Menelisik Akar Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

/
/

Menelisik Akar Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Kekerasan Seksual memang bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, bahkan siapa saja dapat berpotensi menjadi pelaku atau korban kekerasan seksual. Termasuk juga perguruan tinggi sebagai tempat menimba ilmu juga bisa menjadi sarang adanya kekerasan seksual. Menurut survei Kementrian Pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) perguruan tinggi menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15%), setelah jalanan (33%), dan transportasi umum (19%).

Tidak hanya itu pengaduan kekerasan seksual pada lingkungan perguruan tinggi semakin hari semakin meningkat. Berdasarkan laporan yang diterima Komisi Nasional Anti Kekerasan terbadap Perempuan dalam kurun waktu 2015-2020 telah terjadi pelecehan seksual sebanyak 27% di perguruan tinggi. Deretan-deretan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi seperti fenomena gunung es yang tak kunjung menemui titik terang dan sukar terungkap menjadi keprihatinan bersama. Tidak hanya sulit untuk dibuktikan keberadaannya, tetapi juga memiliki dampak yang besar dan jangka panjang terhadap korban.

Semakin maraknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi akan berdampak pada kurangnya optimalisasi pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi serta menurunnya kualitas kepercayaan pada perguruan tinggi. Padahal seharusnya perguruan tinggi dapat mengambil andil dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Menurut pandangan Foucault, kekerasan seksual dapat terjadi karena beberapa faktor penting diantaranya kekuasaan, konstruksi sosial, dan target kekuasaan. Jika ketika faktor tersebut bekerja, maka kekerasan seksual akan riskan terjadi. 

Selain itu terdapat beberapa penyebab terjadinya kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yaitu: pertama, adanya budaya patriarki yang mengakar kuat di Indonesia. Adanya budaya patriarki menimbulkan stereotip atau anggapan negatif kepada perempuan. Menurut data simfoni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2021) terdapat 18.435 kasus kekerasan, 86% korbannya adalah perempuan. Sistem sosial patriarki tersebut menjadikan laki-laki memiliki hak istimewa terhadap perempuan. Atas dasar hak istimewa tersebut, maka laki-laki merasa berhak untuk mengeksploitasi tubuh perempuan. Sistem patriarki ini juga menimbulkan kerugian karena dianggap menghalalkan kekerasan seksual.

Kedua, kurangnya pemahaman konsep kekerasan seksual. Salah satu faktor yang melanggengkan kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah kurangnya pemahaman mahasiswa tentang kekerasan seksual maupun pelecehan seksual. Akibatnya banyak mahasiswa yang tidak menyadari jika dirinya sudah mengalami kekerasan seksual karena menganggap wujud kekerasan seksual hanyalah pemerkosaan. Padahal pelecehan seperti penggunaan istilah seksis yang membuat tidak nyaman sering terjadi di lingkungan perguruan tinggi namun cenderung mudah diabaikan atau kurang dipahami oleh mahasiswa. Jika hal tersebut terus dilanggengkan, maka mengakibatkan mahasiswa yang kurang responsif terhadap isu kekerasan seksual. 

Ketiga, adanya relasi yang timpang antara korban dan pelaku kekerasan seksual. Relasi kuasa yang timpang tersebut menunjukkan bahwa pelaku memiliki kuasa yang lebih dibanding korban. Misalnya kekerasan seksual yang dialami mahasiswa oleh dosen. Perjuangan para korban untuk menyuarakan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya kerap kali menemui jalan buntu karena kuatnya relasi kuasa antara pelaku dna korban. Tak jarang relasi kuasa justru membantunya bebas dari hukuman yang sepantasnya diterima. 

Efek yang ditimbulkan dari ketimpangan relasi kuasa dapat memengaruhi sikap korban dalam mengambil keputusan untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Sehingga tak jarang banyak korban kekerasan seksual yang enggan untuk melaporkan kasusnya.

Keempat, minimnya laporan atas kekerasan seksual. Fenomena ini sering disebut dengan fenomena gunung es, yaitu kasus di permukaan belum tentu mencerminkan jumlah kasus yang sebenarnya terjadi di lapangan. Banyak korban yang tidak melaporkan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi karena masih adanya ketakutan dari korban serta tidak adanya regulasi yang mengatur secara jelas tentang kekerasan seksual di perguruan tinggi. 

Selain itu penjaminan keadilan dan perlindungan kepada korban yang mampu menguak serta menyuarakan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Alih-alih mendapatkan keadilan dan perlindungan, korban sering diragukan penjelasannya, dipermalukan, disalahkan, atau dimintai untuk berkompromi demi menjaga nama baik institusi atau pelaku.

PERMENDIKBUD RISTEK NO. 30 TAHUN 2021 Sebagai Langkah Awal Memutus Rantai Kekerasan Seksual Di Perguruan Tinggi

Untuk memutus rantai kekerasan seksual di perguruan tinggi maka diperlukan regulasi yang jelas tentang langkah-langkah untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Perlu adanya payung hukum untuk memberantas rentetan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Salah satunya adalah Peraturan Menteri pendidikan dan kebudayaan Ristek No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Meskipun perjalanan peraturan tersebut sudah hampir satu tahun, namun masih sedikit perguruan tinggi yang sudah mengimplementasikannya. Padahal Permendikbud tersebut dapat dijadikan pedoman bagi perguruan tinggi untuk mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Dengan mengedepankan prinsip kepentingan korban, keadilan dan kesetaraan gender, kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabilitas, independen, kehati-hatian, konsisten, dan jaminan ketidakberulangan. Aturan tersebut seharusnya mampu menekan jumlah kekerasan seksual di perguruan tinggi.

kurang masifnya penerapan atas disahkannya Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 ini menjadi tugas bersama civitas akademika seluruh perguruan tinggi di Indonesia sebagai upaya memutus mata rantai kekerasan seksual di perguruan tinggi. (IM)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *