Adalah Raffaello Sanzio (m. 1520) atau biasa dikenal dengan Raphael, sang maestro kenamaan Italia yang telah membawa bayangan Averroes atau Ibnu Rusyd (m. 595/1198) ke dalam salah satu pusat peradaban Eropa Barat pada masanya, Vatikan. Raphael menghiasi dinding-dinding Stanza della Segnatura dengan fresco yang masing-masing mengandung sebuah tema. Ruangan ini berdekatan dengan kapel Sistine, puncak eksibisi di Museum Vatikan.
Tentu ada yang tak biasa dalam lukisan-lukisan Raphael, terutama pada salah satu fresco ternamanya, Scuola di Atene, yaitu kehadiran sosok Ibnu Rusyd yang menjadi simbol kebanggan umat Muslim yang tak lekang zaman. Ibnu Rusyd didapuk sebagai filsuf ternama dari dunia Islam bagian barat, yang pada estafet selanjutnya pemikiran-pemikiran filsafatnya berkembang pesat dan menjadi salah satu faktor kemajuan peradaban Eropa (barat).
Di dunia Islam, narasi kemunduran peradaban acapkali menjadi topik yang seakan tak dapat menemukan jawabannya. Tingginya kekerasan dan konflik, meningkatnya otoritarianisme, keterbelakangan sosio-ekonomi, dan problem kontemporer lainnya di negara-negara Muslim meninggalkan pertanyaan besar bagi beberapa kalangan. Apakah Islam memang tak dapat berjalan seiringan dengan perkembangan keilmuan dan kemajuan sosio-ekonomi? Apakah menjadi Muslim hanya terpaku pada jalan spiritualitas menuju “surga” saja tanpa perlu repot-repot ikut berkontribusi dalam membangun peradaban? Ahmet T. Kuru, profesor Ilmu Politik sekaligus Direktur Center for Islamic and Arabic Studies di San Diego State University, mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas karya terbarunya Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim (2020).
Kuru memilih pendekatan sejarah politik untuk menganalisis kembali fragmen-fragmen penting yang menjadi titik awal frase kemunduran peradaban Islam. Tesis utamanya, alih-alih menyalahkan Islam yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan juga faktor luar, Kuru justru lebih menekankan pada aspek relasi antar elit keagamaan, politik, intelektual, dan ekonomi di dunia Islam yang sebenarnya menjadi faktor utama di balik kemunduran dunia Islam.
Persekutuan Ulama dan Negara (Penguasa)
Tesis yang mengatakan bahwa kemunduran Islam disebabkan dari kolonialisme Barat adalah salah satu yang Kuru kritik. Menurutnya, jauh sebelum kolonialisme peradaban umat Muslim di pusat-pusat kekhalifahan menunjukkan arah kemunduran yang signifikan. Kuru mengawali analisisnya dengan sebuah elaborasi tentang bagaimana ulama pada abad ke-8 hingga pertengahan abad ke-11 mempunyai hubungan yang kuat dengan para pedagang, dan menjaga jarak dengan otoritas politik. Kemerdekaan para intelektual Muslim dari penguasa di satu sisi, dan dukungan dari kelompok pedagang, di sisi lain, memungkinkan mereka untuk berpikir kreatif dalam membangun peradaban dan pengetahuan. Situasi ini juga ditopang oleh heteogenitas kehidupan di dunia Islam yang menampilkan tidak hanya komunitas-komunitas Muslim dengan teologi yang berbeda seperti Muktazilah, Sunni, dan Syiah, namun juga komunitas-komunitas agama yang berbeda seperti Kristen, Yahudi, dan bahkan komunitas agnostik. Kondisi seperti ini memungkinkan munculnya dialektika yang menjadi iklim sehat bagi perkembangan pengetahuan.
