Di masa wabah ini, saya tahu saya mungkin bersikap tidak adil pada sebagian orang karena seolah melarang mereka menyimpan secercah harapan di tengah realitas yang menyesakkan. Sungguh maksud saya bukan demikian. Saya hanya berharap lebih banyak orang tidak berusaha menghindari emosi yang dipandang negatif seperti ketakutan, kepanikan, kecemasan.
Setiap emosi punya dua sisi. Semua emosi bisa menjadi negatif maupun positif. Emosi yang dianggap positif seperti cinta pun bisa menjadi negatif ketika berlebihan dan menjadi obsesi yang tidak berpijak pada realitas. Pernah jadi sasaran obsesi seperti ini? Saya pernah. Dan sungguh, bagi si penerima, emosi macam itu tidak ada positif-positifnya. Optmisime berlebihan juga demikian. Ia dapat membuat kita lengah dan mengendurkan upaya di saat perjuangan belum berhasil, perjalanan belum usai.
Pada masa wabah ini rasa cemas dan takut mungkin akan menjadi teman kita dalam jangka cukup panjang. Vaksin tak akan ditemukan dalam beberapa hari ke depan. Kematian demi kematian akan menjadi kabar rutin bagi kita selama beberapa waktu. Resesi ekonomi akan terjadi di seluruh dunia apapun langkah yang diambil pemerintah dan lembaga kesehatan dunia. Entah itu lockdown, PSBB, social distancing, apa pun.
Kita akan menghadapi hari-hari penuh ketidakpastian dan penuh berita kematian seperti ini bukan hanya dalam hitungan minggu. Bahkan mungkin bukan hanya bulan.
Pesimis? Tidak. Ini realistis. Karena itu, wajar bila banyak orang terlanda kepanikan, ketakutan, kesedihan dalam kadar yang jauh lebih tinggi daripada normal. Jauh di atas ambang batas yang dapat mereka toleransi biasanya.
Namun, sebagai mantan penderita gangguan emosi yang suicidal, izinkan saya berbagi pemahaman yang saya peroleh susah payah: Emosi itu cuma seperti lampu indikator yang boleh diabaikan. Kadang, lampu itu menyala sekadar akibat instalasi yang keliru. Emosi tak selalu merepresentasikan realitas. Ia bukan titah yang harus selalu dipatuhi. Ia hanya pemberi pesan. Andalah penentu tindak lanjutnya.
Di sisi lain, emosi adalah sumber motivasi atau pendorong tindakan. Emosi kuat yang dilandasi realitas seharusnya bukan dihindari, tapi dimanfaatkan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Rasa takut misalnya, tidak buruk dalam dirinya sendiri. Bila dimanfaatkan dengan baik, ia bisa menjadi motivasi sangat kuat untuk menghindari hal-hal yang bisa berbahaya, semisal keluar rumah selama wabah.
Dalam diri saya emosi takut ini nampaknya melandasi ketertarikan semi obsesif pada berbagai artikel tentang covid-19, termasuk data-data rumit penuh angka dan tabel. Saya bahkan termotivasi untuk belajar tentang istilah teknis kesehatan yang biasanya saya skip begitu saja.
See, emosi seperti takut pun bisa menjadi peluang untuk belajar dan bertumbuh. Kita hanya harus bisa mengendalikannya. Kendalikan dan arahkan emosi, jangan sampai terlindas olehnya. Bagaimana caranya? Sebagian sudah pernah saya singgung di tulisan lain.
Satu tips tambahan: bila emosi kuat sedang melanda, cari pereda sementara. Redakan dulu gejala fisik yang mengganggu seperti detakan keras jantung dan napas yang memburu dengan teknik pernapasan, meditasi, atau zikir. Alihkan perhatian pada sesuatu yang menyenangkan seperti menonton film atau memasak bersama keluarga.
Namun setelah intensitas emosi turun, jangan tolak atau sangkal realitas. Berlatihlah kembali menatap informasi dan data. Terimalah rasa cemas dan takut sebagai suatu kewajaran dan manfaatkan emosi-emosi itu. Iya. Manfaatkan. Emosi-emosi ini bisa sangat berguna.
Bukankah rasa cemas yang menggerakkan orang-orang untuk membuat berbagai aksi sosial di tengah wabah ini? Tentu empati berperan di situ, tapi empati adalah kemampuan merasakan emosi orang lain, termasuk emosi cemas, sedih dan takut karena wabah ini. Merasakan emosi negatif orang lain membuat kita mengambil langkah-langkah yang bernilai positif karena bermanfaat bagi banyak orang.
Tapi bagaimana kalau berlebihan hingga mengganggu fungsi mental normal? Ya kembali lagi ke kata kunci: kendalikan. Bila Anda belum sanggup melakukannya sendiri, anda bisa meminta bantuan. Entah itu dari orang-orang tercinta, sahabat terpercaya, atau konselor profesional.
Yang saya minta cuma satu: jangan sekali-kali menghindari rasa takut, panik, cemas, dengan cara mengaburkan atau bahkan menolak kenyataan. Terlalu menekankan banyaknya pasien yang sembuh atau berbagai “keberhasilan” penanganan covid-19 di luar segala bolong yang seharusnya masih bisa ditambal, berpotensi melonggarkan kewaspadaan. Di masa pandemi, bila ini Anda lakukan, Anda berisiko membahayakan bukan hanya diri Anda, tapi banyak orang.
Sulit? Iya memang. Tapi jangan khawatir. Tubuh kita luar biasa. Ada mekanisme stres yang dapat menurunkan imunitas bila dibiarkan berlarut-larut, tapi ada pula mekanisme agar stres itu memotivasi kita mencari solusi, mengulurkan tangan pada orang lain, merekatkan hubungan, menguatkan ketahanan mental. Ada adrenalin, tapi ada juga oxytocin.
Wabah ini membuat kita tidak bisa pergi jauh dari rumah, jadi ini waktu yang sangat tepat untuk memulai perjalanan yang paling penting: perjalanan ke dalam diri sendiri.
Leave a Reply