Di sebuah tempat kopi dekat persawahan, dengan pemandangan yang menyegarkan mata, ditambah dengan buku-buku, saya mencoba berani datang ke tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya. Di tempat tersebut, saya memesan sebuah pisang goreng dengan satu cangkir kopi susu. Rasanya enak sekali ditambah dengan posisi buku di tangan dengan kegiatan membaca di sore itu. Peristiwa tersebut kemudian ambyar ketika teman perempuan yang saya tunggu datang. Kami berjumpa untuk saling bersama rindu karena sudah tidak bertemu dalam waktu yang cukup panjang.
Di tengah perbincangan hangat itu, ada kalimat yang kemudian mengagetkan saya,
“Jadi perempuan itu tidak mudah, saya berani mendobrak budaya dan lingkungan keluarga yang pada saat umur 21 tahun dicerca karena belum kunjung menikah. Sampai saat ini usia 30 tahun, kemudian saya memutuskan menikah karena sudah siap. Selama rentang 9 tahun dalam pertanyaan kapan menikah, saya melakukan banyak hal. Mulai dari belajar, bertemu dengan banyak orang, mengetahui berbagai hal termasuk saya mendapati diri bahwa menikah itu butuh kesiapan yang sangat matang,” ungkapnya.
Saya cukup memperhatikan kalimat tersebut dengan sikap yang hampir sama dengan pengalaman semacam itu. Tentu, penentangan yang dialami oleh perempuan untuk mendapatkan kesempatan belajar, dan mengekspresikan kesukaan dan pilihan hidupnya, sangat berat. Privilege bukan hanya berarti pada sebuah kekayaan dan harta berlimpah, akan tetapi juga kesempatan untuk memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh akses pendidikan dan kehidupan yang sesuai dengan pilihan masing-masing.
Jika melihat ungkapan di atas, 9 tahun adalah waktu yang sangat panjang untuk menemukan diri sendiri. Pengalaman menjadi seorang perempuan diniatkan sebagai pencarian jati diri. Namun, jika dibandingkan dengan pengandaian bahwa ia akan menikah dalam umur 21 tahun, barangkali selama 9 tahun pernikahan sudah memiliki 3 anak. Namun, perbandingan semacam itu sangatlah tidak etis. Sebab kemungkinan yang terjadi, 9 tahun waktu pernikahan itu dihabiskan dengan tidak bahagia dan ketidaksiapan memiliki anak sehingga merugikan rumah tangga yang sedang dibangun? Kesiapan menikah adalah sesuatu yang sangat urgent untuk dipikirkan dan direncanakan. Selama ini, perempuan tidak diberi ruang untuk memikirkan hal itu karena dianggap bahwa, yang paling berhak memikirkan pernikahan adalah laki-laki. Seperti memilih pasangan, perempuan cenderung menjadi pihak yang dipilih. Sikap pasif dilekatkan kepada perempuan karena sudah dibentuk oleh sosial tentang posisi perempuan yang seharusnya menerima.
Padahal, membangun rumah tangga dalam sebuah kesakralan pernikahan adalah tanggung jawab bersama. Tidak hanya laki-laki, perempuan juga berhak menetukan calon dan memilih kriteria pasangannya. Kesalingan semacam ini, tidak dimiliki oleh orang tua kita yang masih menganggap bahwa, perempuan kodratnya menerima dan dipilih.
Perempuan-perempuan yang berani mendobrak stigma, kontruksi budaya, adalah perempuan berani yang menanggung resiko. Sebab ia tidak hanya menentang semesta, akan tetapi juga menentang garis takdir yang sudah diukir oleh budaya patriarki. Bayangkan saja, kita sebagai perempuan berani mendobrak standart sosial untuk menikah, tapi kita memilih menunda pernikahan karena kesiapan. Ini normal sosialnya berat, pertanyaan sedang bekerja dimana, bersama siapa, ataupun stigma terlibat pergaulan bebas apabila menjadi perantau, akan dilekatkan kepada perempuan oleh masyarakat.
Tidak hanya itu, kita juga sangat perlu untuk melakukan komunikasi intens dengan orang tua,berbagi visi hidup, keinginan bahkan hidup jangka panjang. Sebab pengalaman yang diperoleh oleh orang tua dengan anak sangat berbeda dikarenakan perbedaan zaman, perkembangan teknologi, serta pengalaman hidup.
Makanya tidak heran, mengapa sering saya temui, anak-anak perempuan di daerah, khususnya daerah saya, di Madura, memiliki keinginan menikah setelah SD berdasarkan niat pribadinya tanpa paksaan. Sebab pengalaman kehidupan di lingkungannya, belum memiliki role model untuk dijadikan panutan di masa depan. Tidak hanya itu, anak perempuan ini tidak mau ambil pusing dengan sebuah komunikasi intens yang harus dilakukan kepada orang tua, akses yang tidak tahu akan kemana untuk melanjutkan pendidikan, hingga pemikiran yang instan bahwa, solusi dari segala permasalahan adalah pernikahan.
Benar memang, posisi perempuan dan laki-laki adalah sesuatu hal yang sangat berbeda. Jika laki-laki tidak perlu menunjukkan kemampuannya untuk dianggap bisa, maka perempuan harus menunjukkan prestasi dan menjadi luar biasa agar lingkungan mengamini bahwa dirinya bisa. Maka ketika kita mendobrak standart sosial, berarti kita sedang memperjuangkan jati diri kemanusiaan dalam diri kita.
Leave a Reply