Saya dan suami sudah terbiasa mendampingi anak-anak belajar di rumah. Jadi memang tidak terlalu banyak perubahan di rumah tangga kami perkara belajar. Entah belajar daring atau luring. Dalam tulisan ini saya mencoba merefleksikan pengalaman kami.
Dua hal penting bagi orang tua dalam mendampingi anak belajar:
- Menentukan ekspektasi dan tujuan belajar
- Mengetahui batas kemampuan kita
Anak-anak kami sudah terbiasa belajar mandiri (ini juga hasil latihan bertahun-tahun). Biasanya mereka datang minta bantuan ke saya atau ayahnya hanya ketika sudah menemukan jalan buntu. Sebelum mulai membantu, kami tanyakan tujuan belajarnya terlebih dahulu: mengerjakan PR, mengerjakan tugas/proyek, menyelesaikan masalah, membantu brainstorming ide, atau memahami sesuatu. Dari sini terlihat berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mendampingi dan apa strateginya. Kalau perlu perhatian penuh dan saya sedang sibuk ya bisa ditangguhkan di lain waktu atau hari berikutnya, atau di akhir pekan. Karena itu saya selalu wanti-wanti ke anak, jangan mepet kalau ngerjain tugas atau minta tolong. Atau strateginya adalah selalu menawarkan bantuan ketika kita punya waktu luang.
Ekspektasi kita akan hasil belajar anak juga sangat mempengaruhi sikap kita dalam membantu mereka. Seharusnya orang tua sudah tahu minat anaknya apa dan kelebihan anaknya di bidang apa. Setiap anak unik dan kita tidak bisa berharap anak akan excel di segala bidang.
Anindya putri pertama kami masuk kelas 5 SD ketika kami pulang ke Indonesia dari Australia. Waktu itu ekspektasi kami hanyalah dia mendapat teman bermain di sekolahnya, bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan tumbuh ‘normal’. Kami sengaja cari sekolah yang bisa mendukung dan membantu tujuan kami. Kami tidak memaksa Anindya untuk segera mengejar ketertinggalannya dalam mata pelajaran, terutama bahasa Indonesianya yang masih amburadul.
Hal yang sama terjadi pada Ayesha, adiknya, yang juga pulang ke Indonesia dari Jerman ketika dia kelas 5 SD. Sekarang dia sudah kelas 6, dan belum pernah bertemu teman-temannya luring. Berbeda dengan kakaknya, Ayesha cukup mudah berteman. Perkara adaptasi kami anggap beres, tinggal fokus ke mapel yang perlu dibantu. Kemarin saya mendampingi Ayesha mengerjakan tugas Bahasa Indonesianya. Reading comprehension dia sudah bagus karena dia sudah terbiasa membaca dan memahami dalam Bahasa Inggris dan Jerman. Dia hanya perlu tambahan kosakata (dia nggak tahu artinya rabun senja, misalnya) dan dibantu memperbaiki tata kalimat dalam penulisan, karena masih sering terbalik-balik karena berpikirnya dalam Bahasa Inggris (atau kadang Jerman). Kadang saya ingin tertawa mendengar dia salah melafalkan budidaya, pembudidayaan, dan membudidayakan, misalnya, tapi tentu saja saya tahan. Ayesha juga kadang menulis kalimat ajaib, “Di dalam artikel terbahas aku bisa tahu…”
Sebisa mungkin hindari, “Haduh, gitu aja nggak bisa.” Be empathetic to your children.
Yang nggak kalah pentingnya adalah hindari ‘balapan’ dengan anak-anak lain. Cukup lah setiap anak ber-progress setiap hari.
Hal kedua yang perlu diingat adalah tahu dan menerima batas kemampuan kita sebagai orang tua. Nggak mungkin orang tua tahu segala hal yang perlu diajarkan ke anak. Suami saya memang pintar di bidang psikologi, pendidikan, filsafat, matematika, statistika, dll, tapi kemampuan Bahasa Jermannya? Nul putul, hahaha. Waktu tinggal di Jerman, kami hanya bisa mengusahakan buku-buku dan kamus untuk membantu mereka belajar, dan tentu saja dukungan moral. Jadi nggak usah merasa rendah diri atau merasa bersalah kalau kita nggak pinter atau ahli di bidang tertentu. Nggak usah malu atau defensif kalau anak bertanya dan kita nggak tahu jawabnya. Suami selalu menjawab dengan, “That’s a good question. Sayangnya Daddy nggak tahu jawabannya. Ayo kita cari sama-sama.”
Yang perlu kita kuasai adalah bagaimana membantu anak mencari informasi yang benar. Sekarang ini banyak sekali materi belajar yang bisa kita dapatkan dari internet, dari aplikasi belajar, dari buku, bertanya ke guru, bertanya teman yang menguasai bidang tersebut, dan sebagainya. Pastikan aja itu informasi yang benar, bukan hoaks. Bisa juga kita mencari bantuan dengan mendatangkan guru les kalau memang mampu.
Parenting itu enggak gampang, tapi kalau tidak kita usahakan sebaik-baiknya, buah buruknya akan tetap merepotkan kita sampai di hari tua nanti.[]
Leave a Reply