuhan kebutuhan tidak lebih dari yang diperlukan komunitas.

Semuanya ini tentu saja merepresentasikan pengetahuan dan kebijaksanaan. Dalam hal ini, perempuan bukan hanya pemberi kehidupan melalui kelahiran dari mamuli-nya. Perempuan adalah juga penenun dan perawat kehidupan sosio-ekologi sekaligus kebijaksanaan (indigenous wisdom) yang tersimbolisasi.

Dalam masyarakat Sumba, menenun adalah salah satu tradisi penting, yang belakangan ini menjadi unsur pemanfaatan ekonomi, tetapi sebenarnya bermakna jauh lebih dalam dari itu. Tanpa menegasikan signifikansi tenun terhadap pembangunan kesejahteraan ekonomi, yang lebih ‘sakral’ dari dampak ekonominya adalah posisi kain tenun sebagai ‘teks’ kehidupan orang Sumba. Ragam corak dan warna tenun yang ada ‘menuliskan’ sejarah dan sistem kehidupan orang Sumba. Perempuan -sekali lagi- merupakan aktor utama yang menjadi penenun. Dengan demikian, perempuanlah yang sebenarnya menulis/mengabadikan berbagai keyakinan, prinsip, dan praktik hidup masyarakat.

Untuk itu, tidak berlebihan mengatakan bahwa dalam tujuan ekologis, kita bukan saja perlu belajar dari komunitas lokal tetap juga lebih spesifik lagi kelompok perempuan dalam komunitas tersebut. Kasus Mama Aleta misalnya, menunjukkan relasionalitas perempuan dan alam yang begitu kuat dan eksplisit. Sebagai korban pertama yang merasakan dampak dari pembangunan yang destruktif terhadap lingkungan, bukan laki-laki yang pertama-tama berdiri di garda terdepan, tetapi perempuanlah yang menenun di antara alam dan mesin korporasi.

Tentu saja persoalan penghargaan terhadap perempuan apalagi dalam konteks kultural masyarakat Sumba jauh lebih kompleks daripada yang dapat dibicarakan dalam tulisan ini. Realitas Sumba hari ini yang menggambarkan persoalan kekerasan gender terhadap perempuan seperti kawin tangkap atau bahkan terhadap sesama laki-laki (hegemonic masculinity) dalam hal sistem perhambaan menunjukan kompleksitas tersebut.

Namun demikian, mamuli setidaknya mengindikasikan pengakuan dan penghargaan, baik secara sadar maupun tidak, terhadap perempuan. Bentuk penghargaan yang mengakar dalam sistem kultural ini menjadi basis untuk upaya-upaya transformatif dalam merespons persoalan gender. Dalam kerangka yang lebih luas, bahkan perspektif lokal semacam ini sangat penting diangkat dalam upaya transformasi paradigma pembangunan sosial, ekonomi, dan ekologi. (IM)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *