“Saya bukan orang Israel, saya orang Australia. Jews Australian”.
Neswa.id-Begitu kata Rabbi Gabbi, seorang Rabbi dari Ark Center yg menaungi komunitas Yahudi di Melbourne. Kami bertemu beberapa waktu lalu setelah Shortcourse di Deakin University.
Tak seperti bangunan Sinagog yang ada di beberapa kawasan Timur Tengah, Mesir dan Eropa yang biasanya sudah berumur ratusan tahun dan berkarakter, sinagog ini berupa bangunan modern yang juga menjadi pusat kebudayaan dan diplomasi untuk komunitas Yahudi Melbourne. Layaknya kantor² lainnya. Hanya saja, di bagian tengah dikhususkan untuk tempat bersembahyang alias dibangun sebagai Sinagog.
Bangunan ini lumayan besar, terdiri dari ruang² utama dan bersekat. Namun ruangan khusus Sinagog ukurannya tak begitu luas, mungkin hanya bisa menampung maksimal lima puluh jamaah. Bagian laki-laki dan perempuan dipisahkan dengan sebuah mimbar besar yang berisi meja dan kursi panjang yg dipakai Rabbi untuk membaca Torah.
“Torah ini umurnya seratus tahun, ditulis dengan tangan. Masih memakai kertas Eropa lawas yang tebal dan bagus. Kamu bisa melihatnya jika kamu mau”. Begitu tawaran Rabbi Gabbi kepada kami.
Tentu saja, kami tidak bisa menolak. Melihat, merasakan, memegang bahkan menggulung langsung Torah yg berisi tentang the five books of Moses, berumur seratus tahun tidaklah dapat dengan mudah diulang. Torah beraksara Ibrani membentang panjang di hadapan saya. Entah berapa meter panjang dari Kitab ini.
Perlahan saya baca pelan, sekilas mirip dengan aksara Arab. Bahasa Ibrani merupakan cabang rumpun bahasa Afro-Asia, dan masuk dalam bahasa Semit dan menjadi bahasa resmi Israel. Secara kultural bahasa ini dianggap bahasa orang Yahudi, meskipun juga dipakai oleh kelompok non-Yahudi. Konon, bahasa Ibrani hampir saja punah sebagai bahasa yang dituturkan, namun bahasa ini terus digunakan sebagai bahasa liturgi Yudaisme dan bahasa sastra. Awal abad 19 dan 20, bahasa Ibrani kembali dipakai menjadi sebuah bahasa tutur menggantikan bahasa Arab dan Yiddish sebagai bahasa utama umat Yahudi sedunia dan negara Israel di kemudian hari.
Selain The Five Books of Moses, kami juga diperlihatkan gulungan kitab lain tentang sejarah panjang Yahudi. The book of Esther, mengkisahkan tentang seorang perempuan Yahudi, Esther, yang hidup di diaspora Persia. Esther dikenal sebagai ratu yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan umat Yahudi kurang lebih dua ribu tahun yang lalu. Konon, buku ini ditulis oleh Mordechai, sepupu Esther.
Rabbi Gabbi terlihat antusias dengan kedatangan kami siang menjelang sore itu. Rabbi Ganbi merupakan salah satu narasumber dalam program shortcourse online Australia Indonesia Muslim Exchange Program tahun 2022. Kami dipertemukan dalam lingkup keluarga besar AIMEP.
Perawakannya yang energik, muda dan sangat bergegas membuat kami juga semangat untuk berdialog dan menanyakan banyak hal tentang seluk beluk agama Yahudi termasuk sejarahnya memasuki benua Australia.
Yang membuatnya bersemangat lagi adalah ketika Rabbi Gabbi berkisah tentang komunitas Yahudi di Manado. Dia terhubung dengan seorang Rabbi dari Indonesia, ah tapi sayang sekali saya lupa mencatat namanya.
Jumlah umat Yahudi di Indonesia tidak besar, bahkan sangat kecil. Penganut Yudaisme sudah ada sejak masa kolonial Belanda, namun hingga saat ini hanya tersisa satu Sinagog yang berada di Sulawesi Utara.
Di penghujung kunjungan kami, kami berdialog sebentar tentang posisi Indonesia terhadap Israel. Rabbi Gabbi kembali menutup perbincangan kami dengan kalimat pamungkas, yang seolah tidak ingin disangkutpautkan dengan negara yang dahulunya menjadi bagian dari kawasan peradaban Kanaan.
“Remember, we are Australian Jews not Israeli Jews. We have our own history in this beautiful land. Do not always connect our community with the Israeli Jews”.
~ bersambung ~
Leave a Reply