Judul : Seandainya Kau Berbicara, Desdemona (Terjemahan dari Wenn du geredet hattest, Desdemona)
Penulis : Christine Bruckner
Penerjemah : Dian Ekawati
Penerbit : Yayasan Jungkir Balik Pustaka Indonesia
Cetakan : I, 2019
Tebal : 165 halaman
ISBN : 978-602-61744-2-0
Terdapat sebuah pepatah ‘unik’ dalam budaya Jawa tentang sosok perempuan, yakni suwargo nunut, neroko katut yang berarti bahwa perempuan dimasukkan surga karena ikut kebaikan suami dan dimasukkan neraka sebab terseret keburukan suami. Pepatah ini mengindikasikan bahwa perempuan hanya berperan sebagai ‘angka ikut’, tak bisa bersuara kecuali hanya anggukan sebagai lambang persetujuan. Kondisi seperti ini agaknya relevan dengan 14 monolog karya Christine Burker yang terangkum dalam buku Seandainya Kau Berbicara, Desdemona. Buku ini merupakan hasil kerja sama antara Yayasan Jungkir Balik Pustaka Indonesia dengan Hoffman und Campe Verlag, Hamburg.
Sebagai sebuah naskah yang hanya ‘dikuasai’ oleh satu tokoh ⸻dalam pementasan dramanya sendiri disebut sebagai aktor tunggal⸻, monolog cenderung membuat sang tokoh utama lebih leluasa (sekaligus harus bertalenta) dalam mengekspresikan pikirannya. Sang tokoh utama⸻dan satu-satunya⸻dalam monolog tak perlu ‘sungkan’ dengan perasaan tokoh lain, tak perlu ‘takut’ dengan respons tokoh lain, dan tak perlu ‘repot-repot’ dengan pembagian peran. Oleh sebab itu, Christine Bruckner memanfaatkan kelonggaran ini untuk meneriakkan suara hati tokoh-tokoh perempuan yang terkenal dalam sejarah dunia, karya sastra, dan mitologi. Sebut saja seperti Christiane von Goethe yang merupakan istri dari Johann Wolfgang von Goethe, Desdemona yang merupakan satu di antara karakter dalam drama William Shakespeare, dan Klytemnestra yang merupakan istri Raja Mykene dalam mitologi Yunani.
Di antara teriakan-teriakan tokoh-tokoh perempuan legendaris tersebut adalah pernyataan Christiane von Goethe dalam memaknai arti cantik lewat kalimat Aku tidak cantik, tapi yang cantik itu sepertinya hanya ada di buku-buku dan di panggung (halaman 11). Christine Burker melalui Christiane von Goethe agaknya ingin menegaskan bahwa perempuan tidak perlu risau jika dianggap tidak cantik, sebab kulit yang mulus; lekuk tubuh yang indah; pipi yang merah merona; dan segala standar cantik lainnya hanya ada di dalam cerita & pementasan drama. Tak ada kesempurnaan yang hakiki dalam diri seorang perempuan. Hanya karena sang lelaki menginginkan pasangan dengan postur tubuh yang ideal, seorang perempuan harus rela tersiksa dengan diet ketat. Sekali lagi perlu ditegaskan, laki-laki dan perempuan sudah seyogyanya menyadari bahwa cantik hanya ada di dalam dunia fiksi.
Teriakan lainnya datang dari Desdemona yang memberondong Jenderal Othello dengan pertanyaan-pertanyaan retoris dalam monolognya, yang berupa Kau sudah memukul wajah seorang gadis dari Venesia. Siapa kau, hingga merasa boleh melakukannya? Apakah karena kau hanya punya tangan? Apakah kau hanya berpikir dan merasa dengan tanganmu?….. Apakah di kepalamu yang besar itu hanya ada otak yang kecil? Apakah di tubuhmu yang gagah itu juga hanya ada hati yang kecil? (halaman 13-14). Kali ini Christine Burker lewat Desdemona ingin memberikan sindiran bernada ironi-sarkasme⸻disebut ironi karena penyampaiannya kontradiktif, yakni laki-laki disebut hanya memiliki tangan dan menggunakannya untuk berpikir sekaligus merasa. Sementara disebut sarkasme karena menggunakan kalimat cemoohan dengan menyebut di sebuah kepala yang besar hanya memiliki otak yang kecil⸻ terhadap kaum laki-laki yang sering melakukan kekerasan terhadap perempuan. Laki-laki yang dianugerahi tubuh gagah dan besar, tetapi memiliki hati yang kecil karena tega menampar pipi perempuan yang dulunya sering dibelai & dicium.
Kritik terhadap budaya patriarki juga tidak luput dari bahasan Christine Burker lewat monolog Katharina Luther yang berupa Kau dilukis lebih besar dan lebih berkuasa daripada dirimu sesungguhnya. Dan untukku, dia melukisku lebih kurus dari sosokku sebenarnya. Itu yang selalu dilihat orang. Lalu orang-orang akan berkata, bahwa dalam suatu pernikahan memang biasanya hanya ada satu orang saja yang berkembang dan maju (halaman 25). Lewat kutipan ini, tampak jelas bahwa Aku (perempuan yang bernama Katharina Luther) selalu kalah dengan Kau (laki-laki yang bernama Martin Luther, suami dari Katharina Luther). Perempuan dalam pandangan masyarakat umum masih dianggap berada di bawah bayang-bayang lelaki. Perempuan sering kali ‘dikecilkan’ dari kebesarannya dan ‘dilemahkan’ dari kemampuannya, bahkan saat perempuan dan laki-laki bersatu dalam ikatan suci, hanya satu yang dipandang tetap mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Mirisnya, Christine Burker tak perlu menyebutkan dengan gamblang siapa sosok yang dianggap selalu menang itu, karena kebanyakan orang sudah meyakini hal itu sejak dulu.
Pertanyaannya, akankah kegelisahan Christine Burker ini akan terus berlanjut?
Leave a Reply