Neswa.id-Rasanya baru kali itu saya mendengar ada maktabah atau toko buku orang Jawa di Kairo. Informasi ini saya peroleh dari kakak kelas yang hobi sekali mendalami isu-isu tentang jaringan ulama Nusantara. Dan, maktabah ini berada persis di belakang asrama kami, di kawasan Syurthoh Bab- Asya’riyah.
Penasaran, saya seketika bergegas menuju ke toko buku nan kuno ini. Suasananya tua, terlihat dari rak-rak buku yang sudah lusuh dan dekil. Nampak buku-buku kuning dengan sampul tipis berserakan di atas meja. Mungkin hanya beberapa saja yang bersampul tebal. Penjaga tokonya sesekali terlihat tak acuh kepada kami.
“Salamu’alaik”, sapa kami.
Tak bergeming. Ia pun hanya memandangi kami dengan kaca mata super tebal dan kembali lagi membaca.
“Law samahtum, fi Kitab Hasyiyah Al-Nafahat Li al- Asyeikh Khatib Al-Minangkabawi”?.
“Permisi apakah ada Kitab Hasyiyah Al- Nafahat karya Syeikh Khatib al Minagkabawi”?. Sapa kami.
Seketika Bapak tadi berubah menjadi ramah, dan tersenyum. Sambil bergegas untuk berdiri, dia langsung berucap yang membuat kami berbesar hati.
“ Ah, kalian dari Indonesia. Kemarilah ! banyak sekali buku-buku kami yang telah ditulis oleh ulama Melayu. Ada karangan dari Syeikh Nawawi al-Bantani, Nuruddin Al-Raniri dll”. Kalian mau beli buku apa? Saya akan kasih diskon nanti.
Bagi kami para mahasiswa, pemberian diskon di toko buku merupakan sebuah angin segar meski harga buku di maktabah ini relatif terjangkau. Saya heran, biasanya buku lama, turats, akan dijual jauh lebih mahal dari yang lain. Namun tidak di tempat ini. Harga buku termurah bisa didapat hanya kisaran 50 sen, atau 1 Le.
Musthofa al-Bab Al-Halaby, begitu kira-kira tulisan yang terpampang di depan toko. Tidak serupa maktabah lainnya yang berjejer rapi dan bersih, maktabah ini berada agak jauh dari pusat toko buku yang ada di bilangan Darrasah, berdekatan dengan masjid Al-Azhar. Tempatnya sepi pengunjung dan berjejeran dengan toko-toko kelontongan Mesir. Jika tidak teliti, kami tidak akan menemukan maktabah yang menyimpan ratusan karya pendahulu kami, santri-santri Nusantara di Kairo.
Yah, maktabah ini memang dikenal dengan buku-buku turats. Bahkan banyak kami temukan beberapa pengarang-nya yang berasal dari Nusantara. Hal ini bukan hal baru, karena memang generasi ulama Nusantara pernah berjaya pada abad 19 sampai 20, dengan terbentuknya komunitas yang bernama Al-Jam’iyyah al-Khairiyyah Al-Thalabiyyah al-Azhariyyah al-Jawa yang didirikan tahun 1923. Komunitas inilah yang kemudian menjadi perantara keilmuan Islam hingga sampai di bumi Nusantara.
Jamâ’at al-Jawiyyin baik yang berada di Haramain dan Kairo ketika itu merupakan generasi dengan karya yang cukup dikenal di seantero Timur Tengah. Masa keemasan ini ditandai dengan maraknya buku karya santri-santri Nusantara yang menjadi rujukan di kampus Al-Azhar dan kerapkali dicetak ulang.
Jaringan ulama-ulama Nusantara, sebagaimana dicatat dalam sejarah, telah memberikan teladan tentang pentingnya konstruksi pengetahuan atas perwujudan nilai nilai Islam yang berakulturasi dengan budaya lokal ke khalayak bahkan sampai ke bumi seribu menara. Dan, maktabah inilah yang kemudian paling banyak berjasa dan secara rutin menerbitkan karangan ulama Nusantara di Kairo dan akhirnya gulung tikar di periode tahun 60-an.
***
Lama berkutat dengan tumpukan buku-buku berdebu, membuat saya tak menyadari bahwa beberapa dari karya-karya tersebut bertuliskan Arab Pegon. Biasanya santri-santri lulusan pesantren traditional-lah yang mahir membaca tulisan Arab tersebut.
Iseng, saya pun bertanya dengan Bapak penjaga maktabah tersebut untuk membaca beberapa paragraf saja. Dengan terbata-bata, dia membaca sambil tergelak tawa dan berusaha sekuat tenaga untuk meneruskan bacaan. Dia pun meminta kami untuk mengartikan beberapa bacaan yang ditulis dengan Arab Pegon.
Beberapa karangan ulama Nusantara yang cukup populer di maktabah ini didominasi oleh buku-buku berbahasa Arab. Sedangkan yang berbahasa Arab Pegon, meskipun tujuannya tak lain untuk merespon konteks lokal, semakin tidak mendapatkan tempat di hati para konsumen karena hanya beberapa orang saja yang mampu membaca. Tak heran, maktabah Musthofa al-Bab al-Halaby ini populer hanya bagi para akademisi dan peneliti yang jumlahnya tak seberapa.
Rasanya eman-eman, begitu biasanya perkataan orang Jawa yang ingin menunjukkan rasa sayang yang berarti kehilangan. Melihat buku-buku dekil, yang dikarang oleh ulama-ulama Nusantara yang hebat, berserakan begitu saja, ingin rasanya membawanya pulang dan dipelajari oleh generasi-generasi sekarang.
Namun apa daya, mereka memilih untuk berada di rak kumuh itu, di tempat itu, dan di kota itu. Mungkin dengan itu, suatu saat, nama dan ilmu mereka akan kembali berjaya oleh anak-anak mereka sendiri, santri-santri Nusantara.
Satu persatu tumpukan buku kuning tersebut seolah larut ditelan zaman yang semakin modern. Seakan tak ada lagi yang ingin menyentuh dan menjadikannya sebagai buku bacaan. Berlarut-larut saya ikut merasakan betapa sebuah apresiasi yang begitu besar justru datang dari negri yang terletak ribuan kilometer dari bumi Nusantara. (IM)
Leave a Reply