Salah satu bagian dari tradisi di Mesir adalah‘zaghrudah’ di mana perempuan menyuarakan lengkingan dengan nada tinggi saat momen-momen emosional tertentu. Tekniknya secara kira-kira adalah dengan bersuara tinggi sambil menggerakkan lidah dengan cepat. Biasanya hal ini dilakukan sambil mengangkat telapak tangan yang menghadap bawah dan meletakkannya di depan muka, di antara mulut dan hidung.
Suara yang muncul dari zaghrudah kira-kira begini; “ululululululululeiy.” Dari suara inilah, zaghrudah dalam Bahasa Inggris disebut sebagai ululation. Sementara itu, kata kerja dalam Bahasa Arab untuk zaghrudah adalah zaghrada dan kata kerja dalam Bahasa Inggris untuk ululation adalah to ululate.
Sebenarnya Zaghrudah bukanlah tradisi yang terbatas hanya ada di Mesir, namun juga di negara-negara Arab maupun Timur Tengah secara umum, bahkan Afrika dan Asia Selatan. Ada beberapa variasi nama dalam Bahasa Arab untuk zahgrudah semisal zagharid, zahrutah atau zagharit. Terdapat juga nama lain seperti halhulah atau ghatrafah.
Ahmad Amin, penulis Mesir yang terkenal dengan buku ‘Fajr al Islam’, punya penjelasan soal zaghrudah. Ia menuliskan penjelasannya ini dalam karya ‘Qamus al Adat wa at Taqalid wa at Ta’abir Al Misriyyah’, yang berisi tentang pemaparan macam-macam tradisi dan kebiasaan rakyat Mesir.
Dalam buku ini Ahmad Amin menjelaskan bahwa zaghrudah adalah kebiasaan yang dilakukan perempuan Mesir saat berada dalam momen bahagia semacam pernikahan atau momen sedih semisal saat mendengar kabar buruk. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa Zaghrudah pun dibunyikan saat seseorang telah pulang dari menjalankan ibadah haji.
Memang demikian, zaghrudah dilengkingkan demi mengungkapkan perasaan baik bahagia maupun duka. Zaghrudah terdengar saat datangnya kabar gembira, momen kelahiran anak, pesta pernikahan, khitanan, keberangkatan maupun kepulangan haji, juga maulid Nabi Muhammad SAW. Dalam momen kesedihan semisal datangnya kabar duka atau penyambutan jenazah pahlawan, zaghrudah juga terdengar dibunyikan
Kilas Balik Zaghrudah
Dalam buku ‘Riyad al Ma’rifah’, Abdullah Abu Alam menyebut bahwa zaghrudah sudah ada pada masyarakat Arab di masa pra Islam. Menyitir para peneliti sejarah, ia menyatakan bahwa zaghrudah bermula dari tiruan perempuan atas suara unta yang khas saat hewan ini merasa kenyang. Apabila zaghrudah berhubungan dengan unta, ini tidak kemudian bermakna negatif. Justru karena unta adalah peliharaan yang begitu berharga dan berarti penting bagi kehidupan masyarakat Arab, maka perempuan menciptakan mimik atas ekspresi kebahagian hewan itu.
Selanjutnya zaghrudah berkembang tidak hanya untuk mewakili rasa bahagia, namun juga beragam perasaan yang lain. Kebiasaan perempuan turut hadir di dalam peperangan bersama para pria di zaman pra Islam misalnya, pun tak lepas dari zaghrudah. Sebagai bentuk penyemangat atau curahan emosi dalam suasana perang, para perempuan melengkingkan zaghrudah mereka.
Dalam pengalaman pribadi saya di Mesir, ada dua momen terdengarnya zaghrudah yang berkesan dan berbekas dalam memori. Momen pertama adalah saat sedang ‘bulusukan’ jalan kaki melewati Jalan Asyraf menuju Masjid As Sayyidah Nafisah setelah menyusuri situs bersejarah Magra al Uyun. Jalan Asyraf ini membelah wilayah pemukiman warga masyarakat kelas biasa, bukan kelas sosial menengah ke atas
Pemukiman ini bahkan masih termasuk dari wilayah yang disebut Cairo Necropolis atau City of The Dead di mana area pemakaman yang sangat luas menyatu dengan tempat tingal para warga yang tampak kering dan berdebu. Dalam Bahasa Arab, area ini disebut sebagai Al Qarafah yang terdiri dari Al Qarafah Al Kubra dan Al Qarafah As Sughra. Jalan Asyraf yang saya lintasi sendiri termasuk dari bagian Al Qarafah As Sughra, tempat terdapatnya makam Al Imam As Syafi’I dan para ahli bait Nabi.
