Mengenal H.R. Rasuna Said: Sosok Pahlawan Perempuan Yang Tak Patut Dilupakan

/
/


Dalam budaya Jawa-dan mungkin budaya di beberapa daerah luar Jawa-perempuan zaman dulu identik dengan istilah 3 M, yakni manak (melahirkan), macak (berdandan), dan masak (memasak). Indikator keberhasilan seorang perempuan zaman dulu dinilai dari faktor regenerasi (memiliki keturunan), mampu merias diri, dan mampu menghasilkan masakan yang memanjakan lidah. Namun itu dulu, kini perempuan bisa sedikit bernapas lega, meskipun diskriminasi gender masih kerap terjadi di mana-mana. Kini, perempuan berhak berpijak di atas kakinya sendiri berkat perjuangan perempuan-perempuan hebat di zaman penjajahan seperti Raden Ajeng Kartini. Apakah hanya Raden Ajeng Kartini? Tentu saja tidak, ada banyak. Satu di antaranya yang sering luput dari perhatian adalah Pahlawan Perempuan dari Sumatera Barat, Hajjah Rangkayo Rasuna Said.

Rasuna Said telah berhasil membuktikan bahwa perempuan tidak hanya terampil dalam urusan 3 M saja, tetapi perempuan juga mampu mengguncang dunia dengan tekad yang dimilikinya. Dari kecil, Rasuna Said memang telah mendapatkan kesempatan belajar yang lebih dari cukup. Perempuan kelahiran 14 September 1910 ini ditakdirkan lahir dari keluarga terpandang, sehingga segala kebutuhannya tidak termasuk dalam kategori kurang. Anugerah materi berhasil dimanfaatkan Rasuna Said dengan baik. Terbukti sejak usia 6 tahun Rasuna Said terus mengasah ilmunya hingga beranjak ke usia 23 tahun. Semua usaha keras Rasuna Said membuahkan hasil, mulai dari aktif sebagai pendidik, berjuang di bidang politik, hingga berprestasi dalam bidang jurnalistik.

Perjuangan Rasuna Said dalam Dunia Pendidikan

Setelah menamatkan pendidikan sekolah dasar, Rasuna Said melanjutkan pengembaraannya mencari ilmu di pesantren Ar-Rasyidiyah di bawah kepemimpinan Syaikh Abdul Rasyid. Pesantren ini menjadi saksi bisu perjuangan Rasuna Said dalam menimba ilmu, sebab ia menjadi santri perempuan satu satunya selama di sana. Hal ini disebabkan oleh mayoritas pendidikan dalam nuangan pesantren hanya diisi oleh kaum laki-laki. Meskipun menjadi santri yang paling beda sendiri, tidak menyurutkan gelora semangat Rasuna Said untuk menambah wawasannya dalam bidang keagamaan. Selesai di pesantren Ar-Rasyidiyah, Tahun 1923 Rasunah Said melanjutkan pendidikan diniyah atau sekolah diniyah putri di Padang Panjang milik Rahmah El Yunusiyyah-salah satu pahlawan perempuan juga dari Sumatera Barat-. Di sekolah diniyah ini, Rasuna Said mengabdikan dirinya sebagai seorang pendidik kepada adik-adik tingkatnya.

Sebuah bencana besar terjadi pada tanggal 28 Juni 1926, yakni letusan Gunung Merapi yang disertai gempa di daerah Padang Panjang. Oleh sebab itu, para siswa-mau tidak mau-harus kembali ke kampung halamannya. Menariknya, meskipun telah disibukkan dalam pendidikan sekolah dan agama, Rasuna Said tidak melupakan ketrampilan yang menguatkan jati diri seorang perempuan. Ia melanjutkan pendidikannya di Meisje School, sekolah putri yang mengajarkan keterampilan menjahit, memasak, dan berumah tangga.

Pengembaraan tidak berhenti di sini, tahun 1930 melanjutkan pendidikannya di sekolah Sumatera Thawalib yang dipimpin oleh Haji Udin Rahmani. Kecerdasan Rasuna Said semakin terlihat di sini, sebab ia berhasil menamatkan pendidikan hanya dalam kurun waktu dua tahun yang lumrahnya diselesaikan selama empat tahun. Dari sekolah ini, bakat debat dan orasi Rasuna Said terasah dan nanti akan dijelaskan pencapaiannya dalam bidang politik. Di usia yang ke-23, Rasuna Said menyelesaikan pendidikan terakhirnya di Islamic College Padang. Rasuna Said juga sempat memberikan kursus pemberantasan buta huruf yang diberi nama Sekolah Menyesal, membuka sekolah thawalib kelas rendah di Padang, serta mengajar sekolah thawalib putri.

