Dari tiga tradisi Yahudi, Kristen, dan Islam, yang pertamalah yang menempatkan Miriam sebagai sosok penting. Hal ini dapat dimengerti karena Nabi Musa adalah sosok sentral dalam ajaran Yahudi. Karena itu, menggali sosok Miriam, perlu membaca Perjanjian Lama atau Taurat. Di Qur‘an, bahkan namanya tidak disebutkan, begitu juga kisah detailnya.
Saya tidak akan menyebut ayat-ayat di Kitab Suci dengan detail, tetapi pada inti dan kronologi kisah Miriam. Saat berusia 7 tahun, dia mendapat ‘prophecy’ atau ilham bahwa ibunya sedang mengandung bayi yang akan memimpin pembebasan Bangsa Israel dari perbudakan Bangsa Mesir yang sudah berjalan 400 tahun.
Ibu-bapaknya (Sayyidah Yukabid/ Yochebed dan Sayyidina Imran/ Amram) antara percaya dan tidak percaya dengan ilham yang diceritakan Miriam, apalagi was-was karena Firaun memerintahkan untuk membunuh bayi laki-laki dari Bani Israel. Oh ya, tolong jangan tercampur dengan Sayyidah Maryam binti Imran, ibu dari Nabi Isa. Pada salah satu ayat di dalam al-Qur‘an, Sayyidah Maryam ibunda Nabi Isa disapa Bangsa Israel sebagai “Yaa Ukhta Haarun”, wahai saudara perempuan Harun, padahal ada 14-15 generasi berbeda antara Harun dan Maryam.
Ukhta Harun pada ayat ini bermakna dua: (1) Perempuan Bangsa Israel disebut sebagai ukhta Harun karena Harun adalah orang saleh dan terkenal dari Bani Israel; sebagaimana misal orang Uni Emirat Arab menyebut dirinya sebagai akhwa Syammah (saudara laki-laki Syammah, sosok yang dikenal luas pada suatu masa dan berasal dari Emirat). Begitu juga orang Saudi menyebut dirinya ukhta Nuura (saudara perempuan Nuura), padahal Nuura ini bukan dari masa sekarang.
Makna kedua yang lebih penting (2), ukhta Harun bermakna Maryam dan Harun ‘bersaudara’ karena selevel/ mirip dalam keimanan/ peribadatan, biarpun bukan saudara kandung, bahkan beda masa cukup jauh.
Maka lahirlah Musa kira-kira tahun 1400 SM. Hukum membunuh bayi laki-laki pada masa itu tidak berlaku misal untuk etnik Mesir. Ketika Musa lahir, Bangsa Israel sudah 400 tahun berada dalam perbudakan di bawah kekuasaan Bangsa Mesir yang dipimpin Firaun. 400 tahun ini sekaligus adalah jarak kira-kira antara Nabi Yusuf dan Nabi Musa A.S. Sebagaimana Nabi Musa, Nabi Ya’kub dan Nabi Yusuf tentulah orang Hebrew (Bani Israel). Ketika Nabi Yusuf menjadi perdana menteri Mesir, maka kepada saudara-saudaranya diberikan ijin untuk tinggal di Goshen, Mesir. Di Goshen inilah, bayi Musa lahir.
Bayi Musa berusia 3 bulan, ketika tentara-tentara Firaun dikerahkan ke Goshen untuk membunuh bayi-bayi laki-laki Bani Israel. Firaun membuat perintah ini bukan semata karena mimpi bahwa akan ada laki-laki Bani Israel yang mengalahkannya. Tetapi, ada evidence-based policy, berhubung populasi Hebrew meningkat tajam. Membunuh bayi laki-laki adalah sistem KB ala Firaun. Kejam dan tidak manusiawi memang, tetapi saat itu belum ada teknologi KB.
Kemudian Allah ‘mewahyukan’ kepada Ibu Nabi Musa untuk menghanyutkan bayi itu ke Sungai Nil. Al-Qur’an menggunakan kata ‘auhaina’, “kami mewahyukan”. Kata yang sama juga digunakan kepada lebah dan para nabi, tentu bukan berarti bahwa ‘wahyu’ kepada ibu Musa, kepada lebah, dan kepada nabi itu sama.
Dari pinggir sungai, gadis kecil 7 tahun itu mengikuti keranjang bayi yang tak lain adalah adiknya. Al-Qur’an menggambarkan bahwa Sayyidah Asiyah yang solihah, istri Firaun, yang memungutnya dari sungai. Sedangkan Perjanjian Lama dan Taurat mengisahkan Putri Firaun yang sedang sakit kulit sedang berendam di Sungai Nil, ketika keranjang bayi itu sampai kepadanya. Penyakit kulitnya seketika itu juga sembuh. Tetapi dari fisik bayi, dia tahu ini bukan bayi Bangsa Mesir, tetapi bayi Hebrew.
Maka mendekatlah Miriam. Gadis kecil ini, atas petunjuk Allah, dengan berani (atau dengan kepolosan anak-anak), menyelamatkan adiknya. Dia bernegosiasi kepada Sang Puteri: “Bukankah Anda sudah menyaksikan mukjizat? Dia ini bayi Hebrew, biarlah aku carikan Ibu susu dari Bani Israel.” Maka begitulah, bayi Musa kembali ke pangkuan Ibunya selama masa persusuan, sebelum kembali ke Istana Firaun sebagai Prince of Egypt.
Ketika tiga bersaudara (Miriam, Harun, Musa) beranjak dewasa, turunlah wahyu untuk membebaskan Bangsa Israel. Maka berjalanlah mereka di gurun menuju Laut Merah. Bukan sehari dua hari, tetapi 40 tahun. Maka Allah selamatkan mereka dari kejaran Firaun dan tentaranya, ketika Laut Merah terbelah. Di seberang laut, ketika biasanya secara spontan orang-orang akan berpesta-pora sudah selamat dari musuh. Miriam mengambil tamborin (rebana), mengajak semua bersenandung, memuji kebesaran Allah. Bersyukur kepada-Nya.
Selamat dari kekejaman Firaun, mulai terjadi konflik internal antar saudara. Miriam dan Harun resah. Yang pertama, mengapa Musa menikah Tharbis/ Adoniah, perempuan dari Bangsa Cushite (Afrika) dan bukan dengan perempuan Bani Israel. Perempuan yang dimaksud tentu bukan Zippora puteri Jethro (tokoh penting dalam agama Yahudi) yang sesama Bani Israel. Zippora/ Tziporah lebih dikenal luas sebagai istri Musa.
Yang kedua, mengapa hanya Musa yang diberikan keistimewaan berbicara langsung kepada Allah? Bukankah Miriam dan Harun juga hamba yang baik? Bukankah Miriam sudah menyelamatkan Musa saat bayi, dan memimpin bangsa Israel khususnya kaum perempuan untuk bersyukur, beribadah kepada-Nya? Bukankah Musa ini penuh kekurangan, karena cadel, tidak lancar berbicara sehingga minta diperkuat Harun yang fasih? Bukankah Musa tidak sabaran (kisah dengan Khidir) dan juga pemarah? (saat memegang kepala dan janggut Harun, yang dianggap tidak becus mengurus umat sehingga menjadi ingkar, ketika ditinggalkan ke Bukit Thursina selama 40 hari). Sampai-sampai, Harun harus meredam kemarahan adiknya dengan berkata: Yabna Umm (wahai putera ibuku, ingatlah ibuku dan ibumu, kita ini bersaudara).
Tidak lama berselang, turunlah wabah lepra. Miriam termasuk salah satu yang terinfeksi. Perjalanan mereka ke Tanah suci yang dijanjikan pun terhenti. Harun berduka untuk penderitaan yang dialami kakaknya. Dia pun berbicara ke Musa, supaya berbicara kepada Allah memohonkan ampunan untuk dirinya dan Miriam. Maka Allah kabulkan doa Kalimullah. Tetapi, Miriam harus menjalani karantina 7 hari sebagai masa pembersihan/ penyembuhan di dalam kemah/ tenda, terpisah dari komunitasnya. Pembersihan dari lepra. Penyembuhan dari penyakit hati. Jadi, pada masa itu pun, sudah dikenal konsep karantina untuk wabah/ plaque, jauh sebelum masa Ibnu Sina yang memperkenalkan konsep karantina 40 hari untuk penyakit.
Allah nampakkan Kasih-Sayang-Nya, Kelembutan-Nya, Pengampunan-Nya kepada Miriam dan Harun. Bahwa memang hanya kepada Musa yang tidak sabaran dan pemarah itu, Dia berbicara langsung. Tetapi sesungguhnya, Dia juga menyapa Miriam dan Harun lewat cara yang lain. Masing-masing diberikan peran istimewa/ misi yang berbeda. Orang yang terinfeksi wabah lepra saat itu hampir semua tidak sembuh, memutih, pucat, menunggu kematian. Tetapi, Tuhan berikan pengecualian kepada Miriam.
Maka dilanjutkanlah perjalanan ke Tanah yang dijanjikan. Anggota kafilah tidak ingin meninggalkan Miriam. Mereka menunggu sampai dia sembuh. Karena tanpa Miriam, sosok pemimpin yang mereka cintai, maka mereka kehilangan pondasi penting.
Beberapa tahun kemudian, tiga bersaudara itu wafat. Sumur-sumur sumber air di Kadesh, dikisahkan mulai mengering ketika Miriam wafat. Selama dia hidup, sumber mata air di gurun tidak pernah kering, seolah-olah itulah berkah fisiknya di dunia. Kisahnya banyak terkait air: membuntuti adiknya di Sungai Nil, bersama dua saudaranya membelah Laut Merah, dan mengering mata air/ sumur di Kadesh setelah wafatnya.
Miriam adalah satu dari tujuh perempuan yang disebut sebagai Prophetess (Nabi perempuan) dalam tradisi Yahudi. Tidak sama dengan Nabi laki-laki, tetapi untuk menunjukkan ketinggian derajat mereka. Dalam salah satu hari raya umat Yahudi, yaitu Passover, yang diperingati selama seminggu di musim semi, adalah peringatan terbebasnya Bangsa Israel dari Firaun, dimana Miriam menjadi salah satu sosok sentral.
Nah, sekarang kita sedang menghadapi wabah covid. Kita sudah menjalani isolasi di rumah, karantina, atau apapun namanya yang merupakan tradisi para Nabi, entah di Thursina, di perut paus, di gua Hira, dan pengasingan diri/ perjalanan ke dalam diri yang lain. Boleh jadi, covid ini adalah perantaraan supaya kita melakukan tradisi di atas yang jarang dilakukan di dunia modern. Tetapi, sebagaimana Miriam, perlu ada kedisiplinan yang kuat jika ingin kita dan keluarga ingin tetap sehat.
Leave a Reply