Kuru melihat bahwa patronasi antara ulama dan negara dapat membahayakan bagi pengembangan intelektual. Hal ini tercermin dari munculnya standarisasi pengetahuan di madrasah-madrasah yang mulai diatur oleh negara. Dominasi dan ortodoksi teologi Sunni yang mendapatkan dukungan kuat dari negara turut menentukan keilmuan mana yang boleh berkembang dan keilmuan mana yang harus ditentang. Dalam konteks ini, para ilmuan Muslim tidak lagi dapat menikmati dukungan dari pedagang yang dulunya ikut memberikan mereka fasilitas bagi pengembangan tradisi keilmuan dan pengetahuan.
Konteks ortodoksi Sunni ini dilatari oleh kebangkitan kekuatan-kekuatan politik Syiah seperti dinasti Fatimiyah (909-1171) yang berpusat di Mesir dan dinasti Buwaihiyah (934-1062) di Irak dan Iran yang dianggap mengancam teologi Sunni. Sebagai respon, sultan-sultan Sunni merapatkan barisan untuk mengukuhkan ortodoksi “akidah” Sunni. Konsekuensinya, tidak hanya kelompok Syiah yang terkena imbas perang teologis ini, namun juga kelompok teolog rasionalis (Muktazilah) dan filsuf. Dalam situasi ini, setiap yang bertentangan dengan teologi Sunni akan menghadapi persekusi dan bahkan ancaman hukuman mati. Dalam perkembangan selanjutnya, sufisme muncul sebagai tren keilmuan dan keagamaan yang menggantikan posisi filsafat, terutama di tangan Abu Hamid al-Ghazali (m. 505/1111), tokoh Sufi Sunni ternama.
Iqtha’ dan Sentralitas Negara-Militer
Selain persekutuan antara ulama dan negara, Kuru juga menyorot sistem iqtha’ — sistem pembagian pendapatan tanah dan pajak yang dirancang untuk menarik pendapatan dari sektor pertanian dan sektor ekonomi lainnya di bawah kendali militer— yang mulai populer pada abad ke-11. Menurutnya, Sistem ini turut melemahkan kelas pedagang dan tuan tanah yang sebelumnya menjadi patron ulama dalam pengembangan pengetahuan. Di saat yang sama, praktik ini bahkan memperkuat militerisasi ekonomi dan struktur negara. Pelemahan tuan tanah sebagai representasi kelas swasta par excellence berarti pelemahan kelompok pedagang kaya dan kelas sosial kreatif yang menyokong kaum intelektual untuk dapat menjaga independensi dari negara.
Sistem iqtha’ ini sangat lekat dengan dinasti Saljuk. Iqtha’ menampilkan pergeseran patronasi ulama dari bersama kelompok pedagang ke negara. Kuru melihat persekutuan yang dibangun oleh ulama-ulama Sunni, termasuk di dalamnya al-Ghazali, dengan negara militer untuk menegaskan bentuk tertentu ortodoksi mempunyai efek yang panjang di dunia Islam. Persekutuan inilah yang menyebabkan menurunnya kualitas intelektual dan juga perkembangan filsafat di dunia Islam. Kondisi ini diikuti oleh dinasti-dinasti setelah Saljuk seperti Mamluk, Ayyubiyah dan Turki Usmani. Meskipun pada perkembangannya Muslim masih terus menghasilkan karya ilmiah dan filsafat khususnya di tiga kekuatan besar Usmani, Savafid dan Mughal, namun kualitasnya mengalami penurunan signifikan, bahkan kemandekan.
Jalan Panjang Ketertinggalan
Ketertinggalan dunia Islam, menurut Kuru, dimulai pada pertengahan abad ke-11, yaitu ketika serbuan Tentara Salib, Mongol, dan Timur telah benar-benar mengoyak sendi-sendi kekuatan peradaban dunia Islam. Pada masa itu juga, persekutuan ulama dan negara mulai menguat hingga melemahkan tradisi keilmuan dan filsafat. Penerapan sistem iqtha’ yang berimplikasi pada menyusutnya kondisi perekonomian kelompok pedagang dan independensi ulama memaksa mereka untuk mencari pendanaan publik dari negara atau penguasa yang tentu saja mempunyai kepentingan untuk “mengontrol” apa saja di bawah kekuasaan mereka.
Pada saat yang sama, Eropa mulai mengalami transformasi penting di bidang perdagangan dan intelektual seiring dengan munculnya keseimbangan kelembagaan kekuasaan, keberagaman, dan diferensiasi. Reformasi gereja Katolik pada abad ke-11 merupakan satu bagian penting dari perkembangan kelembagaan yang lebih luas. Mulai dibukanya jalur-jalur perdagangan dan ekspedisi makin memudahkan orang-orang Eropa untuk mengembangkan jalur perdagangan dan transformasi intelektual.
Antara abad ke-15 dan ke-17 Eropa mencapai kemajuan di bidang intelektual, ekonomi dan militer. Sayangnya kekuatan besar di dunia Muslim saat itu yang diwakili oleh dinasti Turki Usmani, Safawiyah, dan Mughal tidak tampak serius menanggapi tantangan besar dari bangsa Eropa ini. Kuru melihat bahwa alih-alih menaruh perhatian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, ketiga kekuatan besar ini —terutama Turki Usmani— hanya memperkuat militer dan terus melanggengkan politik ortodoksi bersama ulama.
Kombinasi desentralisasi politik di Eropa telah melahirkan kelas sarjana kreatif dan kelas pedagang dinamis yang memicu kreatifitas dan kemajuan intelektual, ekonomi, dan seni. Johannes Gutenberg (m. 1468) dari Mainz Jerman adalah salah satu contoh ilmuan produk masa itu. Ia menemukan mesin cetak yang kemudian memprakarsai “revolusi cetak” dan menginisiasi Renaissance di Eropa. Sementara itu, di wilayah Turki Usmani percetakan baru berdiri tiga abad kemudian. Persekutuan ulama dan negara dalam politik ortodoksi turut menghambat transformasi teknologi ini di dunia Islam.
Memasuki periode awal abad ke-19 persekutuan tradisional antara ulama dan negara memang mulai melemah, seperti terlihat di kesultanan Usmani dan Mesir. Kekuatan ini digantikan oleh penguasa otoriter yang mendirikan rezim absolut dan menetapkan monopoli negara atas ekonomi. Gerakan reformisme Islam memang muncul pada abad ke-19. Namun menurut kuru, gerakan tersebut belum mampu mengejar ketertinggalan dari Barat. Pada abad ke-20, dunia Islam mewarisi ketertinggalan sosio-ekonomi dan intelektual tersebut. Bahkan, masyarakat Muslim harus menghadapi penindasan politik di bawah para penguasa Muslim yang otoriter. Para penguasa ini enggan untuk berbagi kekuasaan dengan lembaga dan kelas lain, bahkan kurang mengakomodasi perhatian atau kepentingan kelompok intelektual dan pedagang.
Dengan pendekatan sejarah longue durée, Ahmet T Kuru menawarkan perspektif kritis bahwa ketertinggalan dunia Islam lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internal daripada eksternal. Layunya tradisi filsafat, dan munculnya institusi korup dan penguasa otoriter adalah faktor utama di balik tidak berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Menanggapi masalah kontemporer umat Islam, Kuru menekankan bahwa masyarakat Muslim membutuhkan perspektif baru untuk memandang politik dan pemerintahan; mereka memerlukan kaum intelektual yang kreatif dan kelas borjuis yang memiliki komitmen untuk memfasilitasi proyek pengetahuan dan peradaban.
Kontribusi utama Kuru dalam buku ini dapat dilihat dari tawaran cara pandang alternatif dan kritis terkait pertanyaan besar umat Islam: mengapa dunia Islam tertinggal dari peta peradaban dunia? Kuru seolah menegaskan bahwa dunia Islam sekarang masih berjalan di luar jalur pembangunan peradaban karena ulama masih sibuk bersekutu dengan atau ingin mempengaruhi penguasa dalam proyek ortodoksi. Sementara itu, dunia pengetahuan membutuhkan iklim dan atmosfer yang kreatif dan independen untuk dapat terus berkembang dan menawarkan inovasi-inovasi kreatif. Dalam konteks ini, ide-ide kreatif dan kritis terhambat oleh agama atas nama ortodoksi.
Wallahu A’lam.
Leave a Reply