Peringatan Hari Ibu tahun ini barangkali akan menjadi sebuah peringatan yang tak terlupakan, terlebih bagi mereka yang tiap tahun rutin merayakan Hari Ibu meskipun hanya sekadar memberi setangkai bunga kepada sang ibu atau memasang potret ibu di media sosial dengan bubuhan caption yang mengaduk-ngaduk perasaan. Bagaimana tidak, tahun ini kita masih dihadapkan dengan pandemi Covid-19. Virus yang telah banyak memakan korban jiwa, memporak-porandakan seluruh sendi kehidupan, perekonomian, dan kestabilan sosial. Tak ada selebrasi yang menghendaki perjumpaan fisik. Pertemuan-pertemuan dilakukan di ruang maya melalui berbagai aplikasi yang tersedia sebagai pengganti kontak fisik.
Sejarah di kemudian hari memperlihatkan terjadinya pergeseran paradigma terkait pemaknaan Hari Ibu. Anggapan umum, peringatan Hari Ibu dikhususkan untuk peran ibu dalam keluarga (saja). Padahal, peringatan Hari Ibu ditujukan bagi seluruh perempuan baik di lingkup keluarga maupun sosial. Hari Ibu yang memiliki semboyan merdeka melaksanakan dharma yang berarti persamaan hak dan kewajiban antara kaum perempuan dan laki-laki merupakan kesejajaran yang perlu diwujudkan dalam kehidupan bagi keutuhan dan kemajuan bangsa Indonesia.
Jadi, memperingati Hari Ibu itu penting tidak sih? Tentu penting, namun mengetahui sejarah tentang Hari Ibu jauh lebih penting. Lalu menjadi lebih penting lagi dengan menyebarluaskan pengetahuan sejarah tersebut ke publik, misal melalui media sosial agar paradigma bahwa masyarakat terbangun, yakni memperingati hari ibu tidak saja untuk seseorang yang bergelar ibu saja, tetapi untuk seluruh perempuan Indonesia yang telah berjuang dan memperjuangkan hak-hak perempuan.
Selintas Sejarah Hari Ibu
Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Pendopo Ndalem Djayadipura Yogyakarta diadakan Kongres Perempuan Indonesia pertama yang dihadiri 30 organisai wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Kongres tersebut menjadi tonggak awal gerakan perempuan nasional. Digagas oleh tiga tokoh perempuan, yakni Nn. Soejatin, Nyi Hajar Dewantara, dan Ny. Soekonto dengan tujuan untuk menggalang persatuan antaroganisasi perempuan yang sebelumnya cenderung bergerak sendiri-sendiri.
Kongres tersebut mengusung beberapa tuntutan seperti pencegahan perkawinan anak, memberi peluang akses bagi pendidikan perempuan, taklik dalam pernikahan Islam, poligami, tunjangan untuk janda dan anak yatim. Hingga saat ini, para (aktivis) perempuan masih memperjuangkan apa yang dituntut saat itu. Kemudian, presiden Soekarno berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 Tahun 1959 menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu sekaligus hari nasional yang bukan hari libur.
Informasi fakta mengenai sejarah Hari Ibu tersebut, seharusnya membawa pemahaman ulang yang baru. Bagaimana tingginya semangat juang para perempuan kala itu untuk memperjuangkan nasib dan posisi perempuan yang tertindas, termasuk yang terdekat dengan mereka yakni melawan budaya patriarki yang kurang memberi ruang kepada perempuan untuk berorganisasi. Mereka membuktikan dengan segala keterbatasannya menghadiri kongres tersebut.
Apa tujuan memperingati Hari Ibu?
Hari Ibu selama ini diartikan hanya untuk menghargai perempuan sebagai seorang ibu yang telah melahirkan, merawat, dan membesarkan anaknya. Padahal, menilik sejarah di atas, peran perempuan lebih dari itu yakni perjuangan yang lebih luas dalam merebut dan menegakkan kemerdekaan Indonesia.
Tapi sekarang ‘kan kita sudah merdeka? Merdeka dari penjajah memang betul, namun masih banyak hal yang harus dan terus diperjuangkan oleh perempuan untuk mendapatkan haknya. Misal memperoleh ruang aman bagi perempuan terutama di ranah publik, memperoleh kesetaraan dalam hal gaji di dunia kerja/pekerjaan, pendidikan, memperoleh cuti haid, cuti melahirkan, tidak mengobjektifikasi perempuan sebagai kelas kedua setelah laki-laki, tidak menjadikan perempuan sebagai orang yang inferior, dan masih banyak lagi. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diperjuangkan oleh perempuan hingga hari ini. Gerak bersama, menyatukan visi-misi dan saling support adalah sekian cara agar terwujudnya cita-cita dari pendahulu untuk menjadikan perempuan berdaya di tengah-tengah budaya patriarki.
Memperingati Hari Ibu setiap tahun menjadi semacam alarm agar tetap terjaga semangat juang mendapatkan hak-hak perempuan. Caranya bagimana? Bisa dengan membangun kesadaran perempuan Indonesia untuk menggalang kesatuan dan persatuan di antara organisasi-organisasi perempuan. Woman supporting woman.
Tantangan dan peran perempuan dalam peringatan Hari Ibu tahun 2020
Perempuan adalah makhluk multitasking. Ia bisa mengerjakan beberapa hal sekaligus. Oleh karena itu, perempuan memegang peranan penting dalam menghentikan penyebaran virus corona. Mulai dari ranah keluarga misalnya. Membimbing serta mengondisikan anggota keluarga saat berada di rumah hingga menjadi garda terdepan penyembuhan Covid-19 sebagai tenaga medis. Tak jarang para perempuan memiliki peran ganda atau double burden, menjadi istri dan ibu yang harus memastikan anak-anak dan seluruh anggota keluarganya tetap berada di rumah dan membuat suasana nyaman termasuk juga menyediakan makanan bergizi dan seimbang. Ibu juga yang bertugas mengingatkan untuk memakai masker, menjaga jarak, dan selalu mencuci tangan. Ibu dengan anak usia sekolah juga mesti mendampingi anak-anak untuk belajar di rumah dengan memastikan kesehatan dan kebersihan.
Selamat Hari Ibu.
*sumber gambar ilustrasi disasterchannel.com
Silmi Novita Nurman, domisili di Padang. Bisa ditemui di instagram @moratorium_senja atau di facebook Silmi Novita Nurman.
Leave a Reply