Saat melintasi sebuah kerumunan, tiba-tiba terdengar paduan suara zaghrudah dari sekumpulan ibu-ibu. Satu di antara mereka melambai-lambaikan sepotong kain putih dengan noda merah. Rupanya baru ada acara pernikahan dan si ibu tadi sedang merayakan kegembiraan atas status mempelai perempuan yang masih perawan saat menikah, terbukti dari adanya noda darah selaput dara.
Momen kedua adalah saat ribut-ribut antara Mesir dengan Aljazair dalam urusan sepakbola. Dua negara ini adalah seteru abadi dalam perebutan wakil Benua Afrika di perhelatan Piala Dunia. Waktu itu di tahun 2009, kedua negara ini juga mesti bertanding demi tiket untuk berlaga di Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Pada pertandingan pertama di bulan Juni, Aljazair berlaku sebagai tuan rumah dan berhasil mengalahkan Mesir.
Pada pertandingan kedua di bulan November, Aljazair ganti betandang ke Mesir. Namun saat tim Aljazair menuju hotel dari bandara Kairo, bus yang mereka tumpangi mengalami insiden pelemparan batu hingga kaca pecah. Ada beda klaim atas kejadian itu antara Mesir dengan Aljazair. Namun yang pasti, saya menyaksikan di layar televisi bagaimana tim Aljazair menumpahkan kemarahannya di depan kamera wartawan yang ada di lobi hotel.
Sejurus kemudian, mereka bersama menyanyikan yel-yel “one two three, viva l’Algerie” secara berulang-ulang dengan begitu emosional. Tiba-tiba terdengar zaghrudah yang menyaingi yel-yel Aljazair tadi. Nasionalisme perempuan Mesir yang ada di lobi hotel nampaknya terpancing saat ia menyaksikan ‘musuh’ negaranya meneriakkan yel-yel. Pertandingan kedua ini pun berhasil dimenangkan Mesir dan diikuti pesta warga yang begitu meriah di jalan-jalan.
Karena poin sama kuatnya, maka Mesir dan Aljazair harus mengikuti pertandingan ketiga yang diadakan di Sudanbeberapa hari kemudian. Namun akhirnya di pertandingan kali ini Mesir harus menderita kekalahan dan gagal melaju ke Piala Dunia 2010.
Zaghrudah Kini
Kebanyakan zaghrudah yang saya dengar dan saksikan adalah berasal dari sosok ‘emak-emak’ Mesir dengan busana khas mereka; ‘abayah atau baju panjang warna hitam serta penutup kepala yang berwarna hitam pula. Busana macam ini adalah busana biasa dari perempuan kebanyakan di Mesir, bukan busana perempuan kelas menengah nan modis dan chic.
Bagi golongan perempuan kelas menengah ke atas, zaghrudah mungkin dipandang bukan sebagai simbol kelas mereka. Sementara bagi perempuan muda, zaghrudah mungkin dipandang sebagai perkara yang ketinggalan jaman dan khas perempuan tua.
Mungkin kita bisa melihat Shakira, si penyanyi yang punya darah Libanon, melengkingkan zaghrudah pada acara Super Bowl Halftime Show 2020. Di media sosial seperti YouTube pun kita akan menemukan video-video yang berisi perempuan Arab berusia muda yang melengkingkan zaghrudah. Namun demikian, semua itu nampak sekedar untuk seru-seruan saja.
Bagi kelompok Muslim puritan, zaghrudah juga dipandang sebagai perkara negatif., bahkan menjadi salah satu faktor penguat atas diharamkannya kegiatan Maulid Nabi. Bagi mereka, peringatan peristiwa kelahiran Nabi Mumammad ini menjadi haram bukan hanya karena tidak ada tuntunan di zaman Nabi. Lebih dari itu, Maulid Nabi menjadi haram karena kerap disertai hal-hal negatif termasuk lengkingan zaghrudah dari para perempuan.
Terlepas dari semua hal ini, para perempuan itu tetap membubungkan lengkingan zaghrudah mereka. Lewat zaghrudah, mereka mencurahkan perasaan dari hati yang paling dalam, di tengah bising hidup yang diwarnai hiruk-pikuk isu sosial, ekonomi, politik, keagamaan dan seterusnya.
Leave a Reply