Sepak Terjang Rasuna Said dalam Dunia Politik

Bakat politik dalam diri Rasuna Said mulai terlihat ketika berada di Sekolah Sumatera Thawalib. Seminggu sekali di sekolah ini diadakan perlatihan pidato dan debat. Oleh sebab itu, semua siswa tahu kemampuan berbicara Rasuna Said, hingga ia kerap dijuluki oleh teman-temannya sebagai Orator Ulung. Perjuangan Rasuna Said di bidang politik sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1926 dengan cara bergabung organisasi Sarekat Rakyat-sejarah Sarekat Rakyat bermula dari organisasi pergerakan nasional Sarekat Dagang Islma yang didirikan oleh Haji Samanhudi pada tahun 1912. Setelah itu, SDI berganti menjadi Sarekat Islam yang terpecah menjadi dua kubu: kubu merah dan kubu putih. Kubu merah inilah yang disebut Sarekat Rakyat-.

Tahun 1930 kala berada di Sekolah Sumatera Thawalib, Rasuna Said bergabung dengan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) yang membuat Rasuna Said secara otomatis keluar dari Sarekat Rakyat. Di Permi, Rasuna Said mendapat julukan baru, yakni Singa Betina. Hal ini disebabkan oleh kepiawaian Rasuna Said kala berorasi yang mampu membakar semangat para pendengarnya. Julukan Singa Betina bukanlah sekadar kata-kata, pidato Rasuna Said dalam rapat umum di Payakumbuh pada tanggal 19 November 1932 cukup membuat Belanda ketar-ketir. Isi pidatonya secara blak-blakan menentang sistem perbudakan dan penjajahan. Pemerintah Kolonial Belanda sampai harus menjebloskan Rasuna Said ke dalam Penjara Bulu, Semarang, Jawa Tengah selama satu tahun dua bulan dengan tuduhan menghasut rakyat agar memberontak dan melawat Pemerintah Kolonial Belanda.

Pasca bebas dari penjara, Rasuna Said hijrah ke Medan. Saat kekuasaan beralih ke Jepang, Rasuna Said kembali berkecimpung dalam organisasi Pemuda Nippon Raya. Setelah Indonesia merdeka, karir politik Rasuna Said terus melejit. Rasuna Said terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Serikat. Setelah DPR-RIS bubar, Rasuna Said kembali terpilih menjadi salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Di pemerintahan era Soekarno, Rasuna Said diangkat menjadi bagian dari anggota Dewan Pertimbangan Agung atau DPA. Pada Kongres PERWARI yang ke-10 pada tanggal 10 sampai 12 Juni 1964, Rasuna Said ditetapkan sebagai pimpinan PERWARI cabang Jakarta.

Pembuktikan Rasuna Said dalam Bidang Jurnalistik

Tak hanya berhasil sebagai pendidik dan sukses berkiprah di bidang politik, Rasuna Said juga memiliki banyak prestasi di bidang jurnalistik. Selama menempuh pendidikan di Islamic College Padang, Rasuna Said dinobatkan sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Raya. Pasca Permi dibubarkan, Rasuna Said melangang buana ke Medan. Di sana, ia menerbitkan majalah Menara Poetri sekaligus menjadi pemimpin redaksinya. Majalah ini fokus menerbitkan tulisan-tulisan dengan tema keislaman dan perempuan.

Rasuna Said menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 2 November 1965 di Jakarta karena kanker payudara saat menginjak usia yang ke-55. Atas dedikasinya dalam memperjuangkan Bangsa Indonesia, tanggal 13 Desember 1974 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 084/TK/Tahun 1974, menetapkan Rasuna Said sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional. Rasuna Said telah menyadarkan masyarakat bahwa kelemahan perempuan adalah mudah mengeluh, lalu meminta belas kasih. Kelemahan inilah yang harus dihindari, sebab perjuangan tidak melulu tentang kehebatan fisik. Sumbangsih dalam skala yang lebih luas-seperti menulis dan mendidik-tidak kalah hebat dengan mereka yang mengangkat bambu runcing sebagai senjata.

Teruntuk para perempuan, terima kasih telah menjadi Kartini atau Rasuna Said masa depan.

*Tulisan ini disarikan dari beberapa sumber, yakni 1) Buku “7 Tokoh Nasional Sumatera Barat di bidang Pendidikan dan Pers” karya Purwanto Putra yang diterbitkan oleh Petualang Literasi, 2) Buku “Haji Rangkayo Rasuna Said: Pejuang Politik dan Penulis Pergerakan” karya Jajang Jahrono yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, 3) Buku “Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib” karya Burhanuddin Daya yang diterbitkan oleh Kompas Media Nusantara, dan 4) Kedaulan Rakyat edisi 26 Desember 1974 dengan judul berita “Nyi Ageng Serang dan Haji Rasuna Said dapat Gelar Pahlawan Nasional”.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *